Saya masih ingat, pertengahan bulan Mei 1997, berbagai media cetak Indonesia memuat foto “cantik” Alya Rohali, putrid Indonesia ’97. Ia diapit oleh Putri Thailand dan Filiphina. Ketiganya dalam pakaian renang sebagai peserta kontes Miss Universe 1997 di Las Vegas Amerika Serikat. Pemuatan foto ini menimbulkan reaksi keras public. Tak kurang, Menteri Peranan Wanita kala itu, Ny. Mien Sugandhi, merasa “kebakaran sanggul” (jenggot tidak mungkin). Dalam siaran persnya, Mien Sugandhi mengatakan foto Arya Rohali itu sebagai “keseronokkan” (artinya : tidak pantas dan menjatuhkan martabat, karena bila dibawa kedalam bahasa Malaysia, keseronokkan justru berarti menyenangkan atawa mengasyikkan). Keikutsertaannya dalam Kontes Kecantikan Internasional tersebut dinilai merendahkan harkat martabat wanita Indonesia yang lagi-lagi diperjuangkan Mien Sugandhi via KeMenterian Peranan Wanita-nya. Menurut ibu menteri, ia telah ditegur banyak kalangan. Dari kasus ini, timbul pertanyaan kritis : Bagaimana persisnya derajat wanita dapat dinaikkan atau diturunkan ? Siapa yang berhak menaikkan dan menurunkannya ?. Rangkaian pertanyaan ini bisa menjadi panjang. Namun yang pasti, telah terjadi kesewenangan (teror defenisi oleh pemegang otoritas kekuasaan).
Jikalau-lah Alya merendahkan derajat kaum wanita Indonesia, apakah peserta lain dari kontes tersebut tidak juga merendahkan derajat kaumnya di negeri mereka masing-masing. Apakah peserta Kontes Internasional tersebut secara kolektif juga merendahkan derajat kaum wanita di seluruh permukaan planet bumi ini, tanpa terkecuali. Bila tidak, betapa malangnya wanita Indonesia yang mengalami kelainan. Sayangnya, tidak pernah dijelaskan siapa orang-orang yang menegur Ibu Menteri karena penampilan Alya Rohali. Tak jelas persis bagaimana alasan mereka. Atau mungkin kalangan-kalangan yang menegur bu Menteri ini merasa derajatnya direndahkan oleh Arya Rohali. Atau apakah mereka ini merupakan pejabat tinggi Negara, yang biasanya laki-laki, merasa lebih tahu tentang derajat wanita ketimbang Ibu Menteri ? Sebelum ramai-ramai mengecamnya (istilah lain lagi dari terror), perlu diperiksa apakah benar Kontes Miss Internasional ini sekedar melombakan kemolekan tubuh ? Bagaimanakah seandainya kontes semacam itu memang melulu memperlombakan kecantikan fisik ? Mungkin banyak orang Indonesia yang akan menolaknya. Pasti banyak yang berada dibelakang Mien Sugandhi dan menteri peranan wanita seterusnya. Tapi, Alya Rohali hanya menjalani “bagian kecil” dari prosesi yang sangat banyak yang harus dilaluinya. Bukan tubuh, tapi juga brain. Padahal bila kita jujur terhadap realitas sosial (fakta sosial) yang ada, penampilan yang dikecam Mien Sughandi pada Alya Rohali dan (juga pada Nadine Chandrawinata oleh Khofifah Indarparawansa), merupakan pemandangan sehari-hari yang lazim di kota-kota besar negeri ini.
Penampilan perempuan seperti itu telah menjadi gambar baku dalam poster film di Indonesia, termasuk produksi dalam negeri. Bahkan pada era awal 2000-an, luar biasa parah. Poster-poster film di Padang Theater, misalnya, membuktikan hal itu, sebagaimana yang saya alami, setidaknya. Di daerah lain, juga berlaku hal demikian. Bahkan, hingga hari ini, ada majalah yang sudah bertahun-tahun secara khusus menampilkan perempuan dalam pakaian “semlehoy” dengan dibungkus misi : “majalah keluarga”. Tidak hanya seperti yang dikenakan oleh Arya Rohali, tetapi jauh lebih berani. Tidak ada kaitan langsung atau alamiah antara tubuh wanita dan martabat kaum wanita. Kaitan itu hanya ada kalau dibuat ada dalam masyarakat. Kesewenangan terhadap wanita, dalam hal ini pelecehan, terhadap martabat wanita telah mewarnai sebagian besar sejarah modern, tetapi ada yang membingungkan. Di satu pihak, pelecehan tersebut secara universal meliputi eksploitasi tubuh wanita. Dipihak lain, tidak semua penonjolan tubuh wanita yang merupakan pelecehan martabat mereka. Pelecehan martabat wanita tidak hanya bercorak eksploitasi jasmaniah. Akhirnya, tubuh wanita, selalu menjadi “sasaran tembak” kelompok-kelompok kekuasaan karena mereka merasa bahwa eksistensi mereka akan tercederai oleh hal-hal seperti ini. Padahal, bila kita ingin jujur, industri “kemolekan tubuh wanita” itu, baik event maupun majalah, adalah industri yang dikuasai laki-laki.
Saya hanya membayangkan dan teringat dengan dialog imajiner diatas, bila suatu hari wanita Indonesia – berkaca dari kasus ini – mempertanyakan manakah yang lebih penting diurus : peranan wanita atau pria ? yang menjadi sumber masalah tersebut, apakah kaum pria atau wanita ?. Bila wanita tidak boleh memamerkan semata-mata kehebatan tubuhnya, bagaimanakah dengan pria yang memamerkan kehebatan tubuhnya? Bukan hanya laki-laki yang bergaya seperti Ade Rai dengan menggunakan “kain sembat” , tapi disini juga bisa dicatat, laki-laki yang juga menampilkan kehebatannya : “membanting”, “meninju”, “menonjok” dan “menendang”. Kita tidak mengetahui, mengapa dahulu tak banyak yang “menggugat” Soekarno kala memamerkan lukisan-lukisan naturalis – wanita semi telanjang. Saya yakin, banyak ulama-ulama yang masuk kedalam istana. Apalagi ulama-ulama yang “getol” dengan konsep Nasakom Soekarno. Hampir tak terdengar, kala Soekarno berkuasa, apakah ada ulama atau tokoh masyarakat yang menggugat Soekarno dengan kalimat : “merendahkan istana Negara”, “merendahkan symbol Negara”, atau “Soekarno merendahkan dirinya sendiri”. Ada dua kemungkinan. Pertama, para ulama dan tokoh masyarakat Indonesia kala itu, “takut” melawan Soekarno dan meneror lukisan-lukisan seperti itu. Atau bisa jadi kemungkinan kedua, para ulama dan tokoh masyarakat tersebut “suka” dengan lukisan-lukisan naturalis tersebut.
Kasus Arya Rohali dan juga kasus-kasus lain sejenis ini, hanya menempatkan wanita dalam posisi yang “sewenang-wenang” untuk ditafsirkan, diukur dan diparameterkan. Bukan berarti saya menyetujui pornografi. Itu jelas tidak, karena saya tidak menyukai pornografi. Namun yang menjadi catatan kritis disini adalah ketika eksistensi wanita selalu diletakkan dalam ukuran “tubuh”. Tubuh menjadi sasaran tembak. Mereka diteror dengan menjadikan tubuh mereka sebagai “titik tembak”, bahkan oleh kekuasaan, atas nama martabat wanita itu sendiri, tanpa melihat, persoalan substansi di seputar kelompok yang mengarahkan sasaran tembak itu – umumnya laki-laki. Sungguh, kata Cleopatra, wanita memiliki kelebihan dan kemolekan tubuh yang bisa mengguncang dunia. Mengguncang bisa jadi membuat orang terpana, bisa juga meruntuhkan mereka.
Jikalau-lah Alya merendahkan derajat kaum wanita Indonesia, apakah peserta lain dari kontes tersebut tidak juga merendahkan derajat kaumnya di negeri mereka masing-masing. Apakah peserta Kontes Internasional tersebut secara kolektif juga merendahkan derajat kaum wanita di seluruh permukaan planet bumi ini, tanpa terkecuali. Bila tidak, betapa malangnya wanita Indonesia yang mengalami kelainan. Sayangnya, tidak pernah dijelaskan siapa orang-orang yang menegur Ibu Menteri karena penampilan Alya Rohali. Tak jelas persis bagaimana alasan mereka. Atau mungkin kalangan-kalangan yang menegur bu Menteri ini merasa derajatnya direndahkan oleh Arya Rohali. Atau apakah mereka ini merupakan pejabat tinggi Negara, yang biasanya laki-laki, merasa lebih tahu tentang derajat wanita ketimbang Ibu Menteri ? Sebelum ramai-ramai mengecamnya (istilah lain lagi dari terror), perlu diperiksa apakah benar Kontes Miss Internasional ini sekedar melombakan kemolekan tubuh ? Bagaimanakah seandainya kontes semacam itu memang melulu memperlombakan kecantikan fisik ? Mungkin banyak orang Indonesia yang akan menolaknya. Pasti banyak yang berada dibelakang Mien Sugandhi dan menteri peranan wanita seterusnya. Tapi, Alya Rohali hanya menjalani “bagian kecil” dari prosesi yang sangat banyak yang harus dilaluinya. Bukan tubuh, tapi juga brain. Padahal bila kita jujur terhadap realitas sosial (fakta sosial) yang ada, penampilan yang dikecam Mien Sughandi pada Alya Rohali dan (juga pada Nadine Chandrawinata oleh Khofifah Indarparawansa), merupakan pemandangan sehari-hari yang lazim di kota-kota besar negeri ini.
Penampilan perempuan seperti itu telah menjadi gambar baku dalam poster film di Indonesia, termasuk produksi dalam negeri. Bahkan pada era awal 2000-an, luar biasa parah. Poster-poster film di Padang Theater, misalnya, membuktikan hal itu, sebagaimana yang saya alami, setidaknya. Di daerah lain, juga berlaku hal demikian. Bahkan, hingga hari ini, ada majalah yang sudah bertahun-tahun secara khusus menampilkan perempuan dalam pakaian “semlehoy” dengan dibungkus misi : “majalah keluarga”. Tidak hanya seperti yang dikenakan oleh Arya Rohali, tetapi jauh lebih berani. Tidak ada kaitan langsung atau alamiah antara tubuh wanita dan martabat kaum wanita. Kaitan itu hanya ada kalau dibuat ada dalam masyarakat. Kesewenangan terhadap wanita, dalam hal ini pelecehan, terhadap martabat wanita telah mewarnai sebagian besar sejarah modern, tetapi ada yang membingungkan. Di satu pihak, pelecehan tersebut secara universal meliputi eksploitasi tubuh wanita. Dipihak lain, tidak semua penonjolan tubuh wanita yang merupakan pelecehan martabat mereka. Pelecehan martabat wanita tidak hanya bercorak eksploitasi jasmaniah. Akhirnya, tubuh wanita, selalu menjadi “sasaran tembak” kelompok-kelompok kekuasaan karena mereka merasa bahwa eksistensi mereka akan tercederai oleh hal-hal seperti ini. Padahal, bila kita ingin jujur, industri “kemolekan tubuh wanita” itu, baik event maupun majalah, adalah industri yang dikuasai laki-laki.
Saya hanya membayangkan dan teringat dengan dialog imajiner diatas, bila suatu hari wanita Indonesia – berkaca dari kasus ini – mempertanyakan manakah yang lebih penting diurus : peranan wanita atau pria ? yang menjadi sumber masalah tersebut, apakah kaum pria atau wanita ?. Bila wanita tidak boleh memamerkan semata-mata kehebatan tubuhnya, bagaimanakah dengan pria yang memamerkan kehebatan tubuhnya? Bukan hanya laki-laki yang bergaya seperti Ade Rai dengan menggunakan “kain sembat” , tapi disini juga bisa dicatat, laki-laki yang juga menampilkan kehebatannya : “membanting”, “meninju”, “menonjok” dan “menendang”. Kita tidak mengetahui, mengapa dahulu tak banyak yang “menggugat” Soekarno kala memamerkan lukisan-lukisan naturalis – wanita semi telanjang. Saya yakin, banyak ulama-ulama yang masuk kedalam istana. Apalagi ulama-ulama yang “getol” dengan konsep Nasakom Soekarno. Hampir tak terdengar, kala Soekarno berkuasa, apakah ada ulama atau tokoh masyarakat yang menggugat Soekarno dengan kalimat : “merendahkan istana Negara”, “merendahkan symbol Negara”, atau “Soekarno merendahkan dirinya sendiri”. Ada dua kemungkinan. Pertama, para ulama dan tokoh masyarakat Indonesia kala itu, “takut” melawan Soekarno dan meneror lukisan-lukisan seperti itu. Atau bisa jadi kemungkinan kedua, para ulama dan tokoh masyarakat tersebut “suka” dengan lukisan-lukisan naturalis tersebut.
Kasus Arya Rohali dan juga kasus-kasus lain sejenis ini, hanya menempatkan wanita dalam posisi yang “sewenang-wenang” untuk ditafsirkan, diukur dan diparameterkan. Bukan berarti saya menyetujui pornografi. Itu jelas tidak, karena saya tidak menyukai pornografi. Namun yang menjadi catatan kritis disini adalah ketika eksistensi wanita selalu diletakkan dalam ukuran “tubuh”. Tubuh menjadi sasaran tembak. Mereka diteror dengan menjadikan tubuh mereka sebagai “titik tembak”, bahkan oleh kekuasaan, atas nama martabat wanita itu sendiri, tanpa melihat, persoalan substansi di seputar kelompok yang mengarahkan sasaran tembak itu – umumnya laki-laki. Sungguh, kata Cleopatra, wanita memiliki kelebihan dan kemolekan tubuh yang bisa mengguncang dunia. Mengguncang bisa jadi membuat orang terpana, bisa juga meruntuhkan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar