Rabu, 09 Mei 2012

Gerwani di Minangkabau


Oleh : Muhammad Ilham

Sebagai sebuah organisasi massa dan organisasi kader, Gerwani terus mengembangkan organisasi mereka melalui proses pengkaderan di berbagai daerah. Ini sesuai dengan apa yang telah menjadi garis perjuangan Gerwani, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, bahwa Gerwani ingin memimpin gerakan yang lebih luas dan menjadi gerakan massa, khususnya bagi kaum wanita.  Dengan  pergerakan  yang luas Gerwani serta berkarakter gerakan massa, pada dasarnya Gerwani berusaha meninggikan bargaining-nya dalam pentas politik nasional pada masa itu. Karena itu,  Gerwani terus bergerak melakukan pengkaderan dan rekruitmen anggota-anggota ke berbagai daerah, tak terkecuali di Minangkabau.  Menurut Reni Nuryanti, walau banyak ditentang karena dicurigai sebagai onderbow  PKI, Gerwani tetap bisa berkembang di Minangkabau, walau tidak sepesat seperti di daerah lain, di Sumatera Utara dan Pulau Jawa, misalnya. Pada masa-masa awalnya, Lambau Bukittinggi dijadikan sebagai pusat organisasi, sedangkan pemimpin Gerwani di Sumatera Barat bernama Nur Suhud dan Dahliar.[1]   

Dahliar berasal dari Payakumbuh sedangkan Nur Suhud berasal dari Padang Panjang, daerah yang sebenarnya telah memiliki jejak historis dengan \ideologi merah.  Kalau di pulau Jawa, Semarang dikenal sebagai “kota merah” pada masanya, maka di Minangkabau, Padang  Panjang juga demikian. Cukup banyak penelitian yang menyatakan bahwa Padang Panjang telah familiar dengan ideologi merah  sejak tahun 1920-an. Ideologi merah tidak bisa dilepaskan dari figur Haji Datuk Batuah yang membawa dan menyebarkan paham komunis didaerah tersebut.  Pada tahun 1923,  ia menanamkan ajaran komunis di kalangan pelajar-pelajar dan guru-guru muda Sumatera Thawalib Padang Panjang. Sumatera Thawalib adalah suatu lembaga pendidikan yang dimiliki oleh kalangan pembaharu Islam di Sumatera Barat, dimana Haji Batuah merupakan salah seorang pengajarnya. Berawal dari Sumatera Thawalib Padang Panjang, paham komunis akhirnya menyebar ke berbagai daerah Sumatera Barat dibawa oleh para lulusan sekolah tersebut ke daerah asalnya. Penyebaran ini terutama dilakukan di kalangan petani yang biasa menyebut ideologi ini dengan istilah ilmu kominih. Ilmu ini menggabungkan ajaran Islam dengan ide anti penjajahan Belanda, anti imperialisme-anti kapitalisme dan ajaran Marxis. [2] 

Pada akhir tahun 1923 Datuk Batuah, bersama-sama dengan Nazar Zaenuddin mendirikan pusat Komunikasi Islam di Padang panjang. Dalam waktu yang hampir bersamaan Datuk Batuah menerbitkan harian  Pemandangan Islam dan dan Nazar Zaenuddin menerbitkan  Djago-Djago. Lembaga Pusat Komunikasi Islam dan kedua harian tersebut digunakan sebagai media penyiaran paham komunis. Media massa yang dianggap sejarawan Ruth Mc. Vey sebagai 2 media massa terbaik diantara 3 media massa milik bumi putera yang ada di Indonesia pada era 1920-an. Perubahan Gerwis yang memiliki kecenderungan  membatasi  persyaratan-persyaratan untuk masuk menjadi anggota organisasi menjadi Gerwani yang cenderung longgar dan  egaliter, dimanfaatkan Gerwani untuk merekrut massa-nya secara massif.  Bila Gerwani menetapkan usia minimal (bagi yang belum menikah atau bersuami) adalah wanita yang berusia 16 tahun, maka yang terjadi di Sumatera Barat (diasumsikan juga terjadi di daerah lain), banyak wanita lajang (gadis) yang berusia 14-15 tahun yang direkrut menjadi anggota organisasi wanita ini. 

Proses perekrutan yang gencar dan (bahkan) dengan persyaratan yang lebih longgar dari ketentuan dasar Gerwani secara organisatoris, membuat Gerwani bisa berkembang di Minangkabau. Benturan dengan organisasi-organisasi perempuan lainnya tidak terelakkan, khususnya dengan Aisyiyah.[3]  Ketegangan-ketegangan yang terjadi antara Gerwani dengan, khususnya Aisyiyah yang telah menyejarah di Minangkabau sebagai organisasi wanita – dapat diredakan dengan tampilnya Aminah, tokoh Gerwani dari Padang Panjang. Ketika itu Gerwani masih bernama Gerwis. Ketika itu juga Aminah masih tercatat sebagai anggota Aisyiyah, sehingga ia memiliki pengetahuan tentang ke dua organisasi wanita ini secara baik. Menurut Aminah, tidak ada pertentangan antara Gerwani dengan Islam.[4] Pada akhir tahun 1956, kala bergemanya isu tuntutan daerah yang menjadi salah satu penyebab munculnya PRRI, pilihan politik Gerwani untuk menentang Dewan Banteng tidak lepas dari pengaruh PKI yang telah mulai berakar dalam tubuh Gerwani.  Setelah terbentuknya Dewan Banteng, PKI adalah partai politik yang mendapat tekanan paling keras karena secara terang-terangan menentang Dewan Banteng. 

Gerwani menjadi bagian dalam bersuara lantang mengkritisi garis politik Dewan Banteng di Sumatera Barat. Apa yang dilakukan oleh Gerwani yang mendukung suara kritis PKI terhadap PRRI di Sumatera Barat, mendapat dukungan penuh dari Gerwani pusat. Dukungan inilah yang kemudian mempengaruhi gerak langkah dan garis perjuangan Gerwani di Sumatera Barat pada tahun-tahun berikutnya.[5]  Konsistensi dukungan Gerwani pada PKI yang nyata-nyata berseberangan secara politik dengan Dewan Banteng, mendapat pujian dari Harian Rakjat dan Api Kartini. Harian Rakjat, majalah resmi PKI menuliskan  : 

 “Kita menyampaikan salut dan rasa solidaritet yang dalam kepada saudari : Manismar, Nadiar, Halimah dan Sanibar dari Sumatera Tengah”.[6]  

Diktum “ingin bersatu, ciptakan musuh bersama” dalam tradisi ilmu politik, dialami oleh Gerwani Sumatera Barat. Kehadiran Dewan Banteng yang selalu dikritik bahkan  dilawan  oleh Gerwani Sumatera Barat, membuat organisasi ini menjadi semakin dekat dengan Gerwani pusat (Jakarta). Daya tawar Gerwani pusat yang semakin tinggi karena kedekatannya dengan PKI,  menciptakan hubungan simbiosis mutualis diantara kedua organisasi sosial dan politik tersebut, juga berpengaruh pada Gerwani di Sumatera Barat. Apalagi, PKI kemudian dijadikan sebagai  anak emas Soekarno. Dalam proses penumpasan PRRI pada era awal 1960-an, Gerwani di Sumatera Barat telah mampu mempengaruhi jalan dan arah dari konflik itu sendiri. Ini terlihat ketika Gerwani turut berperan aktif dalam operasi PRRI. APRI tidak akan mampu bergerak sendirian tanpa bantuan dari Gerwani dan PKI yang ada di Sumatera Barat. Ini terutama terkait dengan medan-ekologi Sumatera Barat yang rumit. Dengan bantuan Gerwani plus PKI, tentunya APRI memiliki kemampuan maksimal-optimal dalam melakukan strategi mobilisasi untuk mendapatkan kekuatan.[7]

Menguatnya opini menentang  Dewan Banteng – yang secara politis didukung oleh Masyumi dan merupakan  musuh politik  PKI –  yang disuarakan oleh PKI dimanfaatkan oleh Gerwani di Sumatera Barat untuk melakukan demonstrasi-demonstrasi. Sebagaimana halnya Gerwani di pusat (Jakarta), Gerwani di Sumatera Barat pada kurun waktu ini, tenggelam ke dalam kegiatan-kegiatan politik praktis. Dalam setiap kegiatan demonstrasi, PKI dan organ-organ organisasinya seperti SOBSI, BTI dan Pemuda Rakyat selalu hadir memberikan dukungan. Dukungan besar dari PKI, membuat Gerwani di Sumatera Barat tampil secara radikal dalam membantu operasi-operasi PRRI.[8] Namun sejarah tak selamanya memihak satu kelompok orang.  Bandul sejarah selalu berputar, dan biasanya,  hukum sejarah akan selalu mempraktekkan : “bila kamu bunuh musuhmu dengan belati, kemungkinan besar lawanmu akan menghabisimu dengan pedang. Lawanmu nanti akan meniru cara kamu memperlakukan mereka, bahkan mungkin lebih”.[9]   Hubungan simbiosis mutualis antara PKI dan Gerwani (dalam hal ini : plus APRI) dalam menumpas musuh mereka  bersama yaitu PRRI dalam suatu kurun waktu tertentu, akhirnya, berbalik dan bertolak belakang.   

 Pasca Oktober 1965, tepatnya setelah kejadian yang pada awalnya diistilahkan dengan Gerakan September Tiga  Puluh (Gestapu)[10], PKI  dianggap sebagai pengkhianat bangsa berimbas pada Gerwani. Sebagaimana halnya PKI, Gerwani di Sumatera Barat-pun ditumpas dan kemudian dianggap sebagai jelmaan – yang dalam bahasa Saskia Eleonora Wieringa – sebagai “kuntilanak wangi”.[11] “Mpu Gandring, Tunggul Amatung, Anusapati dan Tohjaya sama-sama ditusuk oleh keris yang sama yakni keris Mpu Gandring yang ternyata belum selesai”, kata Arswendo Atmowiloto[12] sangat tepat dan reflektif menggambarkan kondisi Gerwani di Sumatera Barat pada akhir hidupnya.     Gerwani  dianggap sebagai  musuh bersama  hampir seluruh elemen bangsa, masa itu dan terus berlangsung hingga sekarang.  Apa yang di-stigma-kan kepada PRRI selama ini oleh PKI dan Gerwani Sumatera  Barat,  juga diberlakukan pada mereka pasca Oktober 1965 tersebut.  Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, berakhirnya riwayat organisasi perempuan Indonesia yang terbesar ini sungguh mendadak, cepat, dan tidak terduga-duga.

  


[1] Reni Nuryanti, Perempuan Berselimut Konflik : Perempuan Minangkabau di Masa Dewan Banteng dan PRRI, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2011), hal. 70

[2]  Lebih lanjut lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 139-155; Muhammad Ilham (dkk.), “Merahnya Minangkabau” Draft Buku (proses editing dan penerbitan, direncanakan tahun 2012 oleh Tinta Mas Jakarta). Sebagian dari tulisan telah diposting di www.kompasiana.com, www.rantau-net.com, dan www.ilhamfadli,blogspot.com 

[3] Konflik Aisyiyah dengan Gerwani di Sumatera Barat, khususnya di daerah Padang Panjang, diteliti oleh Dharma Z. Ummah, “Sejarah Nasyiatul Aisyiyah di Padang Panjang : 1945-1998”, Skripsi S1 pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fak. Ilmu Budaya-Adab IAIN Imam Bonjol Padang, Tahun 2004, hal. 31-44

[4] Reni Nuryanti, op.cit., hal. 71

[5] Reni Nuryanti, op.cit., hal. 72

[6] Harian Rakyat, 1 Januari 1958, sebagaimana yang dikutip Reni Nuryanti, ibid., hal. 72. Manismar, Nadiar, Halimah dan Sanibar adalah tokoh-tokoh Gerwani Sumatera Barat yang getol melakukan kegiatan aksi massa menentang Dewan Banteng.

[7] Reni Nuryanti, op.cit., hal. 130-131

[8] Ibid., hal. 133

[9] Dikutip dari penggalan narasi “Ho Chi Minh” dalam tayang Biography di Metro TV (www.metrotvlivestreaming.com) diunggah tanggal 1 Oktober 2011.

[10] Istilah ini diduga dilontarkan oleh Direktur Harian Angkatan Bersenjata, Brigjen Sugandhi dengan tujuan untuk menanamkan aura jahat yang diasosiasikan dengan istilah Gestapo, singkatan dari Geheime Staatspolizei, yaitu nama suatu kesatuan polisi rahasia Jerman semasa Hitler berkuasa dan dikenal sangat kejam. Sejak tahun 1970 istilah Gestapu pada umumnya diganti dengan G 30 S/PKI, dan menjelang runtuhnya rezim Orde Baru, diganti lagi dengan istilah G 30 S (saja). Lihat Anonim. Rangkaian Peristiwa Pemberontakan Komunis di Indonesia 1926-1948-1965 (Jakarta: Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan, 1988), hal. 137 (PDF)

[11] Lihat Eleonora Saskia Wieringa, Kuntilanak Wangi : Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia Setelah Tahun 1950 (Jakarta: Kalyanamitra, 1998)

[12]  Arswendo Atmowiloto, Senopati Pamungkas (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 1033

Tidak ada komentar: