Rabu, 29 Desember 2010

"Neraka" bernama DIGOEL

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

"Tempat dengan kesunyian yang mencekik dan mematikan," ucap Chalid Salim, adik kandung Agus Salim yang pernah dibuang di tempat itu selama 15 tahun dalam bukunya, Lima Belas Tahun Digoel. "Kolam neraka," kata Mohammad Hatta dalam tulisannya berjudul The Digoel Tragedy of Dutch Colonial Imperialism memberi gambaran tentang kamp Tanah Merah Digoel itu.
Hatta pada tulisan yang diterbitkan pada 12 September 1930 itu masih mengutip Dr Van Blankenstein, seorang koresponden Nieuwe Rotterdamsche Courant yang pernah datang pada tahun-tahun awal pembangunan kamp pembuangan massal di tanah Papua itu. Tulisan Blankenstein itu kemudian dimuat ulang dalam Het Haagse Maandblad dan Frankfurter Zeitung. "Persediaan bahan makanan sangat terbatas, karena tempat itu sukar dicapai melalui daratan. Kami temui di sana suatu pondok kecil beratapkan seng tanpa dinding. Di mana-mana terdapat genangan air. Ditinjau dari segi kesehatan dan tempat tinggal, tempat itu merupakan neraka," tulis Blankenstein pada November 1928. "Kematian terus menerus tersenyum pada kami. Digoel tak lagi sebuah tempat. Ia menjadi timbunan penderita paru-paru dan penderita malaria, penderita sakit jiwa dan setengah gila, di bawah panas menyengat yang tak kenal ampun, dikelilingi oleh rawa-rawa yang tak sehat di tengah-tengah hutan belantara yang tak bisa ditembus," tulis seorang penghuni Digoel. Dengan citra yang seram dan mematikan itulah kamp Digoel telah mengudarakan ketakutan pada para aktivis pergerakan politik. Soekarno, misalnya, seperti ditulis Takashi Shiraishi dalam buku Hantu Digoel, dengan penuh imajinasi ketakutan oleh bayangan akan dibuang ke Digoel, meminta pengampunan pada pemerintah dengan imbalan siap menghentikan aktivitas politiknya dan bila perlu bekerja sama dengan pemerintah. Soebakat, pendiri partai politik revolusioner bawah tanah Partai Republik Indonesia (PARI) yang juga tangan kanan Tan Malaka bahkan menciptakan bahasa sandi di kalangan anggota PARI dengan menyebut Digoel sebagai "Rumah Sakit Umum". Sementara istilah "Rumah Sakit" berarti penjara. Lantaran takut akan "diopname" di "Rumah Sakit Umum" itu Soebakat sehari menjelang pengasingannya ke Digoel memilih untuk bunuh diri.

Apa yang membuat Digoel ditakuti? Bukankah kamp yang dibangun pada Januari 1927 itu tak seperti kamp konsentrasi Nazi dengan para napi disiksa dan dibunuh? Memang tak ada kerja paksa, apalagi kamar-kamar gas. Kawat berduri pun tak mengelilingi lokasi tahanan di Tanah Merah Digoel. Para tahanan justru dibebaskan berkeliaran 25 kilometer dari kamp. Tapi justru dengan kebebasan bergerak yang diberikan itu pemerintah Hindia Belanda sengaja membiarkan tahanan itu mati, gila, bunuh diri, atau hancur secara fisik dan mental.
Tak ada jalan untuk melarikan diri. Jika ada, hutan yang lebat, keganasan alam dengan sungai penuh buaya, dan penduduk kanibal akan menelan mereka. Ada 50 orang buangan yang mencoba meloloskan diri antara 1929-1934. Hanya satu kelompok yang berhasil mencapai Thursday Island Australia, namun mereka kemudian ditangkap polisi Australia dan dikembalikan kepada pemerintah Hindia Belanda yang memiliki perjanjian ekstradisi dengan Australia. Para pelarian itu kemudian justru dikirim ke Tanah Tinggi, kamp buat para pembangkang yang berjarak 55 kilometer dari Tanah Merah atau lima jam dengan menggunakan perahu polisi--Salim menyebut jaraknya 40 kilometer. Di Tanah Merah itulah Hatta yang menulis kritik pada 1930 akhirnya diasingkan mulai 28 Januari 1935 hingga Desember 1935. Penahanan Hatta menimbulkan protes, karena kamp Digoel pada awalnya dimaksudkan sebagai tempat pengasingan bagi mereka yang terlibat dalam pemberontakan PKI di Jawa Barat pada 1926 dan Sumatera Barat pada 1927.
Pemerintah Hindia Belanda ternyata kemudian melebarkan kategori "layak Digoel" pada semua aktivis politik yang berpikiran radikal. Seorang aktivis bisa saja dibuang ke Digoel hanya oleh rekomendasi polisi rahasia dan residen. Gubernur Jenderal Hindia Belanda cuma mengesahkannya. Dalam kasus ini, Hatta diasingkan dengan tuduhan "ketika tinggal di Belanda sampai 1931 ia memimpin Perhimpunan Indonesia yang bertujuan untuk melakukan tindakan revolusioner melawan pemerintahan di sana." Hatta berangkat dari penjara Glodok pada Minggu pertama Januari. Ia berangkat dengan enam pengurus PNI Baru lainnya: Sjahrir, Bondan, Burhanuddin, Maskun, Suka Sumitro, dan Murwoto. Mereka menaiki kapal Melchior Treub menuju Makassar. Bondan dalam buku Pribadinya dalam Kenangan (UI Press-Sinar Harapan, 1980, disunting oleh Meutia Farida Swasono) mengatakan meski Hatta dan Sjahrir diberi tempat di kelas dua, namun sehari-hari mereka selalu berkumpul dengan teman-temannya di geladak. Sewaktu kapal singgah di Surabaya, Hatta ditemui Saerun, redaktur kepala surat kabar Pemandangan yang naik ke kapal atas izin dari pembesar kapal. Saerun meminta Hatta menulis sebulan dua kali selama dalam masa pengasingan dengan honor 5 gulden per kolom. "Aku merasa lega menerima tawaran itu karena sudah ada jaminan hidup bagiku," tulis Hatta dalam Memoir (1979). Seminggu ditahan di Makassar, Hatta kemudian melanjutkan perjalanan dengan kapal Van Der Wijck yang berukuran lebih kecil ke Ambon. Di Ambon ia kembali dibui seminggu. Lalu dari Ambon menuju Digoel, ia berpindah kapal yang kian mengecil, bernama Albatros. Kapal itu diberi juluk "Kapal Putih" karena warnanya yang putih. Berbeda dengan orang-orang buangan yang lain, Hatta ke Digoel membawa buku sebanyak 16 peti. Begitu sampai di Digoel buku itu diangkut oleh orang Kaya-Kaya, penduduk asli Digoel yang sudah bekerja sama dengan para tahanan menuju rumah Hatta yang disediakan. "Sesaat sampai di rumahnya, saya bertanya, apakah Bung Hatta mau buka toko buku? Beliau hanya menjawab dengan tersenyum," tutur Bondan.

Dengan buku itulah kemudian Hatta "buka praktek", memberi kursus falsafah, ekonomi dan sejarah. Sedangkan untuk politik dan sastra diajar oleh Sjahrir. Bondan ingat, ia pernah diajar tentang filsafat Yunani dengan membaca buku Alam Pikiran Yunani. Hatta juga meminjamkan buku-bukunya pada siapa saja yang memerlukan. "Tapi kalau meminjam bukunya, kita tidak boleh mengotorinya sedikit pun. Ia akan marah," kata Bondan.
Buku-buku Hatta itu, kata Salim, ternyata menjadi cara yang efektif untuk tetap bertahan hidup selama di pengasingan. Selain bertanam sayur, buah, membuka kios kecil, berolahraga, memelihara hewan, atau yang seperti dilakukan Salim yaitu dengan berburu nyamuk penyebar malaria, Hatta menawarkan cara yang mencerdaskan. Pejabat kolonial Belanda di Digoel, kata Salim, menganggap banyaknya buku yang dibawa Hatta itu sebagai bentuk "pameran keunggulan mental". "Tapi bagi kami itu berarti memperkaya pengetahuan dan melupakan nasib kami yang malang," kata Salim. Hatta dan Sjahrir mengajar dan menggelar diskusi hampir tiap malam. Dampak diskusi itu dirasakan kemudian. Salim membanggakan pengetahuan itu dengan menggambarkan bahwa setelah keluar dari Digoel ternyata pengetahuan orang-orang bebas di luar Digoel masih kalah maju dan kalah beradab dari orang-orang buangan dari Digoel.

Di Tanah Merah itu, kata Bondan, Hatta adalah satu-satunya tahanan yang mendapat rumah dari Belanda dengan perabotan yang lengkap. Fasilitas ini diberikan karena Hatta dianggap sebagai pemimpin. Sedangkan tahanan lain diminta membuat rumah sendiri. Tentara Belanda hanya memberi seng, sementara tahanan diminta menebang kayu sendiri. Hatta pun ikut turun membantu membangun rumah teman-temannya.
Dalam proses pembangunan itu, teman-temannya menginap di rumah Hatta. Beberapa orang dari mereka mendapat tugas bergiliran memasak di dapur. Pada giliran pertama, tutur Bondan, Hatta harus menanak nasi dan ia yang mengangkatnya. Dalam soal menanak nasi itu Bondan meledek Hatta dengan mengatakan bahwa Hatta adalah seorang ekonom yang tidak ekonomis. "Hatta tersenyum dan Sjahrir bertanya, 'Mengapa?' Saya jawab, 'nasinya hangus'," ungkap Bondan sembari tertawa, "Hatta kemudian menjawab, 'Terbuang untuk orang, tapi tidak terbuang untuk ayam'." Pada minggu pertama itu, panitia penerimaan membuat agenda pertandingan persahabatan sepakbola. Dalam pertandingan itu Sjahrir menjadi penyerang, Hatta dam Burhanuddin menjadi bek, sedangkan Murwoto menjadi penjaga gawang. "Saya perhatikan Bung Hatta dapat menendang bola dengan kaki kanan dan kirinya, terkadang kepalanya yang hampir botak itu digunakan untuk menerima bola," ucap Bondan.
Sejak hari pertama di Tanah Merah itu Hatta sudah membuat agenda harian secara rinci. Ia bangun pukul 04.30 untuk mandi dan shalat subuh. Lalu ia mulai memasak air panas, merebus telur. Ia makan pagi dengan makan sebuah telur dan 1-2 mangkuk kopi. Pada pukul 07.30 ia mulai jalan-jalan lewat kampung A dan keliling kampung B. Sejam kemudian ia kembali untuk membaca buku. Hatta menyebutnya sebagai belajar. "Biasanya saya belajar pagi sampai pukul 11 atau 11.30," tulis Hatta dalam Memoir. Setelah itu ia menanak nasi dan sayur-sayuran. Tetangganya kemudian biasa datang buat mengajari memasak ikan asin. Hatta mendapat jatah ransum setiap bulan 18 kg beras, 2 kilo ikan asin, 300 gram teh, 300 gram kacang hijau, 2/3 botol limonade minyak kelapa. Hatta hanya menghabiskan 10 kg jatah beras. Sisanya, 8 kg ia berikan kepada siapa saja yang meminta. Hatta juga membagi pendapatannya dari menulis di Pemandangan pada tahanan-tahanan lain yang kekurangan uang. Sesudah makan siang, ia biasanya mengajar murid-muridnya yang ingin tahu ekonomi, tata buku, sejarah dan filsafat. Pada sore hari, ia membantu menjadi tukang jika ada rumah yang akan dibangun atau berjalan-jalan sore menemui tahanan lain. Lalu pada malam hari, sesudah makan, kawan-kawan lama dan baru berdatangan untuk belajar atau berdiskusi atau ia membuat artikel untuk dikirimkan ke koran. Pada pukul 22.00 Hatta tidur. "Aku membuat rencana akan tinggal di Digoel sekurang-kurangnya 10 tahun. Karena itu yang kupentingkan adalah menjaga kesehatan. Di Digoel aku selalu berpesan pada kawan-kawan yang dibuang agar menjaga kesehatan, pikiran dan perasaan agar jangan terganggu apa-apa, dan tetap menerima segalanya dengan hati yang tenang," tulis Hatta. Menjaga kesehatan adalah perkara yang penting, karena mereka berada di daerah yang rawan penyakit, terutama malaria. Kaum buangan juga sering mengidap kesepian yang akut atau penyakit yang menurunkan secara drastis kesehatan fisik dan mental mereka. Bagi Hatta tak ada jalan lain selain harus tetap sehat.

Para tahanan politik itu dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama disebut naturalis, yaitu orang-orang yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah, dan hanya menerima jatah makanan (ransum) secara natura. Kelompok kedua disebut werkwillig, yaitu mereka yang mau bekerja sama, misalnya dengan mencangkul tanah dan melakukan pekerjaan kasar lainnya. Untuk pekerjaan itu, mereka menerima upah 40 sen sehari. Kelompok ketiga disebut onverzoenlijken, yaitu mereka yang terus bersikap menentang, sehingga diasingkan ke Tanah Tinggi. Di antara mereka yang tetap membangkang adalah Aliarcham, Sardjono Sumantri, Boedisoetjitro, Soemarjo, Dahlan, dan Mas Marco Kartodikromo.
Hatta tak ragu memilih menjadi naturalis, sekalipun kepala pemerintahan setempat Kapten Van Langen memintanya masuk dalam kelompok werkwillig agar memperoleh imbalan dan bisa lebih cepat keluar dari Digoel. Dalam memoarnya, Hatta menjawab tawaran itu dengan pedas, "Kalau saya ingin menjadi anggota golongan werkwillig, saya sudah menjadi werkwillig di Jakarta di mana berbagai pekerjaan pemerintah ditawarkan pada saya. Di sana saya pasti telah menjadi tuan besar, tidak perlu pergi ke Digoel lagi untuk menjadi kuli yang diupah 40 sen per hari." Pada suratnya yang ditujukan kepada iparnya, Dahlan Sutan Lembaq Tuah, pada Maret 1935, Hatta menceritakan ada pembagian golongan pada orang buangan itu. Ia juga bercerita bahwa ransum yang diterima setiap bulan harganya sama dengan separo harga makanan orang hukuman di bui biasa. Ia pun mengungkapkan tengah bersiap membuat rumah yang tahan hingga 10 tahun. Ia meminta iparnya itu mengirim alat pertukangan.
Penulis Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta, Mavis Rose, juga mengungkapkan keluhan Hatta yang lain. "Saya sudah hidup di tengah-tengah hutan belantara, tetapi pengawasan atas kegiatan saya tetap berlanjut," kata Hatta. Ternyata ipar Hatta itu menunjukkan surat Hatta itu pada Saerun yang memuatnya di Pemandangan. Berita itu kemudian dikutip koran-koran di Belanda dan mengalirkan kritik pada pemerintah Belanda untuk mengevaluasi kembali Digoel. Namun Perdana Menteri Colijn menekankan bahwa pembuangan Hatta di Digoel tidak dimaksudkan untuk menghancurkannya, tapi untuk mengasingkannya dari masyarakat. Pemerintah Hindia Belanda juga menawari Hatta uang 7,5 gulden per bulan untuk membayar porto pos. Konsisten dengan sikap non kooperasinya, tawaran itu pun ditolak. Namun di lain pihak Sjahrir justru menerimanya, karena ia sama sekali tak punya ongkos untuk korespondensi pada istrinya di Belanda. Sikap Sjahrir itu dicela kaum naturalis yang menuduh dia menyerah kepada pemerintah Belanda. Hatta membela Sjahrir. "Bagaimanapun aku terpaksa mempertahankannya. Dia tidak mengubah prinsip, dia hanya menerima, tidak meminta. Ia menerima karena benar-benar tidak mempunyai pendapatan untuk mengongkosi korespondensinya dengan istrinya. Setelah dua minggu, celaan pada Sjahrir tidak terdengar lagi," tulis Hatta.

Bagaimana Hatta, Sjahrir dan kawan-kawan bisa berkorespondensi dan bahkan menulis artikel ke berbagai surat kabar sementara sensor surat di Digoel sangat ketat? Salim mengungkapkan bahwa surat-surat itu diselundupkan pada para kelasi di Kapal Putih yang datang sebulan sekali. Suatu saat, kata Salim, ada seorang mata-mata dari kaum buangan yang membocorkan soal itu. Penggeledahan pun dilakukan di kapal. Tapi selalu saja mereka punya cara untuk tetap berhubungan dengan kelasi, yaitu dengan mengirim perahu kecil di malam hari ke Kapal Putih menjelang berangkat kembali ke Ambon.
Dari surat-surat inilah kemudian protes-protes kian membanjir. Pemerintah Belanda pada akhir November 1935 memerintahkan pemindahan Hatta dan Sjahrir ke Banda Neira. Hatta gembira dan sedih mendengar kabar pemindahan itu. Senang karena nasibnya akan lebih baik, tapi sedih karena ia harus berpisah dengan para pejuang. Hatta pun kemudian meminta pemindahannya diundur sampai Desember 1935. "Aku harus meminta kembali buku-buku yang kupinjamkan kepada teman-teman dan kemudian mengepaknya kembali ke dalam peti," kata Hatta. Saat hari pemindahan tiba, Hatta meninggalkan 100 bukunya pada teman-temannya. Mereka pun berangkat dengan Kapal Putih menuju Banda Neira pada akhir Desember. Dari Banda maupun sesudah itu, ketika diterbangkan dari Banda pada 1 Februari 1942 menuju tahanan Sukabumi, Hatta tetap rajin meminjamkan buku pada teman-temannya di Digoel. Lahan Digoel yang dibuka oleh Kapten L. Th. Becking, dengan mengerahkan 120 orang dari Jawatan Bangunan Tentara Belanda dan 60 orang hukuman sebagai buruh kasar pada 1927 akhirnya ditutup pada 1943 setelah Jepang masuk ke Indonesia.

Sumber : (c) Yos Rizal S. (2002)

Referensi bagus untuk Digoel, lihat "Hantoe-Hantoe Digoel" Takashi Shiraishi (1999)

Tidak ada komentar: