Ditulis ulang : Muhammad Ilham
(c) Yasraf Amir Piliang
Perkembangan sebagai salah satu bentuk pencapaian mutakhir teknologi informasi-telah membawa perubahan yang besar pada berbagai
sisi kehidupan manusia, termasuk sisi kehidupan spiritualitas dan keberagamaan.Meskipun sangat banyak manfaat yang ditawarkannya terhadap kehidupan spiritualitas,cyberspace pada kenyataannya penuh dengan paradoks-paradoks
spiritualitas. Paradoks antara fungsinya sebagai media komunikasi keagamaan atau ia sebagai ''agama'' itu sendiri; antara kegunaannya sebagai penyalur daya spiritualitas atau ia sebagai ''spiritualitas'' itu sendiri; antara hakikatnya
sebagai ''pengingat kesucian'' Tuhan atau ia sebagai ''Tuhan'' itu sendiri. Buku Jeff Zaleski, Spiritualitas Cyberspace: Bagaimana Teknologi Komputer Mempengaruhi Kehidupan Keberagaman Manusia (Penerbit Mizan 1999), dengan sangat
memikat menggambarkan panorama cyberspace yang penuh dengan paradoks spiritualitas tersebut: paradoks antara realitas/fantasi, tubuh/jiwa, daging/roh, Tuhan/manusia.
Di dalam bingkai paradoks tersebut, perbincangan mengenai ''spiritualitas'' cyberspace tidak dapat dilepaskan dari kerangka atau
asumsi-asumsi filosofis di balik penciptaan dunia maya tersebut.
Dengan demikian, berbagai persoalan mendasar dan hakiki yang menyangkut hubungan antara dunia teknologi (informasi), manusia dan Tuhan dapat terungkap. Perkembangan cyberspace sebagai sebuah ''realitas baru'', tidak dapat dipisahkan dari bagaimana ia diberikan ''fondasi nilai-nilai'' (filosofis, religius, etis, kultural) oleh para ''pemikir cyberspace''. Ada berbagai asumsi filosofis yang dikembangkan yang, bila digeneralisasi, dapat dijelaskan melalui sebuah konsep yang disebut ''titik nol filsafat'' (philosophical zero). Meskipun istilah ini tidak digunakan secara eksplisit oleh para cyberist (para pemikir cyberspace), melainkan oleh kelompok ''futuris-suprahumanis'', ia dapat merepresentasikan pandangan para Net-Religionist pada umumnya. Inti dari pemikiran filsafat tersebut, yang ditulis Hamilton di dalam God-Man: Our Final Evolution (1998), adalah ''pengingkaran'' terhadap segala bentuk kekuatan di luar ''kekuatan'' yang ada di dalam diri manusia itu sendiri, khususnya apa yang disebut ''mistisisme'' (fetish, dewa, Tuhan) dan ''master'' (negara, raja, demokrasi). Ia adalah filsafat (atau pseudo-filsafat) tentang devaluasi semua nilai (ketuhanan, politik, kebangsaaan) yang menghambat eksistensi dan ''aktualisasi diri total'' manusia.
Agama, dalam hal ini, dianggap hanya menciptakan manusia, yang sangat bergantung pada ''otoritas'' di luar dirinya, yang menjadikannya tidak punya kebebasan untuk mengembangkan potensi dirinya yang sejati. Maka, ketika manusia dilepaskan dari ''tirani otoritas Tuhan'' atau kekuatan luar lainnya, ia akan menemukan potensinya sendiri yang luar biasa, yang berasal dari kekuatan, pikiran. Dalam upaya membangun ''mentalitas Tuhan" tersebut, para cyberist dihantui oleh berbagai bentuk fobia yang kemudian menjelma menjadi berbagai bentuk 'pengingkaran'.
Pertama, logo-phobia, yaitu fobia terhadap kehadiran ''kebenaran tertinggi'' (logos) atau ''kekuatan maha'' (Tuhan). Dalam hal ini, Tuhan dianggap tak lebih dari sebuah ''ilusi semu'', yang hanya menciptakan ''kesadaran palsu''tentang kekuatan di luar manusia. Agama yang ''nyata'' (yang tidak palsu), bagi mereka adalah evolusionisme, yang fondasinya adalah asumsi-asumsi klasik humanisme tentang kekuasaan manusia. Sebagaimana dikatakan Timothy Leary, seorang cyberist, di dalam Chaos and Cyber Culture (1994): "God is not a tribal father, nor a feudal lord, nor an engineer-manager of universe. There is no God (in singular) except you at the moment. There are as many Gods (in the plural) as can imagined. Call them whatever you want. There are free agents like you and me".
Kedua, body-phobia, yaitu fobia terhadap ''tubuh'' atau ''daging'', yang selama ini dianggap tak lebih dari semacam ''dunia samsara'', yang telah memenjarakan roh dan jiwa di dalam tembok-tembok keterbatasan materinya. Salah satu keterbatasan tubuh adalah pada ketidakmampuannya mengakses dunia transenden atau metafisika dunia platonis. Sebaliknya, di dalam cyberspace, segala keterbatasan tubuh dan daging tersebut dapat diatasi. Di dalamnya, manusia-tanpa perlu membawa totalitas tubuhnya- dapat ''hidup'' di dalam dunia transenden tersebut. Asumsi bahwa manusia dapat masuk ke dalam dunia transenden tanpa perlu membawa tubuh ini sangat penting untuk menjelaskan mengapa para cyberist sangat percaya bahwa cyberspace adalah satu bentuk baru ''spiritualitas''. Sebab, bila yang disebut sebagai ''pengalaman spiritual'' (mistis, ekstase) adalah pengalaman ketika ''roh'' mengembara meninggalkan ''jasad, tubuh'', cyberspace adalah salah satu tempat pengembaraan roh tersebut.
Ketiga, master-phobia, fobia terhadap segala bentuk lembaga kekuasaan (seperti negara). Cyberspace adalah semacam ''saluran antarpikiran'' yang melibatkan begitu banyak orang secara global. Di dalam hubungan antarmanusia secara global tersebut diperlukan pengaturan (sosial, ekonomi, moral, etika), yang selama ini menjadi urusan institusi negara. Akan tetapi, pengaturan oleh negara hanya akan membatasi ''kebebasan'' di dalam cyberspace.
Keempat, death-phobia, berupa ketakutan akan kematian, sehingga mendorong ''pengingkaran terhadap kematian'' itu sendiri. Ide dasarnya adalah, bila kita dapat menciptakan ''kesadaran'' (atau ''simulasi kesadaran'') pada komputer, peluang untuk memindahkan kesadaran dan pikiran manusia ke dalamnya terbuka, sehingga kesadaran tersebut terhindar dari kematian.
Sumber foto : flickr.com
Dengan demikian, berbagai persoalan mendasar dan hakiki yang menyangkut hubungan antara dunia teknologi (informasi), manusia dan Tuhan dapat terungkap. Perkembangan cyberspace sebagai sebuah ''realitas baru'', tidak dapat dipisahkan dari bagaimana ia diberikan ''fondasi nilai-nilai'' (filosofis, religius, etis, kultural) oleh para ''pemikir cyberspace''. Ada berbagai asumsi filosofis yang dikembangkan yang, bila digeneralisasi, dapat dijelaskan melalui sebuah konsep yang disebut ''titik nol filsafat'' (philosophical zero). Meskipun istilah ini tidak digunakan secara eksplisit oleh para cyberist (para pemikir cyberspace), melainkan oleh kelompok ''futuris-suprahumanis'', ia dapat merepresentasikan pandangan para Net-Religionist pada umumnya. Inti dari pemikiran filsafat tersebut, yang ditulis Hamilton di dalam God-Man: Our Final Evolution (1998), adalah ''pengingkaran'' terhadap segala bentuk kekuatan di luar ''kekuatan'' yang ada di dalam diri manusia itu sendiri, khususnya apa yang disebut ''mistisisme'' (fetish, dewa, Tuhan) dan ''master'' (negara, raja, demokrasi). Ia adalah filsafat (atau pseudo-filsafat) tentang devaluasi semua nilai (ketuhanan, politik, kebangsaaan) yang menghambat eksistensi dan ''aktualisasi diri total'' manusia.
Agama, dalam hal ini, dianggap hanya menciptakan manusia, yang sangat bergantung pada ''otoritas'' di luar dirinya, yang menjadikannya tidak punya kebebasan untuk mengembangkan potensi dirinya yang sejati. Maka, ketika manusia dilepaskan dari ''tirani otoritas Tuhan'' atau kekuatan luar lainnya, ia akan menemukan potensinya sendiri yang luar biasa, yang berasal dari kekuatan, pikiran. Dalam upaya membangun ''mentalitas Tuhan" tersebut, para cyberist dihantui oleh berbagai bentuk fobia yang kemudian menjelma menjadi berbagai bentuk 'pengingkaran'.
Pertama, logo-phobia, yaitu fobia terhadap kehadiran ''kebenaran tertinggi'' (logos) atau ''kekuatan maha'' (Tuhan). Dalam hal ini, Tuhan dianggap tak lebih dari sebuah ''ilusi semu'', yang hanya menciptakan ''kesadaran palsu''tentang kekuatan di luar manusia. Agama yang ''nyata'' (yang tidak palsu), bagi mereka adalah evolusionisme, yang fondasinya adalah asumsi-asumsi klasik humanisme tentang kekuasaan manusia. Sebagaimana dikatakan Timothy Leary, seorang cyberist, di dalam Chaos and Cyber Culture (1994): "God is not a tribal father, nor a feudal lord, nor an engineer-manager of universe. There is no God (in singular) except you at the moment. There are as many Gods (in the plural) as can imagined. Call them whatever you want. There are free agents like you and me".
Kedua, body-phobia, yaitu fobia terhadap ''tubuh'' atau ''daging'', yang selama ini dianggap tak lebih dari semacam ''dunia samsara'', yang telah memenjarakan roh dan jiwa di dalam tembok-tembok keterbatasan materinya. Salah satu keterbatasan tubuh adalah pada ketidakmampuannya mengakses dunia transenden atau metafisika dunia platonis. Sebaliknya, di dalam cyberspace, segala keterbatasan tubuh dan daging tersebut dapat diatasi. Di dalamnya, manusia-tanpa perlu membawa totalitas tubuhnya- dapat ''hidup'' di dalam dunia transenden tersebut. Asumsi bahwa manusia dapat masuk ke dalam dunia transenden tanpa perlu membawa tubuh ini sangat penting untuk menjelaskan mengapa para cyberist sangat percaya bahwa cyberspace adalah satu bentuk baru ''spiritualitas''. Sebab, bila yang disebut sebagai ''pengalaman spiritual'' (mistis, ekstase) adalah pengalaman ketika ''roh'' mengembara meninggalkan ''jasad, tubuh'', cyberspace adalah salah satu tempat pengembaraan roh tersebut.
Ketiga, master-phobia, fobia terhadap segala bentuk lembaga kekuasaan (seperti negara). Cyberspace adalah semacam ''saluran antarpikiran'' yang melibatkan begitu banyak orang secara global. Di dalam hubungan antarmanusia secara global tersebut diperlukan pengaturan (sosial, ekonomi, moral, etika), yang selama ini menjadi urusan institusi negara. Akan tetapi, pengaturan oleh negara hanya akan membatasi ''kebebasan'' di dalam cyberspace.
Keempat, death-phobia, berupa ketakutan akan kematian, sehingga mendorong ''pengingkaran terhadap kematian'' itu sendiri. Ide dasarnya adalah, bila kita dapat menciptakan ''kesadaran'' (atau ''simulasi kesadaran'') pada komputer, peluang untuk memindahkan kesadaran dan pikiran manusia ke dalamnya terbuka, sehingga kesadaran tersebut terhindar dari kematian.
Sumber foto : flickr.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar