"Kala batu bicara", demikian kata Brainwood puluhan tahun yang lalu, "maka tafsiran bisa terkesan liar ketika pemahaman konteksual dikesampingkan". Dan itu saya rasakan beberapa tahun lalu, kala berkesempatan pergi ke beberapa tempat di Sumatera Utara, Aceh dan beberapa daerah di Sumatera Barat. Saya terpana melihat phallus. Sebuah istilah dalam ilmu arkeologi untuk menamakan batu tua "tegak berdiri" sedikit melengkung yang dijumpai di makam-makam raja-raja "saisuak". Phallus, batu tegak penanda makam raja. Bentuknya sangat sensual, mirip penis "anak jantan", dengan kepalanya yang sudah disunat. Ketika melihat phallus ini, secara tidak langsung ada ada pesan yang kita tangkap (setidaknya saya) : "hei bung, disini dimakamkan pejantan tangguh" - hehehe, meminjam istilah Sheila on 7. "Nenek moyang kita doyan porno", kata seorang teman saya yang terheran-heran memandang phallus ini sambil menggosok-gosok kepala phallus yang batangnya melengkung dan sudah menua dilumuri lumut, tapi tetap gagah.
Phallus hanyalah bagian kecil dari sensualitas sejarah masa lalu. Bila kita lihat peninggalan tradisi Hindu-Budha kuno, banyak simbol-simbol free sex. Bila ditinjau dari etika kekinian, karya zaman "mpu Tantular" dan mpu-mpu lainnya ini, terkesan pornografis. Tapi, sebagaimana yang diungkapkan Brainwood diatas, pemahaman kontekstual haruslah diperhatikan. Jiwa zaman dalam bahasa ilmu sejarahnya. Patung-patung ini merupakan produk dari masa seksualitas tradisional. Diperkirakan wacana seksualitas ini berasal dari India yang merupakan hulu dari tradisi Hindu (hehehe, jadi ingat Kamasutra). Dalam beberapa candi di India dan Indonesia, ada penggambaran nyata alat kelamin dan hubungan seks. Hubungan seksual di zaman Hindu-Budha kuno tersebut, merupakan simbolisasi dari kesuburan. Simbol-simbol seksualitas ini, baik dalam praktek sehari-hari maupun secara abstrak, menjadi jimat yang harus menjamin berhasilnya panen dan kemakmuran. Ong Kho Kham mengatakan pada masa Raja Singasari terakhir, Kertanegara (1268-1292), mencari jimat atau kekuatan ghaib agar panen berhasil dengan jalan Tantrisme - melakukan hubungan seksual sepuas-puasnya sampai letih-muak. Seksualitas juga terungkap pula dalam perkawinan Ken Arok dan Ken Dedes. Seksualitas bukan hanya dimaknai sebagai sebuah keliaran/barbarisme, tapi sebuah jalan untuk memakmurkan masyarakat. Mungkin dalam konteks inilah, raja-raja dahulu memiliki anak puluhan, cucu ratusan dan cicit hampir ribuan dengan istri yang berjumlah entah berapa puluh pula.
Phallus hanyalah bagian kecil dari sensualitas sejarah masa lalu. Bila kita lihat peninggalan tradisi Hindu-Budha kuno, banyak simbol-simbol free sex. Bila ditinjau dari etika kekinian, karya zaman "mpu Tantular" dan mpu-mpu lainnya ini, terkesan pornografis. Tapi, sebagaimana yang diungkapkan Brainwood diatas, pemahaman kontekstual haruslah diperhatikan. Jiwa zaman dalam bahasa ilmu sejarahnya. Patung-patung ini merupakan produk dari masa seksualitas tradisional. Diperkirakan wacana seksualitas ini berasal dari India yang merupakan hulu dari tradisi Hindu (hehehe, jadi ingat Kamasutra). Dalam beberapa candi di India dan Indonesia, ada penggambaran nyata alat kelamin dan hubungan seks. Hubungan seksual di zaman Hindu-Budha kuno tersebut, merupakan simbolisasi dari kesuburan. Simbol-simbol seksualitas ini, baik dalam praktek sehari-hari maupun secara abstrak, menjadi jimat yang harus menjamin berhasilnya panen dan kemakmuran. Ong Kho Kham mengatakan pada masa Raja Singasari terakhir, Kertanegara (1268-1292), mencari jimat atau kekuatan ghaib agar panen berhasil dengan jalan Tantrisme - melakukan hubungan seksual sepuas-puasnya sampai letih-muak. Seksualitas juga terungkap pula dalam perkawinan Ken Arok dan Ken Dedes. Seksualitas bukan hanya dimaknai sebagai sebuah keliaran/barbarisme, tapi sebuah jalan untuk memakmurkan masyarakat. Mungkin dalam konteks inilah, raja-raja dahulu memiliki anak puluhan, cucu ratusan dan cicit hampir ribuan dengan istri yang berjumlah entah berapa puluh pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar