Oleh : Muhammad Ilham
Menonton acara ILC minggu ini (topik : FPI versus Lady Gaga), pada gilirannya mengingatkan saya dengan budaya militerisme.
Militerisme ?
Sebuah pemahaman yang selama ini - setidaknya yang dipahami publik mayoritas - adalah sesuatu yang... menakutkan. Lihatlah misalnya penggalan "cerita" berikut yang terinspirasi dari sebuah artikel koran - Djalaluddin Rahmat (?) - diawal tahun 2000 :
Di sebuah tempat di pedalaman Aceh, ketika DOM (Daerah Operasi Militer) masih diberlakukan. Ada sebuah gubuk terpencil yang dihuni satu keluarga. Mereka adalah sebuah keluarga yang mengungsi ke tengah hutan karena tidak sanggup menghadapi konflik bersenjata GAM-TNI. Kedamaian seakan-akan menjadi barang luks. Ketakutan selalu menghantui mereka. Malam itu mereka berkumpul, makan malam bersama, sambil berbincang-bercanda. Suasana terasa hangat-lepas penuh kekeluargaan. Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Suasana riang berubah menjadi muram. Dari raut mukanya, terlihat sang ayah sangat takut. Disuruhnya salah satu diantara anaknya untuk melihat dan membukakan pintu. Si anak kemudian pergi ke arah pintu, sebagaimana yang diminta oleh ayahnya, dengan raut muka yang juga takut. Sementara sang ayah dan anggota keluarga lainnya menanti dengan harap-harap cemas. Beberapa saat kemudian, si anak yang disuruh membukakan pintu tadi mendatangi ayahnya, masih dengan raut muka takut. Sang ayah bertanya, “siapa yang mengetuk pintu tadi?”. Si anak menjawab, “Malaikat maut, yah. Ia ingin bertemu dengan ayah !”. Spontan si ayah ini menjawab, “Alhamdulillah, saya kira tadi yang datang tentara”.
Sebuah ketakutan dengan simbol-simbol riil militerisme - "tentara". Tapi janganlah terlebih dahulu kita berburuk sangka. Militerisme bukanlah (mutlak) suatu keadaan dimana pemerintahan dipimpin oleh para perwira militer seperti junta militer di Myanmar dan negara-negara "sejenis". Tentara jadi representasi kekuasaan politik dihampir semua lini vertikal masyarakat. Bukan itu. Militerisme lebih kepada kondisi sosial dan kejiwaan masyarakat. Ini bisa dijumpai dalam masyarakat yang dipimpin oleh sipil sekalipun. Refleksi militerisme, kata Noam Chomsky (1997) bisa dijumpai dalam berbagai bentuk kehidupan masyarakat sehari-hari, dalam benak dan pemikiran kita yang terkadang kita anggap sebagai sesuatu yang lumrah. Pakar Sosiologi Politik, Michael Mann (1999) mengatakan bahwa kehadiran militer/tentara bukanlah sesuatu yang otomatis menjadi perwujudan dari militerisme. Pada sisi lain, misalnya, negara yang dikuasai oleh pemimpin sipil secara formal, tidak terdapat jaminan pasti akan steril dari militerisme. Secara teoritis, kata Michael Mann lebih lanjut, militerisme adalah seperangkat sikap dan praktek sosial yang didasarkan kepada anggapan bahwa "peperangan" dengan segala persiapannya merupakan sesuatu yang normal dan "menggairahkan". Bagaimanapun jua, adalah sebuah kewajaran bila sikap militerisme melihat segala sesuatunya sebagai sebuah "medan peperangan". Menyerang atau diserang, kanai atau manganai - kata seorang kolega saya (alm.) adalah suatu prinsip hidup utama militerisme.
