Oleh : Muhammad Ilham
Saya anak kampung. Di ujung paling barat Sumatera Barat. Sekitar tahun 1982, dalam usia 8 tahun, berkesempatan untuk bepergian ke kota Padang. Biasanya orang kampung saya, bila mau ke kota Padang, jalan laut merupakan jalan paling efisien dan rasional. Jalan darat, terlampau lama dengan tantangan "tekstur" jalan yang teramat buruk, sedangkan jalan laut, cenderung mulus bila badai tak datang. Padahal rute Air Bangis - Padang tak begitu jauh, sekitar 295 km. Rute yang sekarang bisa ditempuh (hanya) dengan 5 - 6 jam itu, pada tahun 1982, melalui jalan darat, memakan waktu hingga 15 jam, dengan mobil yang jauh dari rasa nyaman (karena sempit plus aroma rasa nano-nano). Saya masih ingat, Sampagul, PMP dan Mandala - adalah 3 buah nama mobil yang menyusuri rute Air Bangis - Simpang Empat - Talu - Panti - Lubuk Sikaping - Bukittinggi - Padang tersebut. Tahun 1986, saya kembali berkesempatan ke kota Padang lewat jalan darat - "berdarmawisata" sambil perpisahan karena sudah menamatkan SD, istilah guru saya kala itu. Pada tahun ini, kami (hanya) menempuh jarak Air Bangis - Padang, 7 jam - lebih kurang. Kami tidak melewati Pasaman Timur yang berliku-lekok, karena jalan Pasaman - Padang Pariaman (kami istilahkan waktu itu jalan manggopoh) yang merambah rute Simpang Empat-Kinali-Manggopoh, telah selesai. Jalannya mulus, jembatannya kokoh-kuat-panjang. Saya melongo melihat jalan dan jembatan yang menurut saya dan kawan-kawan waktu itu hanya terdapat dalam film Chips. Pada perjalanan tahun 1986 tersebut, ada guru SD saya yang bertindak sebagai "guide", menerangkan hal ehwal jalan manggopoh ini. "Karena jalan manggopoh inilah, maka kita dari Air Bangis dan Ujung Gading bisa ke Padang dengan tenang dan tidak membutuhkan waktu yang lama. Jalan ini dibangun pemerintah dengan kontraktornya orang Filipina", demikian kata guru saya itu. Pada waktu itu, praktis yang saya ingat hanyalah kosakata "Filipina". Pasti orang Filipina berdomisili cukup lama di Pasaman Barat, dan (pasti juga) dalam jumlah yang cukup banyak. Ada rasa takjub pada orang-orang "negeri Jose Rizal" ini. Kosakata Filipina (dalam konteks jalan manggopoh) tersebut pada akhirnya hilang dalam bayangan saya. Filipina ini muncul kemudian, pada minggu lalu.
Semua ini bermula ketika saya berjalan-jalan di sebuah toko buku (loak) di kota Padang. Ingin mencari kliping koran Singgalang era tahun 1990-an yang berhubungan dengan satu topik tertentu, (yang) kebetulan akan menjadi pendukung data penelitian (yang) akan saya lakukan. Di antara banyak tumpukan kliping dengan rata-rata "dihargai" Rp. 1000,- per-item kliping tersebut, mata saya tatumbuak pada guntingan berita majalah Tempo yang sudah berwarna kuning dan berdebu, sedit sobek bagian bawah. Tercatat tanggal 11 Juni 1982 dengan judul "Perkawinan Model Ipon". Ketika saya baca, bayangan orang Filipina yang "berjasa" membangun jalan Pasaman Barat - Manggopoh kembali muncul. Berulangkali saya baca, dan setengah berteriak saya berkata, "ini dia !". Sebuah sikap seperti Archimedes yang berteriak "eureka !". Walau guntingan koran Tempo tahun 1982 ini bukan bagian terpenting yang saya cari waktu itu, namun "Perkawinan Model Ipon" ini menjadi sesuatu yang berharga bagi saya. Ia ibarat "anak gadis cantik yang menawarkan payung pada saya waktu hari hujan, padahal rumah tempat saya berteduh sudah dekat". Mungkin karena kegirangan, akhirnya hukum ekonomi berlaku. "10 ribu harga guntingan koran itu pak !", kata si penjual buku loak tersebut.
Berikut, akan saya tulis ulang (secara lengkap) tulisan "Perkawinan Model Ipon" yang membuat bayangan orang Filipina kembali muncul dalam bayangan saya.
Saya anak kampung. Di ujung paling barat Sumatera Barat. Sekitar tahun 1982, dalam usia 8 tahun, berkesempatan untuk bepergian ke kota Padang. Biasanya orang kampung saya, bila mau ke kota Padang, jalan laut merupakan jalan paling efisien dan rasional. Jalan darat, terlampau lama dengan tantangan "tekstur" jalan yang teramat buruk, sedangkan jalan laut, cenderung mulus bila badai tak datang. Padahal rute Air Bangis - Padang tak begitu jauh, sekitar 295 km. Rute yang sekarang bisa ditempuh (hanya) dengan 5 - 6 jam itu, pada tahun 1982, melalui jalan darat, memakan waktu hingga 15 jam, dengan mobil yang jauh dari rasa nyaman (karena sempit plus aroma rasa nano-nano). Saya masih ingat, Sampagul, PMP dan Mandala - adalah 3 buah nama mobil yang menyusuri rute Air Bangis - Simpang Empat - Talu - Panti - Lubuk Sikaping - Bukittinggi - Padang tersebut. Tahun 1986, saya kembali berkesempatan ke kota Padang lewat jalan darat - "berdarmawisata" sambil perpisahan karena sudah menamatkan SD, istilah guru saya kala itu. Pada tahun ini, kami (hanya) menempuh jarak Air Bangis - Padang, 7 jam - lebih kurang. Kami tidak melewati Pasaman Timur yang berliku-lekok, karena jalan Pasaman - Padang Pariaman (kami istilahkan waktu itu jalan manggopoh) yang merambah rute Simpang Empat-Kinali-Manggopoh, telah selesai. Jalannya mulus, jembatannya kokoh-kuat-panjang. Saya melongo melihat jalan dan jembatan yang menurut saya dan kawan-kawan waktu itu hanya terdapat dalam film Chips. Pada perjalanan tahun 1986 tersebut, ada guru SD saya yang bertindak sebagai "guide", menerangkan hal ehwal jalan manggopoh ini. "Karena jalan manggopoh inilah, maka kita dari Air Bangis dan Ujung Gading bisa ke Padang dengan tenang dan tidak membutuhkan waktu yang lama. Jalan ini dibangun pemerintah dengan kontraktornya orang Filipina", demikian kata guru saya itu. Pada waktu itu, praktis yang saya ingat hanyalah kosakata "Filipina". Pasti orang Filipina berdomisili cukup lama di Pasaman Barat, dan (pasti juga) dalam jumlah yang cukup banyak. Ada rasa takjub pada orang-orang "negeri Jose Rizal" ini. Kosakata Filipina (dalam konteks jalan manggopoh) tersebut pada akhirnya hilang dalam bayangan saya. Filipina ini muncul kemudian, pada minggu lalu.
Semua ini bermula ketika saya berjalan-jalan di sebuah toko buku (loak) di kota Padang. Ingin mencari kliping koran Singgalang era tahun 1990-an yang berhubungan dengan satu topik tertentu, (yang) kebetulan akan menjadi pendukung data penelitian (yang) akan saya lakukan. Di antara banyak tumpukan kliping dengan rata-rata "dihargai" Rp. 1000,- per-item kliping tersebut, mata saya tatumbuak pada guntingan berita majalah Tempo yang sudah berwarna kuning dan berdebu, sedit sobek bagian bawah. Tercatat tanggal 11 Juni 1982 dengan judul "Perkawinan Model Ipon". Ketika saya baca, bayangan orang Filipina yang "berjasa" membangun jalan Pasaman Barat - Manggopoh kembali muncul. Berulangkali saya baca, dan setengah berteriak saya berkata, "ini dia !". Sebuah sikap seperti Archimedes yang berteriak "eureka !". Walau guntingan koran Tempo tahun 1982 ini bukan bagian terpenting yang saya cari waktu itu, namun "Perkawinan Model Ipon" ini menjadi sesuatu yang berharga bagi saya. Ia ibarat "anak gadis cantik yang menawarkan payung pada saya waktu hari hujan, padahal rumah tempat saya berteduh sudah dekat". Mungkin karena kegirangan, akhirnya hukum ekonomi berlaku. "10 ribu harga guntingan koran itu pak !", kata si penjual buku loak tersebut.
Berikut, akan saya tulis ulang (secara lengkap) tulisan "Perkawinan Model Ipon" yang membuat bayangan orang Filipina kembali muncul dalam bayangan saya.
Sebuah kisah dengan setting temporal tahun 1982, di sebuah Kenagarian (sekarang Kecamatan) bernama Kinali.
Namanya
Ipon. Hanya seorang gadis desa yang tidak sempat mengenyam bangku
sekolah. Untuk membiayai hidupnya, ia terpaksa bekerja sebagai tukang
masak di perkampungan buruh Filipina di Kenagarian Kinali, Pasaman
Sumatera Barat. Tapi nasib telah mengubahnya menjadi "nyonya" seorang
Insyinyur mekanik dari Filipina -Rusticadizon. Pernikahan yang mereka
lakukan di muka penghulu liar, melahirkan seorang bayi blasteran,
Argentino, yang berusia 8 bulan. Perkawinan model Ipon itulah yang
menghebohkan masyarakat Pasaman. Sebanyak 33 dari 120 orang buruh
Filipina, yang dikontrak untuk membangun jalan antara Pasaman dan Padang
Pariaman, ternyata menikah atau kawin sementara sampai kontrak "suami"
berakhir. Apa yang disebut "kawin kontrak", yang semula ramai di daerah
luar Sumatera (untuk kasus yang mirip), terjadi di Pasaman. Tapi
rupanya, pemerintah daerah dan masyarakat Pasaman tidak sepenuhnya bisa
menerima "sumando" asing ini. Apalagi buruh Filipina ini dianggap telah
melanggar adat, agama, dan hukum yang berlaku di masyarakat setempat. Di
sekitar tempat penampungan itu, setiap malam kuping penduduk bising
oleh hingar bingar musik disko. Belum lagi kabar kehidupan bebas antara
pekerja wanita dan buruh Filipina itu - sangat menusuk hati masyarakat.
"Kehidupan dalam perkampungan itu seperti kambing dan ayam saja", kata
salah seorang penduduk.
Imbauan sering dilakukan tokoh masyarakat dan pemeritah daerah, agar para buruh Filipina ini menghormati hukum adat yang berlaku. Juga diminta tidak ada pernikahan liar diantara wanita setempat dengan para buruh ini. Sebab nanti akan menjadi beban sosial, kata Bupati Pasaman (masa itu : penulis) - Saruji Ismail. Namun imbauan itu tidak mempan. Pernikahan tak resmi itu terus berjalan. Dari 21 orang, meningkat menjadi 33 pasangan. Sebab itu Bina Marga, selaku pimpinan proyek, mengeluarkan instruksi, melarang pernikahan model Ipon ini. Bagi yang telah terlanjur, hubungan mereka dibatasi. Pihak istri tidak diperkenankan lagi memasuki perkampungan buruh Filipina yang dipagari kawat berduri itu. Sebaliknya, suami mereka diwajibkan kembali ke tempat penampungan sebelum pukul 10 malam. "Kami hanya ingin mengurangi permasalahan, bukan untuk menceraikan mereka", kata pimpinan Bina Marga sebagai pimpinan proyek.
Kawin kontrak melanda Pasaman, semenjak kontraktor Construction Development Corporation of Philipina (CDCP) membangun perkampungan di Kinali, September 1980. Untuk melayani buruhnya, CDCP mempekerjakan wanita-wanita di daerah itu, sebagai tukang cuci atau tukang masak. Kondisi inilah yang kemudian menjelmakan mereka (para buruh dan para wanita tersebut) menjadi "suami istri". Rata-rata perkawinan ini dilakukan di depan penghulu liar, karena si wanita sudah hamil duluan. Untuk menikah secara resmi, mereka tidak bisa. Seperti kata Soeratoen, 56 tahun, yang dua anaknya - Ansah dan Isrina - dikawini buruh CDCP. Ia mengaku tidak berhasil meminta KUA Kecamatan Pasaman menikahkan anaknya secara resmi. Padahal, katanya, ketika itu kedua anaknya itu sudah hamil. Sebab itu, apa boleh buat, dengan bayaran Rp. 100.000,- penghulu liar yang membuka praktek di sekitar perkampungan itu menikahkan putra putri Soeratoen. "Mau apa lagi, daripada mempunyai cucu yang tidak jelas ayahnya", ujar Soeratoen pasrah. KUA menolak karena syarat agama, tidak bisa dipenuhi calon pengantin pria - KUA hanya bisa menikahkan orang Islam. Prosedur perkawinan campuran pun - yang diminta Undang-Undang bagi orang asing yang menikahi pribumi - tidak terpenuhi. Tapi, walau yang hanya terjadi kawin kontrak, para istri buruh Filipina tersebut tidak peduli. Ipon, yang "nyonya" Insinyur itu, misalnya, tahu benarbahwa perkawinannya tidak sesuai dengan hukum negara dan agama. "Biar saja, kami senang begini", kata Ipon ketika ditanya wartawan Tempo. Ia malah bangga, sebagai orang desa, dapat bersuamikan orang yang memiliki kedudukan tinggi.
Ipon yang bertumbuh montok, bukan tidak tahu pula bahwa perkawinannya hanya sementara saja. "Saya tahu, kalau kontrak suami saya habis, ia akan pergi. Tapi buat apa dirisaukan, orang yang sudah beranak lima pun bisa bercerai", kata Ipon mantap. Hanya saja, sebelum perpisahan itu terjadi, Ipon bermaksud membangun rumah. "Untuk masa depan anak saya", ujarnya, yang tubuhnya sarat dengan perhiasan emas hadiah suaminya. Kepasrahan yang sama tampak pula pada Soeratoen. Salah seorang menantunya, Boyiscol, memang hanya sempat beberapa bulan mendampingi anaknya, Ansah. Buruh Filipina ini dipindahkan CDCP ke Irak. "Soal jodoh atau cerai tidak bisa diramalkan", ujar Soeratoen, yang masih punya menantu Filipina lagi - Eddy Alfonso - suami Isrina. "Janda" Boyiscol, Ansah, mengaku masih menerima surat dan kiriman uang dari suaminya di Irak. "Suami saya mengatakan rindu pada anaknya. Tapi kalau tidak kembali, maka sudah menjadi nasib saya", kata Ansah polos. Karena merasa pasrah itulah para istri buruh Filipina ini tidak suka diributkan dan dikenai macam-macam aturan. "Saya yang dapat suami, kok orang lain yang ribut", sanggah Asnidar, 26 tahun, yang "mendapat suami" bernama Thoni Santos. Ia merasa kesal, karena suaminya patuh pada peraturan hanya pulang siang hari saja. Padahal dari pernikahannya, ia sudah mendapat putra yang diberinya nama Filindo, singkatan Filipina Indonesia.
Imbauan sering dilakukan tokoh masyarakat dan pemeritah daerah, agar para buruh Filipina ini menghormati hukum adat yang berlaku. Juga diminta tidak ada pernikahan liar diantara wanita setempat dengan para buruh ini. Sebab nanti akan menjadi beban sosial, kata Bupati Pasaman (masa itu : penulis) - Saruji Ismail. Namun imbauan itu tidak mempan. Pernikahan tak resmi itu terus berjalan. Dari 21 orang, meningkat menjadi 33 pasangan. Sebab itu Bina Marga, selaku pimpinan proyek, mengeluarkan instruksi, melarang pernikahan model Ipon ini. Bagi yang telah terlanjur, hubungan mereka dibatasi. Pihak istri tidak diperkenankan lagi memasuki perkampungan buruh Filipina yang dipagari kawat berduri itu. Sebaliknya, suami mereka diwajibkan kembali ke tempat penampungan sebelum pukul 10 malam. "Kami hanya ingin mengurangi permasalahan, bukan untuk menceraikan mereka", kata pimpinan Bina Marga sebagai pimpinan proyek.
Kawin kontrak melanda Pasaman, semenjak kontraktor Construction Development Corporation of Philipina (CDCP) membangun perkampungan di Kinali, September 1980. Untuk melayani buruhnya, CDCP mempekerjakan wanita-wanita di daerah itu, sebagai tukang cuci atau tukang masak. Kondisi inilah yang kemudian menjelmakan mereka (para buruh dan para wanita tersebut) menjadi "suami istri". Rata-rata perkawinan ini dilakukan di depan penghulu liar, karena si wanita sudah hamil duluan. Untuk menikah secara resmi, mereka tidak bisa. Seperti kata Soeratoen, 56 tahun, yang dua anaknya - Ansah dan Isrina - dikawini buruh CDCP. Ia mengaku tidak berhasil meminta KUA Kecamatan Pasaman menikahkan anaknya secara resmi. Padahal, katanya, ketika itu kedua anaknya itu sudah hamil. Sebab itu, apa boleh buat, dengan bayaran Rp. 100.000,- penghulu liar yang membuka praktek di sekitar perkampungan itu menikahkan putra putri Soeratoen. "Mau apa lagi, daripada mempunyai cucu yang tidak jelas ayahnya", ujar Soeratoen pasrah. KUA menolak karena syarat agama, tidak bisa dipenuhi calon pengantin pria - KUA hanya bisa menikahkan orang Islam. Prosedur perkawinan campuran pun - yang diminta Undang-Undang bagi orang asing yang menikahi pribumi - tidak terpenuhi. Tapi, walau yang hanya terjadi kawin kontrak, para istri buruh Filipina tersebut tidak peduli. Ipon, yang "nyonya" Insinyur itu, misalnya, tahu benarbahwa perkawinannya tidak sesuai dengan hukum negara dan agama. "Biar saja, kami senang begini", kata Ipon ketika ditanya wartawan Tempo. Ia malah bangga, sebagai orang desa, dapat bersuamikan orang yang memiliki kedudukan tinggi.
Ipon yang bertumbuh montok, bukan tidak tahu pula bahwa perkawinannya hanya sementara saja. "Saya tahu, kalau kontrak suami saya habis, ia akan pergi. Tapi buat apa dirisaukan, orang yang sudah beranak lima pun bisa bercerai", kata Ipon mantap. Hanya saja, sebelum perpisahan itu terjadi, Ipon bermaksud membangun rumah. "Untuk masa depan anak saya", ujarnya, yang tubuhnya sarat dengan perhiasan emas hadiah suaminya. Kepasrahan yang sama tampak pula pada Soeratoen. Salah seorang menantunya, Boyiscol, memang hanya sempat beberapa bulan mendampingi anaknya, Ansah. Buruh Filipina ini dipindahkan CDCP ke Irak. "Soal jodoh atau cerai tidak bisa diramalkan", ujar Soeratoen, yang masih punya menantu Filipina lagi - Eddy Alfonso - suami Isrina. "Janda" Boyiscol, Ansah, mengaku masih menerima surat dan kiriman uang dari suaminya di Irak. "Suami saya mengatakan rindu pada anaknya. Tapi kalau tidak kembali, maka sudah menjadi nasib saya", kata Ansah polos. Karena merasa pasrah itulah para istri buruh Filipina ini tidak suka diributkan dan dikenai macam-macam aturan. "Saya yang dapat suami, kok orang lain yang ribut", sanggah Asnidar, 26 tahun, yang "mendapat suami" bernama Thoni Santos. Ia merasa kesal, karena suaminya patuh pada peraturan hanya pulang siang hari saja. Padahal dari pernikahannya, ia sudah mendapat putra yang diberinya nama Filindo, singkatan Filipina Indonesia.
Kekesalan yang sama, tentu saja, juga dilontarkan oleh pihak "suami".
Eddy Alfonso, misalnya, mengeluh, kenapa baru sekarang dilarang,
setelah semuanya terjadi?". Eddy, 34 tahun, masih tetap bisa pulang
menginap di tempat istrinya, berkat jaminan mertuanya. Walau sudah
memiliki anak di negaranya Filipina sana, Eddy mengakui mencintai Isrina
dan anaknya dari wanita itu. "Kalau sudah punya anak, bagaimanapun akan
sulit untuk berpisah", ujar Eddy, sambil menyatakan keinginannya untuk
menetap di Indonesia. Yang lebih murung akibat peraturan itu adalah
Rhene de Jesus, 28 tahun, yang punya istri di Simpang Tiga, agak jauh
dari perkampungannya. Agak lain dari rekan-rekannya, ia jatuh cinta pada
Marnis, gadis tamatan SMEA. Jesus akhirnya masuk Islam dan kawin secara
Islam dengan Marnis. Sejak keluarnya pertauran bahwa ia tak boleh
bermalam di rumah istrinya tersebut, Jesus tidak lagi bisa melihat
istrinya yang lagi hamil. Padahal Jesus tidak ingin berpisah dengan
Marnis dan berencana ingin menetap secara permanen di Indonesia bila
kontraknya telah berakhir. "Saya akan bahagiakan istri saya itu, karena
saya cinta sekali", ujar Jesus yang mengaku dulunya duda dan
meninggalkan seorang anak di kampung halamannya di Filipina sana.
:: Kejadian diatas, sudah sekitar 30 tahun lalu terjadi. "Buah" dari fenomena ini, meninggalkan beberapa keturunan yang berusia rata-rata 28 - 30 tahun. Bagaimakah keberadaan mereka hari ini ?. Sebuah "tinggalan" sejarah sosial yang menantang untuk ditelusuri dan dijadikan kajian ilmiah-akademik bagi putra-putra Pasaman Barat yang berkecimpung dalam ranah ilmu sejarah ataupun sosiologi-antropologi. Bukan melihat dalam kacamata subjektif (memberikan nilai), namun hal ini pantas untuk "dicatat"s ebagai sebuah dinamika sejarah sosial yang sangat menarik untuk ditelaah (lebih lanjut) dan diabadikan.
:: Kejadian diatas, sudah sekitar 30 tahun lalu terjadi. "Buah" dari fenomena ini, meninggalkan beberapa keturunan yang berusia rata-rata 28 - 30 tahun. Bagaimakah keberadaan mereka hari ini ?. Sebuah "tinggalan" sejarah sosial yang menantang untuk ditelusuri dan dijadikan kajian ilmiah-akademik bagi putra-putra Pasaman Barat yang berkecimpung dalam ranah ilmu sejarah ataupun sosiologi-antropologi. Bukan melihat dalam kacamata subjektif (memberikan nilai), namun hal ini pantas untuk "dicatat"s ebagai sebuah dinamika sejarah sosial yang sangat menarik untuk ditelaah (lebih lanjut) dan diabadikan.
Sumber tulisan "miring" : Tempo/11 Juni 1982
(Guntingan berita "asli" telah diarsipkan oleh Mhd. Ilham - Kliping No. 107/SSB-2012)
(Guntingan berita "asli" telah diarsipkan oleh Mhd. Ilham - Kliping No. 107/SSB-2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar