Oleh : Muhammad Ilham
Buku Sejarah yang tidak mengandung kebohongan, pasti membosankan .. !!
(Anatole France, 1989: 17)
Buku Sejarah yang tidak mengandung kebohongan, pasti membosankan .. !!
(Anatole France, 1989: 17)
Ketika manusia sudah mulai lebih dari satu, maka dalam konteks ini, perspektif bias sudah
mulai terjadi.[1] Di saat manusia itu sudah mulai terbentuk berdasarkan jenis kelamin (genetic), maka, pada titik itu, pertimbangan superior berdasarkan
jenis kelamin, mulai ada. Secara tautologik, hal ini sudah menjadi
kehendak sejarah, apalagi bila dihubungkan dengan relasi gender. Sudah
menjadi rahasia umum dalam ranah penulisan sejarah (historiografi),
khususnya di Indonesia, kedudukan wanita dipandang secara bias. Ruth
Indah Rahayu (2007) menyatakan bahwa sejarah hanya memberikan porsi pada
wanita berdarah biru [2]. Pertimbangan takdir begitu signifikan sekali
karena penulisan sejarah masih terpusat pada wanita yang ditakdirkan
berdarah biru, wanita yang
dalam bahasa sosiologi, mendapatkan kemuliaan karena faktor ascribed bukan karena faktor achievement [3].
Penulisan-penulisan sejarah sejenis ini begitu kentara terlihat ketika sejarah wanita ditulis dalam konteks temporal masa dahulu, khususnya sejak zaman penjajahan. Pada masa itu, wanita dikategorisasikan kepada dua kategori, yaitu wanita yang melakukan kegiatan seperti memusuhi, menentang bahkan melawan penjajahan Belanda, kegiatan yang sebenarnya dianggap sebagai khas laki-laki. Ini dipersonifikasikan melalui tokoh-tokoh wanita utama yang berasal dari elit sosial komunitas dimana perlawanan itu berlangsung. Kategori kedua, kategori wanita yang melakukan kegiatan-kegiatan sosial-edukatif dan dianggap bersifat soft, walau juga masih dipandang sebagai kegiatan laki-laki, yaitu wanita-wanita yang bergerak di dalam dunia pencerahan edukasi seperti dunia pendidikan. Namun terlepas dari perdebatan-perdebatan epistimologis-historiografis sejarah, posisi dan peran wanita pernah dicatat sebagai bagian penting dari sejarah perjuangan bangsa ini [4].
Penulisan-penulisan sejarah sejenis ini begitu kentara terlihat ketika sejarah wanita ditulis dalam konteks temporal masa dahulu, khususnya sejak zaman penjajahan. Pada masa itu, wanita dikategorisasikan kepada dua kategori, yaitu wanita yang melakukan kegiatan seperti memusuhi, menentang bahkan melawan penjajahan Belanda, kegiatan yang sebenarnya dianggap sebagai khas laki-laki. Ini dipersonifikasikan melalui tokoh-tokoh wanita utama yang berasal dari elit sosial komunitas dimana perlawanan itu berlangsung. Kategori kedua, kategori wanita yang melakukan kegiatan-kegiatan sosial-edukatif dan dianggap bersifat soft, walau juga masih dipandang sebagai kegiatan laki-laki, yaitu wanita-wanita yang bergerak di dalam dunia pencerahan edukasi seperti dunia pendidikan. Namun terlepas dari perdebatan-perdebatan epistimologis-historiografis sejarah, posisi dan peran wanita pernah dicatat sebagai bagian penting dari sejarah perjuangan bangsa ini [4].
Terlepas dari dari kalangan mana para wanita pejuang dan wanita pemikir tersebut (sebagaimana yang dikategorisasikan di atas) berasal, kaum wanita pernah menjadi bagian penting dalam proses pembentukan negara-bangsa ini. Sejarah mencatat, cukup banyak wanita-wanita tegar dan vokal yang pernah menjadi aktor sejarah dan berperan aktif dalam ranah politik yang dianggap sebagai ranah laki-laki, terutama pada masa proses pembentukan negara-bangsa Indonesia. Menurut Saskia, hubungan politik antara wanita dan laki-laki menjadi berubah secara mendasar dan signifikan ketika entitas Indonesia sebagai negara-bangsa terbentuk. Hal ini didasari karena tidak ada lagi musuh bersama [5] sehingga laki-laki cenderung mengklaim bidang politik sebagai bidang mereka an sich dan wanita lebih diposisikan untuk berperan di bidang sosial.[6]
Sumber foto : raf.com
[1] Keberadaan Hawa (Eva) di Sorga (Eden) merupakan refleksi dan simbolisasi “bermainnya” kuasa
berdasarkan genetically. Hampir
seluruh Kitab Suci agama-agama Ibrahim (abrahamic
religion) mengatakan bahwa Hawa merupakan “pelengkap” bagi keberadaan
spesies sempurna ciptaan Tuhan. Dalam kitab Perjanjian Lama, dikatakan bahwa
Hawa didoktrin oleh sang Pencipta untuk membahagiakan Adam. Secara tidak
langsung, Hawa “hadir” sebagai aksesoris kebahagian Adam. Dan itu didoktrin
Tuhan. Doktrin ini diterjemahkan – dalam bahasa eksistensialisme - sebagai
bentuk “teror” eksistensi Hawa yang kemudian menjadi
justifikasi-historis-teologis. Inilah bentuk dan simbolisasi teror dan
kekuasaan pertama dalam sejarah manusia. Lihat, Muhammad Baqr al-Shadr, Falsafatunna, terjemahan (Bandung:
Mizan, 1993), hal. 141-143; lihat juga Nawel el-Sa’adawi, Catatan Seorang Perempuan (Buku Mini), terjemahan (Jakarta: PSWUIN
Jakarta, 2006), hal. 7-19 Novel Saman
karangan Ayu Utami – dalam bagian-bagian tertentu - juga mendeskripsikan justifikasi-historis-teologis ini (walau
terkesan “olok-olok”). Mengenai dialog-teologis
abrahamic religion mengenai nilai-nilai perrenialis penciptaan Hawa,
lihat buku monumental Karen W. Amstrong, Sejarah
Agama-Agama, terjemahan, (Bandung: Mizan, 2005), bab II
[2] Ruth Indiah Rahayu,
“Konstruksi Historiografi Feminisme dari Tutur Perempuan”, Makalah, Yogyakarta: 2007 (diunggap dalam bentuk edisi PDF tanggal
7 September 2011). Lihat juga Yudi Lathief dan Idy Subandy Ibrahim (et.al), Bahasa dan Kekuasaan : Politik Wacana di
Panggung Orde Baru (Bandung: Mizan, 1996), terutama bab I, III dan VI
[3] Ascribed mengacu kepada status seseorang dalam struktur sosial yang didapatkannya secara otomatis karena pertimbangan non-prestasi seperti keturunan (genealogic) yang berbeda dengan achievement yang menjadikan prestasi sebagai pertimbangan status seseorang dalam struktur sosial. Biasanya ascribed berkembang dan menjadi tipikal masyarakat tradisional, atau dalam bahasa sosiolog Emille Durkheim, masyarakat jenis mekanik, gemeinschaaft menurut Ferdinand Tonnies. Sedangkan achievement berkembang pada masyarakat organik (Durkheim), gesselschaaft (Ferdinand Tonies), masyarakat dalam tahap positivistic (Auguste Comte).
[3] Ascribed mengacu kepada status seseorang dalam struktur sosial yang didapatkannya secara otomatis karena pertimbangan non-prestasi seperti keturunan (genealogic) yang berbeda dengan achievement yang menjadikan prestasi sebagai pertimbangan status seseorang dalam struktur sosial. Biasanya ascribed berkembang dan menjadi tipikal masyarakat tradisional, atau dalam bahasa sosiolog Emille Durkheim, masyarakat jenis mekanik, gemeinschaaft menurut Ferdinand Tonnies. Sedangkan achievement berkembang pada masyarakat organik (Durkheim), gesselschaaft (Ferdinand Tonies), masyarakat dalam tahap positivistic (Auguste Comte).
[4] Kategorisasi ini
dianggap masih “berbau” androcentric
yang masih menggunakan pendekatan patriarki dalam penulisan sejarah. Kalimat
kegiatan yang dianggap sebagai “khas” kaum laki-laki merupakan refleksi bahwa
kegiatan perlawan fisik ataupun kegiatan kontributif-edukatif pada masa
kolonialisme, merupakan monopoli kaum laki-laki. Walaupun sejarah mencatat, ada
beberapa perempuan – tentunya yang berasal dari elit sosial – melakukan dua
kategori kegiatan ini, masih tetap dianggap sebagai sesuatu hal yang menarik,
keluar dari mainstream pakem sosial
masa itu. Sehingga tidaklah mengherankan beberapa studi/buku yang menganggap
bahwa perlawanan kaum perempuan baik dalam ranah perlawanan fisik mapun
kontribusi yang bersifat edukatif, merupakan sesuatu yang “asing” sekaligus
menarik. Asing dan menarik dilihat dari perspektif androcentric. Ini dibahas dengan baik oleh Ruth Indiah Rahayu,
“Konstruksi Historiografi Feminisme dari Tutur Perempuan”, Makalah, Yogyakarta: 2007 (diunggap dalam bentuk edisi PDF tanggal
7 September 2011); Saskia Eleonora Wieringa, Kuntilanak Wangi : Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia Sesudah
Tahun 1950, (Jakarta: Kalyanamitra, 1999); Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja (Jakarta: Hasta
Mitra, 2000); Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran
Gerakan Perempuan di Indonesia (Jakarta: Garba Budaya, 1999) dan Nur Imam
Subono, Sejarah, Laki-Laki, Kekerasan dan
Gender (Jakarta: Kalyanamitra, 2004). Makalah dan buku-buku yang penulis
sebuat di atas merupakan buku yang integratif.
[5] Dalam kajian-kajian
sosiologi politik dikenal konsep integrasi sosial. Biasanya integrasi sosial
akan tercipta dengan sendirinya karena beberapa faktor, diantaranya faktor
historis dan kesamaan nasib. Kesamaan nasib bisa dipahami sebagai kesamaan
tujuan, kesamaan latar dan kesamaan perlakuan. Kesamaan nasib ini biasanya akan
mendikotomikan ingroup – outgroup : “kita/kami vs mereka”. Integrasi akan tercipta apabila tujuan dan
dikotomi ini hadir, sehingga dalam kajian politik ada dikenal diktum : “bila
ingin bersatu, ciptakan musuh bersama”. Dalam konteks sejarah, perspektif ini
bisa dibaca dalam Smith Al Hadar, Arab
dan Arabisme : Sejarah Etnisitas dan
Entitas Negara Bangsa (Bandung: Mizan, 1997), hal. vi
[6] Saskia Eleonora
Wieringa, ibid., hal. 222-223
Tidak ada komentar:
Posting Komentar