Sebuah pemahaman yang selama ini - setidaknya yang dipahami publik mayoritas - adalah sesuatu yang... menakutkan. Lihatlah misalnya penggalan "cerita" berikut yang terinspirasi dari sebuah artikel koran - Djalaluddin Rahmat (?) - diawal tahun 2000 :
Di sebuah tempat di pedalaman Aceh, ketika DOM (Daerah Operasi Militer) masih diberlakukan. Ada sebuah gubuk terpencil yang dihuni satu keluarga. Mereka adalah sebuah keluarga yang mengungsi ke tengah hutan karena tidak sanggup menghadapi konflik bersenjata GAM-TNI. Kedamaian seakan-akan menjadi barang luks. Ketakutan selalu menghantui mereka. Malam itu mereka berkumpul, makan malam bersama, sambil berbincang-bercanda. Suasana terasa hangat-lepas penuh kekeluargaan. Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Suasana riang berubah menjadi muram. Dari raut mukanya, terlihat sang ayah sangat takut. Disuruhnya salah satu diantara anaknya untuk melihat dan membukakan pintu. Si anak kemudian pergi ke arah pintu, sebagaimana yang diminta oleh ayahnya, dengan raut muka yang juga takut. Sementara sang ayah dan anggota keluarga lainnya menanti dengan harap-harap cemas. Beberapa saat kemudian, si anak yang disuruh membukakan pintu tadi mendatangi ayahnya, masih dengan raut muka takut. Sang ayah bertanya, “siapa yang mengetuk pintu tadi?”. Si anak menjawab, “Malaikat maut, yah. Ia ingin bertemu dengan ayah !”. Spontan si ayah ini menjawab, “Alhamdulillah, saya kira tadi yang datang tentara”.
Sebuah ketakutan dengan simbol-simbol riil militerisme - "tentara". Tapi janganlah terlebih dahulu kita berburuk sangka. Militerisme bukanlah (mutlak) suatu keadaan dimana pemerintahan dipimpin oleh para perwira militer seperti junta militer di Myanmar dan negara-negara "sejenis". Tentara jadi representasi kekuasaan politik dihampir semua lini vertikal masyarakat. Bukan itu. Militerisme lebih kepada kondisi sosial dan kejiwaan masyarakat. Ini bisa dijumpai dalam masyarakat yang dipimpin oleh sipil sekalipun. Refleksi militerisme, kata Noam Chomsky (1997) bisa dijumpai dalam berbagai bentuk kehidupan masyarakat sehari-hari, dalam benak dan pemikiran kita yang terkadang kita anggap sebagai sesuatu yang lumrah. Pakar Sosiologi Politik, Michael Mann (1999) mengatakan bahwa kehadiran militer/tentara bukanlah sesuatu yang otomatis menjadi perwujudan dari militerisme. Pada sisi lain, misalnya, negara yang dikuasai oleh pemimpin sipil secara formal, tidak terdapat jaminan pasti akan steril dari militerisme. Secara teoritis, kata Michael Mann lebih lanjut, militerisme adalah seperangkat sikap dan praktek sosial yang didasarkan kepada anggapan bahwa "peperangan" dengan segala persiapannya merupakan sesuatu yang normal dan "menggairahkan". Bagaimanapun jua, adalah sebuah kewajaran bila sikap militerisme melihat segala sesuatunya sebagai sebuah "medan peperangan". Menyerang atau diserang, kanai atau manganai - kata seorang kolega saya (alm.) adalah suatu prinsip hidup utama militerisme.
Huntington (1989) mengatakan bahwa ada dua prinsip
utama dari budaya militerisme : (a). rasa takut yang memasyarakat, dan
(b). simbol kekerasan dan kejantanan (kebuasan) ditonjolkan. Bila
dihubungkan (a) dan (b), maka berlaku asumsi dasar : masyarakat yang
mengidap militerisme tersebut secara formal mungkin menyanjung
simbol-simbol kekerasan dan kegagahan, tapi ini merupakan kompensasi
psikologis karena mereka menderita teror dan trauma. Kekerasan tidak
hanya dominan dalam masyarakat "bar-bar"ataupun monopoli dari
negara-negara Dunia Ketiga (yang baru "mau" berkembang). Modernitas yang
membawa simbol-simbol dan spirit kebebasan, kemerdekaan politik bagi
segala bangsa, HAM, rasionalitas serta kapitalisme dengan perangkat
"pasar bebas"nya, ternyata tak kurang buasnya. Untuk ini, dalam bukunya
Modernisme dan Post-modernisme, Ben Anderson menyimpulkan bahwa dua abad
modern terakhir ini merupakan masa-masapenuh kekerasan yang tak ada
bandingannya dalam durasi waktu panjang ummat manusia. Tak ada negara
yang lebih banyak berperang selama abad ke-19 daripada Inggris - negara
pemuka industri (dengan revolusi industri-nya) dan pasar bebas. Demikian
juga, tak ada negara di paro abad ke-20, bahkan hingga sekarang yang
lebih banyak berperang ketimbang Amerika Serikat, negara yang jumawa
berkiblat pada pasar bebas. Dan sejarah masih "segar"mencatat, perang
Dunia I dan II, disponsori oleh negara-negara kapitalis.
Kembali ke militerisme yang bercirikan pada kejantanan dan
mempertentangkan sikap hidup kaku menjadi dua realitas belaka :
kawan/lawan, kalah/menang, atau kanai/menganai. Sebagai sebuah sikap,
militerisme bukan hanya milik anggota militer. Tak sedikit warga sipil,
kelompok primordial, lembaga-lembaga kemasyarakatan,
organisasi-organisasi kepemudaan bahkan kemahasiswaan yang mengidap
"virus" militerisme ini. Intinya, terkadang si penjaga demokrasi itu
yang menghancurkan demokrasi, yang merasa berhak menjaga perdamaian yang
merusak perdamaian, dan orang-orang yang bukan berasal dari militer,
justru lebih militer dalam pendekatan sikapnya.
Semoga saya salah. Para fesbuker, berhak untuk tidak sependapat dengan saya. Berikut, beberapa tanggapan fesbukers dalam (Muhammad Ilham Fadli FB) berkenaan dengan topik terkait :
Semoga saya salah. Para fesbuker, berhak untuk tidak sependapat dengan saya. Berikut, beberapa tanggapan fesbukers dalam (Muhammad Ilham Fadli FB) berkenaan dengan topik terkait :
Emeraldy Chatra : Saya
tidak terlalu kuatir dengan militerisme, karena kasat mata dan dapat
diantisipasi dengan mudah. Yang saya takutkan adalah serangan diam-diam
terhadap pikiran, yang membuat kita tidak lagi tahu mana batas antara
benar dan salah. Lebih tragis lagi, setelah mengalami ketidakjelasan
kita digiring untuk tunduk dan rela memperbudak diri demi kepentingan
tertentu.
Astuti Budi Ferida : Kadang ketika melihat
sesuatu.....tak jarang orang melihat masalah lainnya..bukan yang
substansinya....dibahas habis kulitnya...tapi terlupakan membahas
isinya.....kulit perlu dibahas....tapi isi juga harus dibahas dengan
lebih seksama.
Juan Frans : Tidak hanya Lady Gagah yang
bisa KO kalo dibenturkan dengan nilai-nilai Islam, lagu-lagu Cinta yang
digandrungi masyarakat mestinya juga KO. Kalo soal lirik lagu setahu
saya ada band metal yang mengambil ayat al-quran dan menjadikannya
bagian dari lirik musiknya yang berisik, lalu apa band metal ini bisa
disebut band religius, islami? Saya curiga jangan-jangan tipe
masyarakat kita itu sebenarnya tidak mementingkan Subtansi justru,
gandrung dengan kemasan, kulitnya.
Ranny Amelia : Saya lihat ada sesuatu yang
menghubungkan orang-orang di berbagai belahan dunia saat ini, yakni
ketertarikan kepada kekerasan, apakah itu landasannya emosional ataupun
rasional. Setiap orang atau kelompok bisa terlibat dalam kekerasan.
Meskipun demikian semakin sedikit yang menyadari bahwa yang baik
sekalipun bisa menjadi ancaman bagi yang lain. Sebuah sikap yang baik
adalah tidak memakai energi itu untuk hal yang remeh temeh. Maka salah
besar jika dikatakan bahwa kekerasan dan perang hanya itulah isi dari
dunia militer. Didalamnya penuh dengan orang-orang yang perduli dengan
nilai-nilai kemanusiaan, solidarisme, dan hasrat untuk melindungi.
Masalahnya sebuah identitas telah dilekatkan kepada militer, disebarkan
secara intensif dan luas, oleh kekuasaan-kekuasaan yang ingin memakai
militer untuk mengamankan diri sendiri, dan memastikan bahwa kekuatan
ini tetap berada ditangannya.
Sumber Foto (Lady Gaga) : id.wikipedia.org
Referensi : Muhammad Ilham FB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar