Jumat, 24 Desember 2010

Kekuasaan itu Wajar dan Manusiawi

Oleh : Muhammad Ilham

" ..... tak berbeda rasa istriku dengan madonna/tak lebih ketawa Obama dibandingkan Indra si Tukang Becak ..." (Puisi "tak berbentuk" dari seorang kawan).

Kekuasaan itu menggiurkan. Apalagi ketika "dibungkus" dalam bentuk jabatan. Privelese dan fasilitas, merupakan sesuatu akibat dari jabatan itu sendiri. Tidaklah mengherankan, jarang orang mengucapkan "innalillahi wa inna ilaihi rooji'un" kala menerima sebuah jabatan, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar atau Umar bin Abdul Aziz. Justru yang sering terdengar adalah ucapan "syukur alhamdulillah, berkat do'a dan prestasi kerja". Saya masih ingat, seorang pejabat tinggi negara memberikan komentar di sebuah media TV kala ditanya, "bagaimana perasaan Bapak dengan jabatan baru nan prestisius ini ?". "Alhamdulillah, terima kasih saya ucapkan kepada Bapak ....... yang telah mempercayakan jabatan ini pada saya. Istri dan keluarga pasti gembira karena ini merupakan hadiah ulang tahun perkawinan kami". Ya .. hadiah. Luar biasa. Dan yang "sejenis" ini, tumbuh berkembang biak di mana-mana. Mereka menganggap kekuasaan-jabatan merupakan sesuatu yang prestisius untuk digapai, bahkan diusahakan semaksimal mungkin. Bila dapat, tentunya ini merupakan sesuatu yang pantas dibanggakan dan "dipupuk". Ketika kekuasaan-jabatan itu "hilang" dari genggamannya, maka dianggap sebagai sebuah "kemalangan". Ia akan merasa tercampakkan, tak lagi berjalan dengan "muka tengadah".

Sudah saatnya, sedari manusia itu masih kecil, harus ditanamkan bahwa kekuasaan itu merupakan sesuatu yang biasa, manusiawi dan - dalam bahasa teologis - titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini akan menimbulkan kondisi biasa-biasa saja, kala seseorang kehilangan kekuasaan, tidak menganggap sebagai "kemalangan" ketika kekuasaan itu berpindah tangan. Kehilangan kekuasaan sebagai sesuatu yang wajar dan natural, seperti kata Kahlil Gibran "yang lama dan usang-layu, akan berganti dengan kebaruan dan muda-gagah-perawan". Nampaknya kita harus banyak belajar dari episode hidup seorang Lech Walesa. Tak ada yang tidak tahu, tukang listrik berkumis tebal ini. Berawal dari buruh listrik di Gdansk Polandia, bermetamorfosis menjadi demonstran-politisi dengan memimpin perjuangan kaum buruh untuk "menggulung" Partai Komunis Polandia dibawah pimpinan Jenderal "berkacamat hitam" Jaruzelski. Dunia terperangah, Lech Walesa yang bukan seperti Nelson Mandela, bisa menjadi Presiden Polandia. Bila Nelson Mandela memiliki "genetik politik" serta memiliki track konsisten dalam proses ia menjadi orang besar, maka Lech Walesa "dikondisikan" oleh situasi. Ada yang mengatakan, naiknya Walesa menjadi Presiden Polandia karena "kecelakaan" sejarah politik Polandia. Walesa biasa-biasa saja bersikap kala ia menjadi Presiden Polandia. Buruh pabrik yang "keras" dan cenderung berada dalam "kalkulasi matematika peluh-keringat", berubah total menjadi Presiden yang disanjung-dielukan. Walesa - pemimpin Partai Solidaritas Polandia ini - tetap menganggap perubahan nasibnya tersebut sebagai sesuatu yang lumrah. Karena itu mungkin, Walesa hanya memegang tampuk kekuasaan Presiden Polandia, tak lebih dari 5 tahun. 1995, ia kalah. Walesa tak post power syndrom.

Ia tak menganggap kekalahannya sebagai sesuatu "kemalangan", sedih berkepanjangan karena berbagai fasilitas dan penghormatan menjadi hilang. Sekali lagi, ia menganggap jabatan Presiden sebagai sesuatu yang natural, manusiawi dan layak untuk berganti-ganti. Dan Walesa-pun, pada tahun ia tak lagi menjabat sebagai Presiden Polandia, kembali menjadi buruh, jadi tukang listrik di pelabuhan Gdansk. Gajinya, kira-kira Rp. 500.000 (tahun 1995). Ketika ia ditanya mengapa dia kembali menjadi tukang listrik, padahal dengan label "mantan Presiden", Walesa bisa menghindari pekerjaan "kasar" yang ditekuninya sebelum menjadi Presiden. Walesa menjawab, "masih terlalu muda untuk pensiun, tidak punya cukup uang untuk hidup dan Presiden serta buruh itu sama, sama-sama bekerja dan sama-sama menghasilkan uang". Walesa menganggap bahwa alangkah wajar dan bersahajanya kekuasaan itu di matanya". Presiden yang tadinya sangat-sangat "diatas", ketika selesai, ia mau menjalani profesi menjadi buruh yang "sangat dibawah". Walesa, bukan "melenggang" meninggalkan tampuk kekuasaan kepresidenan yang dipegangnya selama 5 tahun dengan dompet "membengkak". Padahal dengan waktu 5 tahun itu, ia memiliki potensi besar mengumpulkan duit banyak. Tapi itu tak dilakukannya. Ia kembali ke "habitat"nya semula, jadi buruh, di sebuah pelabuhan bernama Gdansk. Tanpa beban. Karena Presiden dan Buruh juga profesi, juga pekerjaan, juga amanah. Ia tak merasa memiliki beban berat walau banyak orang - terutama simpatisannya - merasa "kasihan". Walesa tetap tersenyum tanpa post power syndrom. Pada Walesa kita bisa belajar bahwa kekuasaan itu amat bersahaja.

Tidak ada komentar: