Money atau uang, (mungkin) berasal dari kata "moneta", sebuah julukan bagi dewa Juno dalam legenda Romawi Kuno yang artinya "dia yang mengingatkan". Di Kuil Moneta inilah, orang Romawi Kuno membuat kepingan logam sebagai alat tukar dalam perdagangan, mengganti alat tukar lama yang berasal dari benda-benda alam.
Dalam tradisi agama, janji akan keselamatan itu lebih bersifat metafisis dan sebagian besar pemenuhannya harus ditunggu di alam akhirat, sedangkan transaksi ekonomi-uang, hasilnya langsung bisa dinikmati dalam waktu yang relatif dekat (K. Hidayat : 2000)
Beberapa malam yang lalu, saya menonton film kolosal Cina di Indosiar. Judulnya saya lupa. Tapi yang jelas, film ber-setting Dinasti Ching ini dibintangi oleh aktor gaek Ti Lung. Saya tak ingin berkisah tentang risalah-cerita film ini. Saya hanya ingin mengutip satu scene dimana Ti Lung yang dalam film ini menjadi pendekar sakti kesayangan Kaisar. Waktu itu, Kaisar ingin membuat mata uang dari logam-metal sebagai alat resmi tukar-menukar di wilayah kekaisaran Ching. Ti Lung - saya tak ingat lagi apa namanya dalam film ini - menyarankan agar mata uang yang dirancang tersebut memuat tiga lambang : lambang emas yang diapit oleh dua tombak. Apa yang disarankan Ti Lung ini bukan tanpa alasan. Dalam perspektif simbolik, hal ini merupakan simbolisasi watak dasar manusia ketika berurusan dengan yang namanya uang. Emas sebagai simbol uang, diapit oleh dua tombak. Tombak pertama menyimbolkan bahwa demi uang, siapapun dimuka bumi ini, selagi ia bernama manusia, ia akan berjuang keras untuk memperolehnya. Bahkan manusia tak akan segan "menggunting dalam lipatan", menusuk teman kala dipandang menghambat keinginannya. Intinya, berburu untuk memperoleh uang tak ubahnya seperti seseorang memasuki medan pertempuran yang selalu siap menghantam musuhnya dengan tombak. Sementara tombak yang kedua, merepresentasikan peperangan dalam bathin. Ti Lung ingin mengatakan bahwa sebelum seseorang mampu melibatkan dirinya dalam peperangan lahiriah, ia terlebih dahulu harus memenangkan peperangan bathin. Karena kemiskinan - sebagaimana yang dikatakan Ali Shariati - sesungguhnya lebih merupakan kondisi bathin, bukan kondisi lahir.
Dalam tradisi agama, janji akan keselamatan itu lebih bersifat metafisis dan sebagian besar pemenuhannya harus ditunggu di alam akhirat, sedangkan transaksi ekonomi-uang, hasilnya langsung bisa dinikmati dalam waktu yang relatif dekat (K. Hidayat : 2000)
Beberapa malam yang lalu, saya menonton film kolosal Cina di Indosiar. Judulnya saya lupa. Tapi yang jelas, film ber-setting Dinasti Ching ini dibintangi oleh aktor gaek Ti Lung. Saya tak ingin berkisah tentang risalah-cerita film ini. Saya hanya ingin mengutip satu scene dimana Ti Lung yang dalam film ini menjadi pendekar sakti kesayangan Kaisar. Waktu itu, Kaisar ingin membuat mata uang dari logam-metal sebagai alat resmi tukar-menukar di wilayah kekaisaran Ching. Ti Lung - saya tak ingat lagi apa namanya dalam film ini - menyarankan agar mata uang yang dirancang tersebut memuat tiga lambang : lambang emas yang diapit oleh dua tombak. Apa yang disarankan Ti Lung ini bukan tanpa alasan. Dalam perspektif simbolik, hal ini merupakan simbolisasi watak dasar manusia ketika berurusan dengan yang namanya uang. Emas sebagai simbol uang, diapit oleh dua tombak. Tombak pertama menyimbolkan bahwa demi uang, siapapun dimuka bumi ini, selagi ia bernama manusia, ia akan berjuang keras untuk memperolehnya. Bahkan manusia tak akan segan "menggunting dalam lipatan", menusuk teman kala dipandang menghambat keinginannya. Intinya, berburu untuk memperoleh uang tak ubahnya seperti seseorang memasuki medan pertempuran yang selalu siap menghantam musuhnya dengan tombak. Sementara tombak yang kedua, merepresentasikan peperangan dalam bathin. Ti Lung ingin mengatakan bahwa sebelum seseorang mampu melibatkan dirinya dalam peperangan lahiriah, ia terlebih dahulu harus memenangkan peperangan bathin. Karena kemiskinan - sebagaimana yang dikatakan Ali Shariati - sesungguhnya lebih merupakan kondisi bathin, bukan kondisi lahir.
Mengingat kemiskinan merupakan kondisi bathin, maka rasional bila seseorang yang kaya dari segi materi justru miskin mental. Dengan demikian, tidaklah mengherankan, mengapa seorang Gayus Tambunan, rekeningnya bertimbun-timbun yang bila kita perkirakan, tak akan habis sekian turunan. Seandainyalah ia tidak "ketahuan", mungkinan timbunan si-Tambunan ini akan terus ditambahnya, karena ia masih merasa miskin. Tidaklah mengherankan pula, banyak orang yang secara lahiriyah kekayaannya melimpah, namun masih saja ingin mengakumulasikan kekayaannya dengan cara-cara "haram", korupsi dan merampas hak rakyat dan negara. Dalam bahasa "sosiologi uang", mereka ini telah terjangkiti virus love of money its own sake. Mereka ini juga dianggap telah mengkhianati misi "suci" dari keberadaan uang itu sendiri sebagai alat tukar untuk mendukung proses produksi dalam upaya menyejahterakan masyarakat. Benarlah apa yang dikatakan Voltaire, "bila bicara uang, agama semua orang akan menjadi sama".
Disinilah letak perbedaan mendasar antara efek ajaran agama Tuhan dan agama uang ciptaan manusia. Agama wahyu membentuk kepribadian untuk selalu dan senantiasa bersyukur pada Tuhan. Selalu share, berbagi kasih sayang dengan sesama. Sementara, moralitas dari the religion of money adalah selalu ingin menaklukkan dan mengalahkan orang lain. Seseorang akan merasa bahagia melihat orang lain miskin dan hidup menderita. Pada sisi lain, ia akan merasa menjadi miskin kala melihat orang "lebih" kaya dan hebat. Padahal, agama mengajarkan bahwa kemuliaan itu justru terletak pada rasa empati dengan penderitaan sesama. Maka, yang paling ideal adalah kekayaan materi yang didukung oleh kekayaan bathin, sehingga kekayaan tersebut tidak menjajah pemiliknya, tapi justru yang terjadi adalah kekayaan atau uang tersebut justru melayaninya. Sebagai penutup, pertanyaan logis yang harus dikedepankan adalah : "seandainya-lah pendapatan rata-rata penduduk makin naik - setidaknya demikian klaim pemerintah yang berkuasa -, bahkan banyak diantara pejabat yang kekayaan yang mereka berlipat ganda, lalu mengapa para pejabat yang kaya raya tersebut masih mau korupsi dan mengambil kekayaan rakyat?".
Disinilah letak perbedaan mendasar antara efek ajaran agama Tuhan dan agama uang ciptaan manusia. Agama wahyu membentuk kepribadian untuk selalu dan senantiasa bersyukur pada Tuhan. Selalu share, berbagi kasih sayang dengan sesama. Sementara, moralitas dari the religion of money adalah selalu ingin menaklukkan dan mengalahkan orang lain. Seseorang akan merasa bahagia melihat orang lain miskin dan hidup menderita. Pada sisi lain, ia akan merasa menjadi miskin kala melihat orang "lebih" kaya dan hebat. Padahal, agama mengajarkan bahwa kemuliaan itu justru terletak pada rasa empati dengan penderitaan sesama. Maka, yang paling ideal adalah kekayaan materi yang didukung oleh kekayaan bathin, sehingga kekayaan tersebut tidak menjajah pemiliknya, tapi justru yang terjadi adalah kekayaan atau uang tersebut justru melayaninya. Sebagai penutup, pertanyaan logis yang harus dikedepankan adalah : "seandainya-lah pendapatan rata-rata penduduk makin naik - setidaknya demikian klaim pemerintah yang berkuasa -, bahkan banyak diantara pejabat yang kekayaan yang mereka berlipat ganda, lalu mengapa para pejabat yang kaya raya tersebut masih mau korupsi dan mengambil kekayaan rakyat?".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar