Oleh : Muhammad Ilham
Sebagai
sebuah organisasi massa dan organisasi kader, Gerwani terus mengembangkan
organisasi mereka melalui proses pengkaderan di berbagai daerah. Ini sesuai
dengan apa yang telah menjadi garis perjuangan Gerwani, sebagaimana yang
dijelaskan sebelumnya, bahwa Gerwani ingin memimpin gerakan yang lebih luas dan
menjadi gerakan massa, khususnya bagi kaum wanita. Dengan pergerakan
yang luas Gerwani serta berkarakter
gerakan massa, pada dasarnya Gerwani berusaha meninggikan bargaining-nya dalam pentas politik nasional pada masa itu. Karena
itu, Gerwani terus bergerak melakukan
pengkaderan dan rekruitmen anggota-anggota ke berbagai daerah, tak terkecuali
di Minangkabau. Menurut Reni Nuryanti,
walau banyak ditentang karena dicurigai sebagai onderbow PKI, Gerwani tetap
bisa berkembang di Minangkabau, walau tidak sepesat seperti di daerah lain, di
Sumatera Utara dan Pulau Jawa, misalnya. Pada masa-masa awalnya, Lambau
Bukittinggi dijadikan sebagai pusat organisasi, sedangkan pemimpin Gerwani di
Sumatera Barat bernama Nur Suhud dan Dahliar.[1]
Dahliar berasal dari Payakumbuh sedangkan Nur
Suhud berasal dari Padang Panjang, daerah yang sebenarnya telah memiliki jejak historis
dengan \ideologi merah. Kalau di pulau
Jawa, Semarang dikenal sebagai “kota merah” pada masanya, maka di Minangkabau,
Padang Panjang juga demikian. Cukup
banyak penelitian yang menyatakan bahwa Padang Panjang telah familiar dengan ideologi merah sejak tahun 1920-an. Ideologi merah tidak bisa
dilepaskan dari figur Haji Datuk Batuah yang membawa dan menyebarkan paham
komunis didaerah tersebut. Pada tahun
1923, ia menanamkan ajaran komunis di
kalangan pelajar-pelajar dan guru-guru muda Sumatera Thawalib Padang Panjang.
Sumatera Thawalib adalah suatu lembaga pendidikan yang dimiliki oleh kalangan
pembaharu Islam di Sumatera Barat, dimana Haji Batuah merupakan salah seorang
pengajarnya. Berawal dari Sumatera Thawalib Padang Panjang, paham komunis akhirnya
menyebar ke berbagai daerah Sumatera Barat dibawa oleh para lulusan sekolah
tersebut ke daerah asalnya. Penyebaran ini terutama dilakukan di kalangan
petani yang biasa menyebut ideologi ini dengan istilah ilmu kominih. Ilmu ini menggabungkan ajaran Islam dengan ide anti
penjajahan Belanda, anti imperialisme-anti kapitalisme dan ajaran Marxis. [2]
Pada
akhir tahun 1923 Datuk Batuah, bersama-sama dengan Nazar Zaenuddin mendirikan
pusat Komunikasi Islam di Padang panjang. Dalam waktu yang hampir bersamaan Datuk
Batuah menerbitkan harian Pemandangan Islam dan dan Nazar
Zaenuddin menerbitkan Djago-Djago. Lembaga Pusat Komunikasi
Islam dan kedua harian tersebut digunakan sebagai media penyiaran paham
komunis. Media massa yang dianggap sejarawan Ruth Mc. Vey sebagai 2 media massa
terbaik diantara 3 media massa milik bumi putera yang ada di Indonesia pada era
1920-an. Perubahan Gerwis yang memiliki kecenderungan membatasi persyaratan-persyaratan untuk masuk menjadi
anggota organisasi menjadi Gerwani yang cenderung longgar dan egaliter, dimanfaatkan Gerwani untuk merekrut
massa-nya secara massif. Bila Gerwani menetapkan usia minimal (bagi
yang belum menikah atau bersuami) adalah wanita yang berusia 16 tahun, maka
yang terjadi di Sumatera Barat (diasumsikan juga terjadi di daerah lain),
banyak wanita lajang (gadis) yang berusia 14-15 tahun yang direkrut menjadi
anggota organisasi wanita ini.
Proses
perekrutan yang gencar dan (bahkan) dengan persyaratan yang lebih longgar dari
ketentuan dasar Gerwani secara organisatoris, membuat Gerwani bisa berkembang
di Minangkabau. Benturan dengan organisasi-organisasi perempuan lainnya tidak
terelakkan, khususnya dengan Aisyiyah.[3] Ketegangan-ketegangan yang terjadi antara
Gerwani dengan, khususnya Aisyiyah yang telah menyejarah di Minangkabau sebagai
organisasi wanita – dapat diredakan dengan tampilnya Aminah, tokoh Gerwani dari
Padang Panjang. Ketika itu Gerwani masih bernama Gerwis. Ketika itu juga Aminah
masih tercatat sebagai anggota Aisyiyah, sehingga ia memiliki pengetahuan
tentang ke dua organisasi wanita ini secara baik. Menurut Aminah, tidak ada
pertentangan antara Gerwani dengan Islam.[4] Pada
akhir tahun 1956, kala bergemanya isu tuntutan daerah yang menjadi salah satu
penyebab munculnya PRRI, pilihan politik Gerwani untuk menentang Dewan Banteng
tidak lepas dari pengaruh PKI yang telah mulai berakar dalam tubuh Gerwani. Setelah terbentuknya Dewan Banteng, PKI adalah
partai politik yang mendapat tekanan paling keras karena secara terang-terangan
menentang Dewan Banteng.
Gerwani
menjadi bagian dalam bersuara lantang mengkritisi garis politik Dewan Banteng
di Sumatera Barat. Apa yang dilakukan oleh Gerwani yang mendukung suara kritis
PKI terhadap PRRI di Sumatera Barat, mendapat dukungan penuh dari Gerwani pusat.
Dukungan inilah yang kemudian mempengaruhi gerak langkah dan garis perjuangan
Gerwani di Sumatera Barat pada tahun-tahun berikutnya.[5] Konsistensi dukungan Gerwani pada PKI yang
nyata-nyata berseberangan secara politik dengan Dewan Banteng, mendapat pujian
dari Harian Rakjat dan Api Kartini. Harian Rakjat, majalah resmi PKI menuliskan :
“Kita
menyampaikan salut dan rasa solidaritet yang dalam kepada saudari : Manismar,
Nadiar, Halimah dan Sanibar dari Sumatera Tengah”.[6]
Diktum
“ingin bersatu, ciptakan musuh bersama”
dalam tradisi ilmu politik, dialami oleh Gerwani Sumatera Barat. Kehadiran
Dewan Banteng yang selalu dikritik bahkan dilawan oleh Gerwani Sumatera Barat, membuat
organisasi ini menjadi semakin dekat dengan Gerwani pusat (Jakarta). Daya tawar
Gerwani pusat yang semakin tinggi karena kedekatannya dengan PKI, menciptakan hubungan simbiosis mutualis
diantara kedua organisasi sosial dan politik tersebut, juga berpengaruh pada
Gerwani di Sumatera Barat. Apalagi, PKI kemudian dijadikan sebagai anak emas Soekarno. Dalam
proses penumpasan PRRI pada era awal 1960-an, Gerwani di Sumatera Barat telah
mampu mempengaruhi jalan dan arah dari konflik itu sendiri. Ini terlihat ketika
Gerwani turut berperan aktif dalam operasi PRRI. APRI tidak akan mampu bergerak
sendirian tanpa bantuan dari Gerwani dan PKI yang ada di Sumatera Barat. Ini
terutama terkait dengan medan-ekologi Sumatera Barat yang rumit. Dengan bantuan
Gerwani plus PKI, tentunya APRI
memiliki kemampuan maksimal-optimal dalam melakukan strategi mobilisasi untuk
mendapatkan kekuatan.[7].
Menguatnya
opini menentang Dewan Banteng – yang secara
politis didukung oleh Masyumi dan merupakan musuh politik PKI –
yang disuarakan oleh PKI dimanfaatkan oleh Gerwani di Sumatera Barat
untuk melakukan demonstrasi-demonstrasi. Sebagaimana halnya Gerwani di pusat
(Jakarta), Gerwani di Sumatera Barat pada kurun waktu ini, tenggelam ke dalam
kegiatan-kegiatan politik praktis. Dalam setiap kegiatan demonstrasi, PKI dan
organ-organ organisasinya seperti SOBSI, BTI dan Pemuda Rakyat selalu hadir
memberikan dukungan. Dukungan besar dari PKI, membuat Gerwani di Sumatera Barat
tampil secara radikal dalam membantu operasi-operasi PRRI.[8] Namun
sejarah tak selamanya memihak satu kelompok orang. Bandul sejarah selalu berputar, dan biasanya, hukum sejarah akan selalu mempraktekkan : “bila
kamu bunuh musuhmu dengan belati, kemungkinan besar lawanmu akan menghabisimu
dengan pedang. Lawanmu nanti akan meniru cara kamu memperlakukan mereka, bahkan
mungkin lebih”.[9]
Hubungan simbiosis mutualis antara PKI dan Gerwani (dalam hal ini : plus APRI) dalam menumpas musuh mereka bersama yaitu PRRI dalam suatu kurun waktu
tertentu, akhirnya, berbalik dan bertolak belakang.
Pasca
Oktober 1965, tepatnya setelah kejadian yang pada awalnya diistilahkan dengan
Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu)[10], PKI dianggap sebagai pengkhianat bangsa berimbas
pada Gerwani. Sebagaimana halnya PKI, Gerwani di Sumatera Barat-pun ditumpas
dan kemudian dianggap sebagai jelmaan – yang dalam bahasa Saskia Eleonora
Wieringa – sebagai “kuntilanak wangi”.[11] “Mpu
Gandring, Tunggul Amatung, Anusapati dan Tohjaya sama-sama ditusuk oleh keris
yang sama yakni keris Mpu Gandring yang ternyata belum selesai”, kata Arswendo Atmowiloto[12]
sangat tepat dan reflektif menggambarkan kondisi Gerwani di Sumatera Barat pada
akhir hidupnya. Gerwani dianggap sebagai musuh bersama
hampir seluruh elemen bangsa, masa itu dan terus berlangsung hingga
sekarang. Apa yang di-stigma-kan kepada PRRI selama ini oleh
PKI dan Gerwani Sumatera Barat, juga diberlakukan pada mereka pasca Oktober
1965 tersebut. Sebagaimana yang telah
dipaparkan sebelumnya, berakhirnya riwayat organisasi perempuan Indonesia yang
terbesar ini sungguh mendadak, cepat, dan tidak terduga-duga.
[1] Reni Nuryanti, Perempuan Berselimut Konflik : Perempuan
Minangkabau di Masa Dewan Banteng dan PRRI, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2011),
hal. 70
[2] Lebih lanjut lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942
(Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 139-155; Muhammad Ilham (dkk.), “Merahnya
Minangkabau” Draft Buku (proses
editing dan penerbitan, direncanakan tahun 2012 oleh Tinta Mas Jakarta).
Sebagian dari tulisan telah diposting di www.kompasiana.com, www.rantau-net.com, dan
www.ilhamfadli,blogspot.com
[3] Konflik Aisyiyah
dengan Gerwani di Sumatera Barat, khususnya di daerah Padang Panjang, diteliti
oleh Dharma Z. Ummah, “Sejarah Nasyiatul Aisyiyah di Padang Panjang :
1945-1998”, Skripsi S1 pada Jurusan
Sejarah dan Kebudayaan Islam Fak. Ilmu Budaya-Adab IAIN Imam Bonjol Padang,
Tahun 2004, hal. 31-44
[4] Reni Nuryanti, op.cit., hal. 71
[5] Reni Nuryanti, op.cit., hal. 72
[6] Harian Rakyat, 1 Januari 1958, sebagaimana yang dikutip Reni
Nuryanti, ibid., hal. 72. Manismar,
Nadiar, Halimah dan Sanibar adalah tokoh-tokoh Gerwani Sumatera Barat yang
getol melakukan kegiatan aksi massa menentang Dewan Banteng.
[7] Reni Nuryanti, op.cit., hal. 130-131
[8] Ibid., hal. 133
[9] Dikutip dari
penggalan narasi “Ho Chi Minh” dalam tayang Biography
di Metro TV (www.metrotvlivestreaming.com) diunggah tanggal 1
Oktober 2011.
[10]
Istilah ini diduga dilontarkan oleh Direktur Harian Angkatan Bersenjata,
Brigjen Sugandhi dengan tujuan untuk menanamkan aura jahat yang diasosiasikan
dengan istilah Gestapo, singkatan dari Geheime Staatspolizei,
yaitu nama suatu kesatuan polisi rahasia Jerman semasa Hitler berkuasa dan
dikenal sangat kejam. Sejak tahun 1970 istilah Gestapu pada umumnya diganti
dengan G 30 S/PKI, dan menjelang runtuhnya rezim Orde Baru, diganti lagi dengan
istilah G 30 S (saja). Lihat Anonim. Rangkaian Peristiwa Pemberontakan Komunis
di Indonesia 1926-1948-1965 (Jakarta:
Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan, 1988), hal. 137 (PDF)
[11] Lihat Eleonora Saskia
Wieringa, Kuntilanak Wangi :
Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia Setelah Tahun 1950 (Jakarta:
Kalyanamitra, 1998)
[12] Arswendo Atmowiloto, Senopati Pamungkas (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal.
1033
Tidak ada komentar:
Posting Komentar