(Empat Artikel yang terbit di Harian Umum Padang Ekspres dan Harian
Singgalang berkaitan dengan : "Haruskah Ajaran Komunisme diajarkan di
Sekolah?". Artikel Muhammad Ilham, Heru Joni Putra, Novellia Musda dan
Deddy Arsya)
Muhammad Ilham (Harian Singgalang)
Dalam
pergulatan sejarah pemikiran Islam akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21
Masehi, Minangkabau pernah memiliki seorang Datuk, namanya Datuk Batuah
– lengkapnya Ahmad Chatib gelar Haji Datuk Batuah. Orang Koto Laweh
ini, pada masa itu sangat mencengangkan dan sekaligus mencemaskan.
Persoalannya adalah Datuk Batuah yang haji itu adalah murid ulama
ternama Haji Rasul alias Inyiak Dotor, ayahanda ulama legendaris Haji
Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Beliau sendiri sampai awal tahun
1923 berprofesi sebagai guru dan menjadi pengurus Thawalib
Padangpanjang, Batusangkar dan Bukittinggi. Dalam sejarah, nama Datuk
Batuah bukanlah nama yang bagus dikalangan pergerakan Islam, hingga
kini. Sejarah mencatat Haji Datuk Batuah membawa dan, menyebarkan paham
komunis diaerah tersebut. Pada tahun 1923 ia menanamkan ajaran komunis
di kalangan pelajar-pelajar dan guru-guru muda Sumatera Thawalib
Padang Panjang. Sumatera Thawalib adalah suatu lembaga pendidikan yang
dimiliki oleh kalangan pembaharu Islam di Sumatera Barat dengan Inyiak
Dotor sebagai “pilar” utamanya. Haji Batuah merupakan salah seorang
pengajarnya.
Berawal dari
Sumatera Thawalib Padang Panjang, paham komunis akhirnya menyebar ke
berbagai daerah Sumatera Barat dibawa oleh para lulusan sekolah
tersebut ke daerah asalnya. Penyebaran ini terutama dilakukan di kalangan petani. Oleh masyarakat setempat ajaran komunis ini disebut “ilmu kominih” (Schrieke, 1960: 155). Ilmu ini menggabungkan ajaran Islam dengan ide anti penjajahan Belanda, anti imperialisme-anti kapitalisme dan ajaran Marxis. Pada
akhir tahun 1923 Datuk Batuah, bersama-sama dengan Nazar Zaenuddin
(sebagian mengatakan Natar Zaenuddin) mendirikan pusat Komunikasi Islam
di Padang panjang. Melalui media massa – Pemandangan Islam dan Djago Djago – Datuk Batuah memaklumkan diri sebagai “orang komunis”. Datuk Batuah menerbitkan harian “Pemandangan Islam” dan dan Nazar Zaenuddin menerbitkan “Djago-Djago”
(Djago-Djago bukan berkonotasi fisik atau kuat-hebat, jagoan - namun
lebih berkonotasi "pengingat" untuk tidak terhanyut dengan keadaan yang
ada, tidak pasrah dan seterusnya). Lembaga Pusat
Komunikasi Islam dan kedua harian tersebut digunakan sebagai media
penyiaran paham komunis. Padahal, kontribusi pencerahan yang dirintis
oleh Datuk Batuah dengan Pemandangan Islam dan Djago Djago sungguh
sangat luar biasa. Konon, pada masa ini, ada tiga media massa paling
berpengaruh di Hindia Belanda, dua diantaranya terdapat di Minangkabau
…… Pemandangan Islam dan Djago Djago. Bahkan, Ruth Mc Vey dalam bukunya The Rise of Indonesian Communism dan Takashi Shiraishi dalam bukunya Zaman Bergerak mengatakan
bahwa Datuk Batuah dan Haji Misbach (yang ini tokoh Islam “kiri”
Surakarta), sangat dihormati oleh kolonial Belanda bukan karena mereka
“penjilat” akan tetapi idealisme mereka yang sangat tinggi untuk
mencerahkan lingkungan masyarakat dan bangsanya.
Pada pagi 11 Nopember 1923 Datuk Batuah dan Nazar Zaenuddin ditangkap pemerintah kolonial Belanda. Segera setelah itu pusat propaganda komunis berpindah ke Padang ( Schreike, 1960: 60). Pucuk kepemimpinan PKI Sumatera Barat kemudian di ambil alih oleh Sutan Said Ali. Sejarah Datuak Batuah kemudian "terhenti" dan dibuang (diasingkan) bersama Natar Zaenuddin ke Tanah Merah - Boven Digoel, sebuah tempat pembuangan tokoh-tokoh pergerakan yang dianggap kolonial Belanda berpotensi mengganggu stabilitas politik yang mereka bangun. Digoel diibaratkan seperti Gullag-nya Uni Sovyet era Joseph Stalin, sebagaimana yang pernah dinukilkan oleh Alexander Solzhenitsyn dalam The Gulag Archipelago. Sejarawan Jepang, Takashi Shiraishi pernah mendeskripsikan Digoel atau Tanah Merah, dengan “penceritaan” yang menggentarkan. Begitu seramnya Digul, publik Belanda menyebut tempat interniran di tanah jajahan itu sebagai kuburan. Sekali didigulkan, orang seperti menandatangani kontrak kematian. Di daerah ini, kata Shiraishi, "Banyak yang hancur mentalnya karena putus asa." Di daerah ini pulalah, Datuak Batuah kemudian ”redup”. Ahmad Chatib yang bergelar Haji Datuk Batuah sampai hari ini, "seakan-akan" tidak ditangkap oleh layar sejarah sebagai aktor sejarah kontributif dan inspiratif. Terkadang sejarah selalu "bersimpang dua" - meminjam istilah filosof muslim, Hassan Hanafi.
Heru Joni Putra (Harian Padang Ekspres)
"Adalah hasrat kekayaan, bukan hasrat pengetahuan, yang mendorong peningkatan kemampuan teknologi terus dilakukan dan bagaimana pemasaran produk tersebut di masyarakat.” Jean Francois Lyotard
Pada pagi 11 Nopember 1923 Datuk Batuah dan Nazar Zaenuddin ditangkap pemerintah kolonial Belanda. Segera setelah itu pusat propaganda komunis berpindah ke Padang ( Schreike, 1960: 60). Pucuk kepemimpinan PKI Sumatera Barat kemudian di ambil alih oleh Sutan Said Ali. Sejarah Datuak Batuah kemudian "terhenti" dan dibuang (diasingkan) bersama Natar Zaenuddin ke Tanah Merah - Boven Digoel, sebuah tempat pembuangan tokoh-tokoh pergerakan yang dianggap kolonial Belanda berpotensi mengganggu stabilitas politik yang mereka bangun. Digoel diibaratkan seperti Gullag-nya Uni Sovyet era Joseph Stalin, sebagaimana yang pernah dinukilkan oleh Alexander Solzhenitsyn dalam The Gulag Archipelago. Sejarawan Jepang, Takashi Shiraishi pernah mendeskripsikan Digoel atau Tanah Merah, dengan “penceritaan” yang menggentarkan. Begitu seramnya Digul, publik Belanda menyebut tempat interniran di tanah jajahan itu sebagai kuburan. Sekali didigulkan, orang seperti menandatangani kontrak kematian. Di daerah ini, kata Shiraishi, "Banyak yang hancur mentalnya karena putus asa." Di daerah ini pulalah, Datuak Batuah kemudian ”redup”. Ahmad Chatib yang bergelar Haji Datuk Batuah sampai hari ini, "seakan-akan" tidak ditangkap oleh layar sejarah sebagai aktor sejarah kontributif dan inspiratif. Terkadang sejarah selalu "bersimpang dua" - meminjam istilah filosof muslim, Hassan Hanafi.
Heru Joni Putra (Harian Padang Ekspres)
"Adalah hasrat kekayaan, bukan hasrat pengetahuan, yang mendorong peningkatan kemampuan teknologi terus dilakukan dan bagaimana pemasaran produk tersebut di masyarakat.” Jean Francois Lyotard
Mungkinkah kurikulum pendidikan di
sekolah-sekolah memasukkan pengenalan dan pemahaman lebih lanjut
mengenai Marxisme? Tentu ada alasannya mengapa saya menggunakan kata
“mungkin” untuk mengawali pertanyaan tersebut. Sebab bisa saja hal itu
menjadi tidak mungkin sama sekali bila kita mengingat bahwa pemerintah
Orde Baru telah menjadikan Marxisme sebagai ideologi yang dilarang,
meskipun bila kaji ulang, akan tampak bahwa pemerintah Orde Baru, dalam
hal ini Soeharto, terlalu terburu-buru menyimpulkan itu semua. Dan
mungkin saja Marxisme bisa dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan
nasional bila pemerintah sekarang mau membuka diri dan meninjau kembali
kesalahan-kesalahan yang sepatutnya tak perlu diteruskan dari
pemerintahan Soeharto itu. Salah satu kesalahan Soeharto adalah
ketika ia tak ingin membedakan antara Marxisme dan Komunisme. Memang,
Karl Marx pernah menyebut Komunisme, tetapi Komunisme yang kita kenal
semalam ini adalah hasil interpretasi Lenin terhadap Marxisme atau lebih
sering disebut Marxisme-Leninisme. Jadi, ketakutan yang sengaja
diciptakan Soeharto sebenarnya pada Marxisme-Leninisme, bukan pada
Marxisme. Dalam hal ini saya ingin mengulang apa yang sudah seringkali
diingat orang-orang sebelum saya, bahwa Marxisme semenjak zaman Karl
Marx sampai sekarang ini semakin banyak perbedaannya dengan
Marxisme-Leninisme. Keduanya memang menggunakan kata “Marxisme” tetapi
sebagaimana ideologi lainnya—sebagaimana juga Pancasila, ada banyak
tafsir terhadapnya, bahkan butuh perbaikan di sana-sini. Kita tentu mengenal Louis Althuser,
Antonio Gramsci, Terry Eagleton, atau Zizek, dan masih banyak lainnya.
Mereka adalah tokoh-tokoh Marxis yang memahami Marxisme secara terbuka.
Saya melihat bahwa mereka melakukan penyegaran terhadap
pemikiran-pemikiran Karl Marx. Penyegaran terhadap pemikiran Marx tentu
saja patut dilakukan mengingat adanya masalah-masalah baru yang
terjadisekarang yang tidak begitu berdengung pada zaman Karl Marx.
Sekarang kita tak bisa melihat permasalahan, baik itu secara ekonomi,
politik, maupun sosial-budaya, hanya sebagai pertentangan antara kaum
buruh dan borjuis. Sebab ada gejala-gejala lain yang membuat kita mesti
menggunakan pendekatan maupun aspek-aspek lain untuk melawan dengan
Marxisme, sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang saya sebutkan
tadi. Maka, bagi saya, sangat tolol sekali bila kita pada hari ini
memahami Marxisme sebagaimana Soeharto untuk meruntuhkan Soekarno dan
melakukan itu semua untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaannya
sampai 32 tahun.
Untuk apa sebenarnya Marxisme bagi anak sekolah, bagi siswa setingkat SMP, SMA, dan bahkan mahasiswa? Agar tidak terpengaruh oleh kapitalisme adalah jawaban yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan yang sangat bagus tersebut. Para moralis, mesti memahami seberapa besar dampak kapitalisme terhadap kehancuran moral bangsa. Para politikus mesti mau berpikir tentang seberapa kuat pengaruh kapitalis terhadap gagalnya kata “partai politik” menjadi kata yang menyenangkan di telinga msyarakat banyak. Para budayawan, mesti kembali membicarakan seberapa dahsyatnya dampak kapitalisme terhadap ketidakpedulian masyarakat terhadap isu-isu kebudayaan. Dan terutama, para pengajar mesti mengerti bahwa kapitalisme menjadi sebab mengapa tingkat pendidikan kita masih rendah. Pokoknya, siapapun kita, sudah sepatutnya kita kembali berpikir serius tentang bahaya kapitalisme. Dan apapun profesi kita, dampak jelas dari kapitaslime adalah ketika segala-galanya diukur dengan seberapa uang yang kita punya dan seberapa banyak kita membeli barang-barang yang sebenarnya tidak menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan kita. Sebab landasan dalam sistem ekonomi kapitalis adalah bagaimana mendapatkan untung yang sebesar-besarnya dengan mempengaruhi masyarakat agar membeli sebanyak-banyaknya dan seterus-menerusnya. Salah satu contoh agar orang terus membeli barang mereka adalah dengan cara mengeluarkan barang tertentu hanya dengan satu keunggulan. Dan bila ingin mendapatkan keunggulan lain, bisa dengan membeli barang keluaran selanjutnya. Begitu seterusnya.
Dan salah satu korban dari penipuan terselubung yang dilakukan kapitalis adalah siswa SMP dan SMA yang notabene sangat mudah terpengaruh. Kita bisa melihat lewat iklan-iklan di televisi bagaimana perusahaan di Indonesia pada umumnya yang bermental kapitalisme melakukan apa yang disebut Jean Baudrillard sebagai “manipulasi tanda-tanda.” Perusahaan-perusahaan tersebut menciptakan iklan yang membuat kita seakan-akan kita memang butuh dan harus membeli barang yang mereka tawarkan. Mereka memanipulasi kita dengan tanda-tanda, dengan simbol-simbol yang dekat dengan kehidupan kita. Sehingga kita pun merasa bahwa apa yang mereka iklankan dengan menggunakan orang-orang terkenal itu memang perlu kita miliki sekarang juga. Maka terjadilah keadaan di mana sebuah keluarga tidak mempunyai beras untuk dimasak tetapi uang untuk membayar kredit motor ada. Atau anak sekolah yang tak punya uang untuk membeli buku tapi untuk membeli pulsa blackberry ada. Atau sebuah universitas yang tak memiliki anggaran untuk memperbaiki pustaka tetapi uang untuk mendatangkan para kapitalis berceramah tentang cara mendapatkan uang sebanyak-banyaknya selalu ada. Ada seseorang yang tak punya uang untuk berbagi, tetapi untuk membeli barang merek terkenal ada. Apakah Anda yakin bahwa perusahaan tersebut peduli dengan itu semua? Meskipun tadi saya mengatakan bahwa siswa sekolah menjadi target utama kapitalis, tetapi yang terjadi malah semakin ironis ketika mahasiswa yang seringkali disebut sebagai agen perubahan justru tidak membawa perubahan dan malah ikut terseret arus yang dibawa kapitalisme. Kapitalisme telah membuat mahasiswa memiliki dua dunia. Dua kampus dan dunia kampung. Kampus adakalanya menjadi show room, tempat memamerkan motor dan mobil-mobil mewah. Kampus menjadi panggung fashion show, tempat memamerkan pakaian-pakaian terbaru, dan seterusnya. Sedangkan kampung menjadi tempat untuk mengadu bila tak ada lagi uang untuk membeli barang-barang terbaru, tak peduli apakah dengan cara meminjam uang orang lain, menjual sawah, atau memakai uang yang disimpan-simpan orang tua untuk keperluan mendadak di kemudian hari misalnya. Dari berbagai contoh tersebut, untuk sementara, kita tentu bisa menyimpulkan jawaban sendiri tentang mengapa marxisme dengan segala perkembangannya sangat perlu dimasukkan ke dalam kukikulum pendidikan nasional.
Saya memaklumi bila sebagian kecil orang mungkin akan menolak untuk memasukkan Marxisme ke dalam kurikulum pendidikan, dengan alasan bahwa mata pelajaran agama telah lama mengajarkan bagaimana siksaan untuk orang-orang yang serakah seperti kapitalis. Atau mungkin sebagian kecil orang lainnya akan mengatakan bahwa mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, Kewarganegaraan, atau Filsafat Pancasila telah mengajarkan tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga bahaya kapitalime bisa dibentengi dengan pancasila. Dan saya kira masih banyak bantahan lain agar Marxisme tak usah dimasukkan ke dalam kurikulum. Tanpa bermaksud merendahkan mata pelajaran agama dan Pancasila, saya memang merasa perlu mendukung untuk memasukkan Marxisme ke dalam kurikulum, karena Marxisme secara lebih khusus bisa membahas mengenai bahaya kapitalisme (tingkat lanjut). Sedangkan mata pelajaran agama dan pancasila mempunyai begitu banyak pembahasan. Tentu saja, kita butuh penerapan terhadap ilmu-ilmu agama maupun pancasila. Artinya, Marxisme pada hakikatnya ikut membantu mata pelajaran agama dan pancasila dalam membahas mengenai sifat serakah dan ketidakadilan sosial yang telah diciptakan oleh sistim ekonomi kapitalime. Semoga dengan menjadikan Marxisme sebagai salah satu mata pelajaran, baik sebagai pelajaran wajib, pilihan maupun ekstrakurikuler, maka kita berharap semoga contoh dari dampak kapitalisme yang sudah saya sebutkan di atas tadi bisa dipahami semenjak dini. Saya berharap semoga nanti hubungan kita dengan orang lain tidak ditentukan oleh barang-barang apa saja yang sanggup kita beli, seperti yang sering kita rasakan akhir-akhir ini.
Novelia Musda (Harian Padang Ekspres)
Benar kata Heru bahwa di Indonesia kian hari segala sesuatu makin diukur dengan uang dan apa pun dikomersialisasikan kadang tak peduli batas halal haram. Anak-anak muda berorientasi materi dengan tak memperhatikan batas-batas kemampuan. Utang jadi budaya demi gaya hidup, pandangan hidup kian dangkal dan individualistis. Ini terjadi karena serbuan produk-produk dan mentalitas kapitalis yang punya kepentingan bagaimana orang-orang makin tergantung kepadanya. Supaya masyarakat tak tambah rusak, bahaya-bahaya sedemikian musti dicegah dengan melakukan kiat-kiat tertentu. Yang menjadi persoalan adalah apakah Marxisme dapat diharapkan mencerahkan generasi muda untuk mengatasi dampak kemajuan zaman sedemikian? Marxisme memang tidak identik dengan komunisme dan gerakan revolusioner. Banyak analisisnya tentang bahaya kapitalisme serta teori tentang pertentangan kelas yang berguna. Akan tetapi, ada hal-hal negatif dalam paham tersebut membuatnya hanya parsial benar, tapi secara keseluruhan keliru. Hal ini serupa kasusnya dengan eksistensialisme, ala Sartre dan Heidegger, yang humanis tapi sukses menggiring orang dalam keputus-asaan tak tersembuhkan. Karena doktrin tersebut secara prinsip keliru, walau secara parsial berisi kebenaran, mempelajarinya jadi hal tak perlu. Seperti kata Fritjhof Schuon (dalam artikelnya Letter on Existensialism) ,” Truths are to be found in all the philosophers, and above all half-truths, but these truths are flanked with errors and inconsistencies…no need for them. “ Setidaknya ada tiga hal negatif pada Marxisme jika dipelajari atau jadi pandangan hidup oleh kaum muda. Karena keterbatasan tempat, hanya hal-hal umum dan konklusif saja dikemukakan.
Pertama, Marxisme menggiring kepada materialisme. Marxisme secara sederhana adalah ajaran Karl Marx. Karl Marx merupakan seorang Yahudi yang kecewa berat dengan bapaknya yang pindah agama dari Yahudi ke agama Kristen supaya secara finansial dan sosial hidupnya lebih mudah. Salah satunya karena pertarungan batin ini dia memilih jadi ateis. Setiap ateis jika berdakwah akan mendakwahkan materialisme. Namun, bukan berarti setiap yang menganut Marxisme akan jadi ateis atau materialis. Marxisme hanya satu pintunya, tetapi bisa jadi pintu yang mudah dilalui menuju ke sana. Kedua, Marxisme memiskinkan spiritualitas manusia. Karena Karl Marx menganggap agama hanya candu dan Tuhan sebagai proyeksi impian manusia, secara langsung Marxisme menggerogoti keimanan seseorang. Yang dipedulikan Marxisme hanyalah supaya semua manusia secara adil dan damai menikmati kebutuhan-kebutuhan tubuh. Bahwa mereka beragama ini atau itu tidak penting. Yang dinomor satukan hanya kebutuhan jasmaniah dan psikologis. Padahal, yang menjadi nilai lebih pada diri manusia adalah spiritualitasnya, ke-ilahi-an yang ditanamkan dalam dirinya. Yang menjadi tujuan hidup manusia bukan memuaskan hasrat tapi melampaui hasrat dengan membina spiritualitas atau rohaninya. Ketiga, Marxisme mendorong timbulnya paham-paham turunan berbahaya (komunisme, Leninisme, Maoisme) dan bila telah kuat bisa memicu aksi-aski yang bisa membahayakan masyarakat. Banyak sudah contoh terjadi bahwa jika suatu paham sedang tidak digemari masyarakat, atau dipandang mengancam, atau pendeknya posisinya sedang lemah, paham itu akan mendakwahkan hal-hal yang sifatnya kompromistis dan lunak. Hal ini hanya selubung. Pelan-pelan, jika para penganutnya telah cukup kuat, maka kebijakan pun berubah. Yang dituntut bukan sekadar pengakuan, tapi pembenaran. Mulailah dilakukan paksaan demi paksaan dalam beragam bentuk agar paham tersebut jadi satu-satunya yang dianut dan diakui sebagai satu-satunya yang benar. Agaknya sejarah Rusia, China, Korea Utara dan Kuba sudah cukup menunjukkan.
Pada dasarnya memang Marxisme bisa diartikan sebagai satu dari banyak teori ekonomi. Namun, sejarah membuktikan banyak orang mengambil inspirasi darinya untuk menciptakan paham-paham turunan yang berbahaya di tengah masyarakat. Ini menunjukkan hal tersebut bukan sekadar teori ekonomi, tapi bisa menggiring kepada ideologi. Ideologi bisa jadi pengganti agama. Lagipula, sudah banyak pendapat yang menunjukkan kegagalan Marxisme sebagai teori dan praktik. Suatu doktrin yang salah dilihat dari buahnya. Doktrin yang salah umurnya juga biasanya singkat. Sekarang Marxisme boleh jadi menarik bagi banyak orang terutama bagi yang belum mengenalnya, bagi yang suka mencoba-coba, bagi yang bosan dengan status quo dan mendapati tantangan baru yang menarik. Akan tetapi, siapa menjamin doktrin ini akan laku 100 tahun lagi. Pemikiran Karl Marx itu kalaupun ada yang benar hanya karena bersandar pada situasi dan kondisi pada zamannya atau kondisi yang serupa. Jika keadaan berubah, maka galeh-nya tak laku lagi. Juga mungkin ada yang keberatan dan mengatakan seseorang bisa sekaligus tetap saleh secara religius dan menganut Marxisme dalam hidupnya. Atau bahwa dengan Marxisme orang bisa sadar bahaya hedonisme dan kapitalisme sehingga mendorong bersikap zuhud. Orang bisa juga keberatan dengan mengatakan bahwa paham Marxisme telah menghasilkan orang-orang besar dan idealis baik skala internasional maupun seperti Tan Malaka. Hal ini memang bisa saja terjadi seperti juga banyak contoh di mana seorang yang saleh pandangan hidupnya salah dan perilakunya sektarian. Karl Marx yang mendakwahkan Marxisme adalah seorang Yahudi ateis dan sekuler. Akan tetapi, kapitalisme kontemporer justru banyak dikecimpungi oleh Yahudi-Yahudi juga yang berkontribusi signifikan di balik kebijakan ekonomi IMF, bank dunia Amerika Serikat dan lainnya. Tak jarang kritikan terhadap kapitalis dari kaum Marxis malah membuat kapitalisme semakin kuat. Sekali lagi ini sudah indikasi yang cukup bahwa apa pun yang datang dari Yahudi ateis dan sekuler musti serius diwaspadai meski dari pemikir besar dan humanis sekalipun.
Pencarian sebab meningkatnya materialisme praktis pada generasi muda Indonesia zaman sekarang pun pertama sekali mungkin bukan pada kapitalisme, tapi sederhananya pada kelemahan-kelemahan kita. Kelemahan ini bersumber dari mentalitas yang salah berupa kedisiplinan batin yang kurang serta ketidaksetiaan terhadap tradisi. Akibat kelemahan ini, kepentingan asing mudah masuk dan paham-paham berbahaya dari Barat dan Timur melenggang gembira. Hal ini juga berdampak pada meningkatnya ketergantungan pada bantuan asing (utang dan bantuan lain) serta kerentanan terhadap perubahan-perubahan luar (seperti naiknya harga minyak dunia). Walhasil, pemuda dan pelajar Indonesia tidak butuh satu lagi pelajaran teori. Cukup mereka saja yang mencari dan membaca sendiri Das Kapital kalau mereka mau tanpa harus diajarkan di sekolah. Lagiupula, kepala mereka sudah kusut dengan teori dan bombardir tugas-tugas. Hal teoritis sudah saatnya dikurangi. Pelajaran yang bersifat praktik dan keahlian (teknik, bahasa asing dan seni) yang perlu ditambah agar mereka tidak hanya sibuk bergaya dan berwacana serta berpuas diri dalam kebanggaan yang hampa.
Deddy Arsya (Harian Padang Ekspres)
Menumpang pada marxisme sama seperti menumpang pada biduk bocor. Ibarat diri akan karam. Di Sumatera Barat, sejak Magas memperkenalkan ideologi marxisme sebagai ideologi pembebasan dari penderitaan penjajahan, ideologi itu tidak pernah bisa diterima secara utuh oleh masyarakat. Marxisme mulai dapat berterima secara signifikan setelah bertranformasi ke dalam berbagai bentuk ideologi lain, termasuk berafiliasi dengan Islam seperti yang dicobakan oleh Datoek Batoeah. Pada 1920an itu, misalnya, beberapa orang di Minangkabau bahkan juga mencobakan memasukkan pelajaran marxisme ke kalangan pelajar sekolah menengah. Pelajar Sumatera Tawalib pada periode itu banyak yang gandrung pada ideologi ini, apalagi gurunya Datoek Batoeah juga seorang marxis yang hampir fanatik. Akan tetapi, penentangan dengan giat dilancarkan dari banyak kalangan, baik dari kalangan pelajar sendiri, maupun dari kalangan gurunya, terutama yang paling keras adalah Haji Abdul Karim Amarullah. Jika sekarang ideologi itu (betapa pun baiknya ideologi ini tampaknya, yang telah bertransformasi menjadi neo-marxis sekalipun) hendak dimasukkan lagi ke sekolah, bahkan menjadi salah satu mata pelajaran pula, kita hanya mengulang sejarah yang nyata telah jelas hasilnya. Kita hanya akan menuai penentangan demi penentangan. Masyarakat di mana pun, memang mudah antipati terhadap yang asing. Masyarakat kebudayaan paling sulit melepaskan yang lama ketimbang menerima yang baru. Maka dari itu, kita sesungguhnya tidak perlu mencari jauh-jauh ke perbendaharaan asing. Apalagi bersandar pada ideologi yang tidak bisa lagi diandalkan sebagai penyelemat. Idigium orang Minangkabau lainnya tentang kerja seperti itu sama dengan “bataduah di bawah batang aua” (berteduh di bawah batang aur). Batang aur jika dilihat dari jauh memang nampak rimbun dan meneduhkan, tetapi ketika kita telah berada di bawahnya, kita ternyata tetap basah. Belum lagi, ular dan kala biasanya banyak bersarang di rumpunnya yang siap menggigit dan memantak kita.
Musda bisa jadi benar, mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah sudah banyak, bahkan sudah lebih dari cukup, apalagi ditambah pula dengan les-les yang tidak berkeruncingan. Bikin ruwet otak. Jangankan untuk menjernihkan, memasukkan marxisme malah akan membikin semakin kusut akal. Cukup-lah orang-orang kampus saja yang belajar itu, mahasiswa filsafat saja yang menyuntuk-nyuntukkan diri terhadap itu. Kalau pun pelajar kita ingin pula terlibat belajar marxisme, biarlah kesadaran mereka sendiri yang membuat mereka mempelajarinya. Sementara untuk menangkal kerakusan, hedonisme, hasrat konsumtif, kita memang lebih dari cukup hanya memanfaatkan yang telah ada saja. Misalnya, mengoptimalkan pelajaran agama, budi pekerja, atau BAM. Heru mungkin tidak sepenuhnya hendak memasukkan marxisme sebagai bagian dari pelajaran di sekolah, baik sebagai pelajaran inti maupun pelajaran ekstrakurikuler. Saya menganggap tulisannya adalah sebuah sentilan belaka bagi dunia pendidikan kita. Tulisan Heru, di sisi ini, bisa menjadi refleksi bagi kita bahwa kadang kita memang patut putus asa memandang dunia pendidikan hari ini. Di sekolah diajarkan pendidikan agama, pendidikan budi pekerti, pendidikan BAM, dan pendidikan untuk pembangunan moral lainnya. Namun, yang diajarkan di sekolah itu tidak berhasil menjadi nilai-nilai yang siap dipraktikkan. Para pelajar tetap saja sulit menjadi sederhana. Pelajaran budi pekerti dekat dengan hapalan demi untuk memenuhi jawaban ujian. Ironis jika kata ‘budi’ harus didefinisikan, pengertian tenggang rasa mesti dihapalkan. BAM juga tidak beranjak dari tataran teoritis yang berupa hapalan pula, tidak berpijak pada konteks zaman, lepas dari realitas. Di buku pelajaran bicara soal mamak, dunia sekarang tak butuh mamak lagi. Bicara tentang pusaka, pusaka sudah tergadai di mana-mana. Pelajaran agama juga begitu, tak jauh berbeda. Dalam konteks seperti inilah tulisan Heru lahir, sebagai sebuah usulan untuk mencari praksis yang lain ketika yang praksis yang ada dianggap tidak lagi ampuh menyelesaikan masalah kita.Tulisan Heru menjadi semacam kritik untuk memperbaiki pengajaran moral di sekolah. Meneruskan Heru, barangkali, untuk zaman kita yang dikuasai benda-benda seperti sekarang, bukan marxisme (yang malah justru berafiliasi pada materi) yang menjadi penangkalnya.
Kita bisa mantapkan pelajaran agama, dengan dimodifikasi menjadi lebih berafilisasi ke pengajaran untuk zuhud. Pelajaran agama mestinya tidak lagi bertumpu pada pembelajaran yang ritualistik.Hidup sederhanya juga ibadah, juga sesuatu yang harus dipelajari dan dilatih. Melawan diri sendiri untuk tidak memperturutkan hasrat membeli juga sebuah jihad. Rakus adalah dosa besar. Hak kita akan benda-benda hanyalah apa yang menjadi kebutuhan kita. Di luar itu, tidak. Dan lain sebagainya. Tidakkah dalam Islam, semangat revolusioner dalam melawan kerakusan juga tidak kalah besar ketimbang marxisme. Islam bilang, “celakah para pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya”. Narasi Islam yang seperti itu jika dikontekstualisasikan jelas merujuk sebagai kecaman pada kapitalisme, kepada kerakusan manusia. Orang Minangkabau juga tidak mentoleril kerakusan, bahkan mengutuknya. Ada kata ‘akok’, yang berarti semuanya ingin dipunyai, rakus. Kita tidak boleh ‘akok’. Terminologi ini jelas berkonotasi buruk, sangat buruk dalam masyarakat kita.
Untuk apa sebenarnya Marxisme bagi anak sekolah, bagi siswa setingkat SMP, SMA, dan bahkan mahasiswa? Agar tidak terpengaruh oleh kapitalisme adalah jawaban yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan yang sangat bagus tersebut. Para moralis, mesti memahami seberapa besar dampak kapitalisme terhadap kehancuran moral bangsa. Para politikus mesti mau berpikir tentang seberapa kuat pengaruh kapitalis terhadap gagalnya kata “partai politik” menjadi kata yang menyenangkan di telinga msyarakat banyak. Para budayawan, mesti kembali membicarakan seberapa dahsyatnya dampak kapitalisme terhadap ketidakpedulian masyarakat terhadap isu-isu kebudayaan. Dan terutama, para pengajar mesti mengerti bahwa kapitalisme menjadi sebab mengapa tingkat pendidikan kita masih rendah. Pokoknya, siapapun kita, sudah sepatutnya kita kembali berpikir serius tentang bahaya kapitalisme. Dan apapun profesi kita, dampak jelas dari kapitaslime adalah ketika segala-galanya diukur dengan seberapa uang yang kita punya dan seberapa banyak kita membeli barang-barang yang sebenarnya tidak menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan kita. Sebab landasan dalam sistem ekonomi kapitalis adalah bagaimana mendapatkan untung yang sebesar-besarnya dengan mempengaruhi masyarakat agar membeli sebanyak-banyaknya dan seterus-menerusnya. Salah satu contoh agar orang terus membeli barang mereka adalah dengan cara mengeluarkan barang tertentu hanya dengan satu keunggulan. Dan bila ingin mendapatkan keunggulan lain, bisa dengan membeli barang keluaran selanjutnya. Begitu seterusnya.
Dan salah satu korban dari penipuan terselubung yang dilakukan kapitalis adalah siswa SMP dan SMA yang notabene sangat mudah terpengaruh. Kita bisa melihat lewat iklan-iklan di televisi bagaimana perusahaan di Indonesia pada umumnya yang bermental kapitalisme melakukan apa yang disebut Jean Baudrillard sebagai “manipulasi tanda-tanda.” Perusahaan-perusahaan tersebut menciptakan iklan yang membuat kita seakan-akan kita memang butuh dan harus membeli barang yang mereka tawarkan. Mereka memanipulasi kita dengan tanda-tanda, dengan simbol-simbol yang dekat dengan kehidupan kita. Sehingga kita pun merasa bahwa apa yang mereka iklankan dengan menggunakan orang-orang terkenal itu memang perlu kita miliki sekarang juga. Maka terjadilah keadaan di mana sebuah keluarga tidak mempunyai beras untuk dimasak tetapi uang untuk membayar kredit motor ada. Atau anak sekolah yang tak punya uang untuk membeli buku tapi untuk membeli pulsa blackberry ada. Atau sebuah universitas yang tak memiliki anggaran untuk memperbaiki pustaka tetapi uang untuk mendatangkan para kapitalis berceramah tentang cara mendapatkan uang sebanyak-banyaknya selalu ada. Ada seseorang yang tak punya uang untuk berbagi, tetapi untuk membeli barang merek terkenal ada. Apakah Anda yakin bahwa perusahaan tersebut peduli dengan itu semua? Meskipun tadi saya mengatakan bahwa siswa sekolah menjadi target utama kapitalis, tetapi yang terjadi malah semakin ironis ketika mahasiswa yang seringkali disebut sebagai agen perubahan justru tidak membawa perubahan dan malah ikut terseret arus yang dibawa kapitalisme. Kapitalisme telah membuat mahasiswa memiliki dua dunia. Dua kampus dan dunia kampung. Kampus adakalanya menjadi show room, tempat memamerkan motor dan mobil-mobil mewah. Kampus menjadi panggung fashion show, tempat memamerkan pakaian-pakaian terbaru, dan seterusnya. Sedangkan kampung menjadi tempat untuk mengadu bila tak ada lagi uang untuk membeli barang-barang terbaru, tak peduli apakah dengan cara meminjam uang orang lain, menjual sawah, atau memakai uang yang disimpan-simpan orang tua untuk keperluan mendadak di kemudian hari misalnya. Dari berbagai contoh tersebut, untuk sementara, kita tentu bisa menyimpulkan jawaban sendiri tentang mengapa marxisme dengan segala perkembangannya sangat perlu dimasukkan ke dalam kukikulum pendidikan nasional.
Saya memaklumi bila sebagian kecil orang mungkin akan menolak untuk memasukkan Marxisme ke dalam kurikulum pendidikan, dengan alasan bahwa mata pelajaran agama telah lama mengajarkan bagaimana siksaan untuk orang-orang yang serakah seperti kapitalis. Atau mungkin sebagian kecil orang lainnya akan mengatakan bahwa mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, Kewarganegaraan, atau Filsafat Pancasila telah mengajarkan tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga bahaya kapitalime bisa dibentengi dengan pancasila. Dan saya kira masih banyak bantahan lain agar Marxisme tak usah dimasukkan ke dalam kurikulum. Tanpa bermaksud merendahkan mata pelajaran agama dan Pancasila, saya memang merasa perlu mendukung untuk memasukkan Marxisme ke dalam kurikulum, karena Marxisme secara lebih khusus bisa membahas mengenai bahaya kapitalisme (tingkat lanjut). Sedangkan mata pelajaran agama dan pancasila mempunyai begitu banyak pembahasan. Tentu saja, kita butuh penerapan terhadap ilmu-ilmu agama maupun pancasila. Artinya, Marxisme pada hakikatnya ikut membantu mata pelajaran agama dan pancasila dalam membahas mengenai sifat serakah dan ketidakadilan sosial yang telah diciptakan oleh sistim ekonomi kapitalime. Semoga dengan menjadikan Marxisme sebagai salah satu mata pelajaran, baik sebagai pelajaran wajib, pilihan maupun ekstrakurikuler, maka kita berharap semoga contoh dari dampak kapitalisme yang sudah saya sebutkan di atas tadi bisa dipahami semenjak dini. Saya berharap semoga nanti hubungan kita dengan orang lain tidak ditentukan oleh barang-barang apa saja yang sanggup kita beli, seperti yang sering kita rasakan akhir-akhir ini.
Novelia Musda (Harian Padang Ekspres)
Benar kata Heru bahwa di Indonesia kian hari segala sesuatu makin diukur dengan uang dan apa pun dikomersialisasikan kadang tak peduli batas halal haram. Anak-anak muda berorientasi materi dengan tak memperhatikan batas-batas kemampuan. Utang jadi budaya demi gaya hidup, pandangan hidup kian dangkal dan individualistis. Ini terjadi karena serbuan produk-produk dan mentalitas kapitalis yang punya kepentingan bagaimana orang-orang makin tergantung kepadanya. Supaya masyarakat tak tambah rusak, bahaya-bahaya sedemikian musti dicegah dengan melakukan kiat-kiat tertentu. Yang menjadi persoalan adalah apakah Marxisme dapat diharapkan mencerahkan generasi muda untuk mengatasi dampak kemajuan zaman sedemikian? Marxisme memang tidak identik dengan komunisme dan gerakan revolusioner. Banyak analisisnya tentang bahaya kapitalisme serta teori tentang pertentangan kelas yang berguna. Akan tetapi, ada hal-hal negatif dalam paham tersebut membuatnya hanya parsial benar, tapi secara keseluruhan keliru. Hal ini serupa kasusnya dengan eksistensialisme, ala Sartre dan Heidegger, yang humanis tapi sukses menggiring orang dalam keputus-asaan tak tersembuhkan. Karena doktrin tersebut secara prinsip keliru, walau secara parsial berisi kebenaran, mempelajarinya jadi hal tak perlu. Seperti kata Fritjhof Schuon (dalam artikelnya Letter on Existensialism) ,” Truths are to be found in all the philosophers, and above all half-truths, but these truths are flanked with errors and inconsistencies…no need for them. “ Setidaknya ada tiga hal negatif pada Marxisme jika dipelajari atau jadi pandangan hidup oleh kaum muda. Karena keterbatasan tempat, hanya hal-hal umum dan konklusif saja dikemukakan.
Pertama, Marxisme menggiring kepada materialisme. Marxisme secara sederhana adalah ajaran Karl Marx. Karl Marx merupakan seorang Yahudi yang kecewa berat dengan bapaknya yang pindah agama dari Yahudi ke agama Kristen supaya secara finansial dan sosial hidupnya lebih mudah. Salah satunya karena pertarungan batin ini dia memilih jadi ateis. Setiap ateis jika berdakwah akan mendakwahkan materialisme. Namun, bukan berarti setiap yang menganut Marxisme akan jadi ateis atau materialis. Marxisme hanya satu pintunya, tetapi bisa jadi pintu yang mudah dilalui menuju ke sana. Kedua, Marxisme memiskinkan spiritualitas manusia. Karena Karl Marx menganggap agama hanya candu dan Tuhan sebagai proyeksi impian manusia, secara langsung Marxisme menggerogoti keimanan seseorang. Yang dipedulikan Marxisme hanyalah supaya semua manusia secara adil dan damai menikmati kebutuhan-kebutuhan tubuh. Bahwa mereka beragama ini atau itu tidak penting. Yang dinomor satukan hanya kebutuhan jasmaniah dan psikologis. Padahal, yang menjadi nilai lebih pada diri manusia adalah spiritualitasnya, ke-ilahi-an yang ditanamkan dalam dirinya. Yang menjadi tujuan hidup manusia bukan memuaskan hasrat tapi melampaui hasrat dengan membina spiritualitas atau rohaninya. Ketiga, Marxisme mendorong timbulnya paham-paham turunan berbahaya (komunisme, Leninisme, Maoisme) dan bila telah kuat bisa memicu aksi-aski yang bisa membahayakan masyarakat. Banyak sudah contoh terjadi bahwa jika suatu paham sedang tidak digemari masyarakat, atau dipandang mengancam, atau pendeknya posisinya sedang lemah, paham itu akan mendakwahkan hal-hal yang sifatnya kompromistis dan lunak. Hal ini hanya selubung. Pelan-pelan, jika para penganutnya telah cukup kuat, maka kebijakan pun berubah. Yang dituntut bukan sekadar pengakuan, tapi pembenaran. Mulailah dilakukan paksaan demi paksaan dalam beragam bentuk agar paham tersebut jadi satu-satunya yang dianut dan diakui sebagai satu-satunya yang benar. Agaknya sejarah Rusia, China, Korea Utara dan Kuba sudah cukup menunjukkan.
Pada dasarnya memang Marxisme bisa diartikan sebagai satu dari banyak teori ekonomi. Namun, sejarah membuktikan banyak orang mengambil inspirasi darinya untuk menciptakan paham-paham turunan yang berbahaya di tengah masyarakat. Ini menunjukkan hal tersebut bukan sekadar teori ekonomi, tapi bisa menggiring kepada ideologi. Ideologi bisa jadi pengganti agama. Lagipula, sudah banyak pendapat yang menunjukkan kegagalan Marxisme sebagai teori dan praktik. Suatu doktrin yang salah dilihat dari buahnya. Doktrin yang salah umurnya juga biasanya singkat. Sekarang Marxisme boleh jadi menarik bagi banyak orang terutama bagi yang belum mengenalnya, bagi yang suka mencoba-coba, bagi yang bosan dengan status quo dan mendapati tantangan baru yang menarik. Akan tetapi, siapa menjamin doktrin ini akan laku 100 tahun lagi. Pemikiran Karl Marx itu kalaupun ada yang benar hanya karena bersandar pada situasi dan kondisi pada zamannya atau kondisi yang serupa. Jika keadaan berubah, maka galeh-nya tak laku lagi. Juga mungkin ada yang keberatan dan mengatakan seseorang bisa sekaligus tetap saleh secara religius dan menganut Marxisme dalam hidupnya. Atau bahwa dengan Marxisme orang bisa sadar bahaya hedonisme dan kapitalisme sehingga mendorong bersikap zuhud. Orang bisa juga keberatan dengan mengatakan bahwa paham Marxisme telah menghasilkan orang-orang besar dan idealis baik skala internasional maupun seperti Tan Malaka. Hal ini memang bisa saja terjadi seperti juga banyak contoh di mana seorang yang saleh pandangan hidupnya salah dan perilakunya sektarian. Karl Marx yang mendakwahkan Marxisme adalah seorang Yahudi ateis dan sekuler. Akan tetapi, kapitalisme kontemporer justru banyak dikecimpungi oleh Yahudi-Yahudi juga yang berkontribusi signifikan di balik kebijakan ekonomi IMF, bank dunia Amerika Serikat dan lainnya. Tak jarang kritikan terhadap kapitalis dari kaum Marxis malah membuat kapitalisme semakin kuat. Sekali lagi ini sudah indikasi yang cukup bahwa apa pun yang datang dari Yahudi ateis dan sekuler musti serius diwaspadai meski dari pemikir besar dan humanis sekalipun.
Pencarian sebab meningkatnya materialisme praktis pada generasi muda Indonesia zaman sekarang pun pertama sekali mungkin bukan pada kapitalisme, tapi sederhananya pada kelemahan-kelemahan kita. Kelemahan ini bersumber dari mentalitas yang salah berupa kedisiplinan batin yang kurang serta ketidaksetiaan terhadap tradisi. Akibat kelemahan ini, kepentingan asing mudah masuk dan paham-paham berbahaya dari Barat dan Timur melenggang gembira. Hal ini juga berdampak pada meningkatnya ketergantungan pada bantuan asing (utang dan bantuan lain) serta kerentanan terhadap perubahan-perubahan luar (seperti naiknya harga minyak dunia). Walhasil, pemuda dan pelajar Indonesia tidak butuh satu lagi pelajaran teori. Cukup mereka saja yang mencari dan membaca sendiri Das Kapital kalau mereka mau tanpa harus diajarkan di sekolah. Lagiupula, kepala mereka sudah kusut dengan teori dan bombardir tugas-tugas. Hal teoritis sudah saatnya dikurangi. Pelajaran yang bersifat praktik dan keahlian (teknik, bahasa asing dan seni) yang perlu ditambah agar mereka tidak hanya sibuk bergaya dan berwacana serta berpuas diri dalam kebanggaan yang hampa.
Deddy Arsya (Harian Padang Ekspres)
Menumpang pada marxisme sama seperti menumpang pada biduk bocor. Ibarat diri akan karam. Di Sumatera Barat, sejak Magas memperkenalkan ideologi marxisme sebagai ideologi pembebasan dari penderitaan penjajahan, ideologi itu tidak pernah bisa diterima secara utuh oleh masyarakat. Marxisme mulai dapat berterima secara signifikan setelah bertranformasi ke dalam berbagai bentuk ideologi lain, termasuk berafiliasi dengan Islam seperti yang dicobakan oleh Datoek Batoeah. Pada 1920an itu, misalnya, beberapa orang di Minangkabau bahkan juga mencobakan memasukkan pelajaran marxisme ke kalangan pelajar sekolah menengah. Pelajar Sumatera Tawalib pada periode itu banyak yang gandrung pada ideologi ini, apalagi gurunya Datoek Batoeah juga seorang marxis yang hampir fanatik. Akan tetapi, penentangan dengan giat dilancarkan dari banyak kalangan, baik dari kalangan pelajar sendiri, maupun dari kalangan gurunya, terutama yang paling keras adalah Haji Abdul Karim Amarullah. Jika sekarang ideologi itu (betapa pun baiknya ideologi ini tampaknya, yang telah bertransformasi menjadi neo-marxis sekalipun) hendak dimasukkan lagi ke sekolah, bahkan menjadi salah satu mata pelajaran pula, kita hanya mengulang sejarah yang nyata telah jelas hasilnya. Kita hanya akan menuai penentangan demi penentangan. Masyarakat di mana pun, memang mudah antipati terhadap yang asing. Masyarakat kebudayaan paling sulit melepaskan yang lama ketimbang menerima yang baru. Maka dari itu, kita sesungguhnya tidak perlu mencari jauh-jauh ke perbendaharaan asing. Apalagi bersandar pada ideologi yang tidak bisa lagi diandalkan sebagai penyelemat. Idigium orang Minangkabau lainnya tentang kerja seperti itu sama dengan “bataduah di bawah batang aua” (berteduh di bawah batang aur). Batang aur jika dilihat dari jauh memang nampak rimbun dan meneduhkan, tetapi ketika kita telah berada di bawahnya, kita ternyata tetap basah. Belum lagi, ular dan kala biasanya banyak bersarang di rumpunnya yang siap menggigit dan memantak kita.
Musda bisa jadi benar, mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah sudah banyak, bahkan sudah lebih dari cukup, apalagi ditambah pula dengan les-les yang tidak berkeruncingan. Bikin ruwet otak. Jangankan untuk menjernihkan, memasukkan marxisme malah akan membikin semakin kusut akal. Cukup-lah orang-orang kampus saja yang belajar itu, mahasiswa filsafat saja yang menyuntuk-nyuntukkan diri terhadap itu. Kalau pun pelajar kita ingin pula terlibat belajar marxisme, biarlah kesadaran mereka sendiri yang membuat mereka mempelajarinya. Sementara untuk menangkal kerakusan, hedonisme, hasrat konsumtif, kita memang lebih dari cukup hanya memanfaatkan yang telah ada saja. Misalnya, mengoptimalkan pelajaran agama, budi pekerja, atau BAM. Heru mungkin tidak sepenuhnya hendak memasukkan marxisme sebagai bagian dari pelajaran di sekolah, baik sebagai pelajaran inti maupun pelajaran ekstrakurikuler. Saya menganggap tulisannya adalah sebuah sentilan belaka bagi dunia pendidikan kita. Tulisan Heru, di sisi ini, bisa menjadi refleksi bagi kita bahwa kadang kita memang patut putus asa memandang dunia pendidikan hari ini. Di sekolah diajarkan pendidikan agama, pendidikan budi pekerti, pendidikan BAM, dan pendidikan untuk pembangunan moral lainnya. Namun, yang diajarkan di sekolah itu tidak berhasil menjadi nilai-nilai yang siap dipraktikkan. Para pelajar tetap saja sulit menjadi sederhana. Pelajaran budi pekerti dekat dengan hapalan demi untuk memenuhi jawaban ujian. Ironis jika kata ‘budi’ harus didefinisikan, pengertian tenggang rasa mesti dihapalkan. BAM juga tidak beranjak dari tataran teoritis yang berupa hapalan pula, tidak berpijak pada konteks zaman, lepas dari realitas. Di buku pelajaran bicara soal mamak, dunia sekarang tak butuh mamak lagi. Bicara tentang pusaka, pusaka sudah tergadai di mana-mana. Pelajaran agama juga begitu, tak jauh berbeda. Dalam konteks seperti inilah tulisan Heru lahir, sebagai sebuah usulan untuk mencari praksis yang lain ketika yang praksis yang ada dianggap tidak lagi ampuh menyelesaikan masalah kita.Tulisan Heru menjadi semacam kritik untuk memperbaiki pengajaran moral di sekolah. Meneruskan Heru, barangkali, untuk zaman kita yang dikuasai benda-benda seperti sekarang, bukan marxisme (yang malah justru berafiliasi pada materi) yang menjadi penangkalnya.
Kita bisa mantapkan pelajaran agama, dengan dimodifikasi menjadi lebih berafilisasi ke pengajaran untuk zuhud. Pelajaran agama mestinya tidak lagi bertumpu pada pembelajaran yang ritualistik.Hidup sederhanya juga ibadah, juga sesuatu yang harus dipelajari dan dilatih. Melawan diri sendiri untuk tidak memperturutkan hasrat membeli juga sebuah jihad. Rakus adalah dosa besar. Hak kita akan benda-benda hanyalah apa yang menjadi kebutuhan kita. Di luar itu, tidak. Dan lain sebagainya. Tidakkah dalam Islam, semangat revolusioner dalam melawan kerakusan juga tidak kalah besar ketimbang marxisme. Islam bilang, “celakah para pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya”. Narasi Islam yang seperti itu jika dikontekstualisasikan jelas merujuk sebagai kecaman pada kapitalisme, kepada kerakusan manusia. Orang Minangkabau juga tidak mentoleril kerakusan, bahkan mengutuknya. Ada kata ‘akok’, yang berarti semuanya ingin dipunyai, rakus. Kita tidak boleh ‘akok’. Terminologi ini jelas berkonotasi buruk, sangat buruk dalam masyarakat kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar