"dihancurkan oleh petarung jempolan buta
huruf yang penuh dengan kutu dan tidak begitu mengerti manfaat mandi, apatah
lagi manfaat buku" (Goenawan Mohammad)
Perkembangan peradaban ummat Islam yang paling menarik, terjadi antara abad ke VIII hingga XIII masehi
tersebut adalah bagaimana peradaban dan agama yang berasal dari bangsa Arab di
gurun pasir yang miskin dan terpencil itu seolah-olah tahu sekali bahwa yang
pertama sekali harus direbutnya adalah ilmu pengetahuan. Pada masa ini sangat
kentara kegairahan para elit dan anggota-anggotanya mengumpulkan bermacam-macam
ilmu pengetahuan, dari berbagai disiplin dan dari negara manapun juga. Banyak
muslim pilihan pada masa ini yang melakukan perjalanan intelektual, keluar dari
habitat teritorial mereka. Perjalanan intelektual tersebut melahirkan
catatan-catatan ilmiah berdasarkan pengamatan empirik. Catata-catatan itu
disampaikan pada muslim lainnya. Buku-buku berkualitas diterjemahkan kedalam
bahasa Arab. Perguruan tinggi dan institusi intelektual lainnya di pusat-pusat
agama dan politik Islam seperti Cordoba Spanyol, Baghdad dan Kairo menjadi
sentra pemikiran dan penyelidikan
bergengsi dan bermartabat pada zamannya. Di belahan peradaban Islam
Timur Tengah, ilmu pengetahuan berhasil berkembang pada masa Khalifah
Al-Mansur, Harun Al-Rasyid dan Al-Makmum. Pada masa Al-Mansur amat berkembang
ilmu bahasa dan kesusasteraan. Proyek penterjemahan dilakukan secara
besar-besaran, terutama dari bahasa India, Persia dan Yunani.
Pada masa
Al-Mansur ini hidup Ibnu Al-Muqaffa, pakar bahasa Arab dan Persia. Beliaulah
yang menterjemahkan buku monumental Kalilah
dan Deminah yang memuncak dalam cerita Seribu Satu Malam. Ia juga
menterjemahkan buku Shah Namah yang
memuat cerita-cerita raja dan pahlawan-pahlawan Iran. Di bawah pemerintahan
Al-Mansur yang liberal, faham rasionalisme Muktazilah mendapat kesempatan untuk
berkembang. Pada masa ini juga sarjana Islam berkesempatan menyusun Hadits dan
Hukum Islam secara baik. Imam Abu Hanifah menyelesaikan sistem hukumnya pada
masa kekuasaan Al-Mansur, sedangkan Imam Maliki dan Syafei pada masa harun
Al-Rasyid. Sedangkan dibawah Al-Makmum dikenal adanya institusi yang menampung
begitu banyak buku yang disebut dengan Baitul Hikmah. Di perpustakaan yang kaya
dengan buku ini -- konon koleksinya mendekati bahkan mungkin lebih 400.000
jilid -- bekerja sarjana-sarjana dari berbagai bangsa dan agama. Sementara itu, di Mesir
Dinasti Fathimiyah juga terdapat perpustakaan besar yang memuat lebih kurang
200.000 buku dan mayoritas tentang ilmu Yunani klasik, tata bahasa,
lexikografi, hadits, sejarah, biografi raja-raja dan kimia. Dinasti ini
memberikan otonomi khusus bagi Kairo untuk mendirikan Universitas Al Azhar yang
kesohor itu. Lebih penting lagi, Khalifah Al-Hakim mendirikan sentral ahli-ahli
hukum yang dinamakan Darul Hikmah. Kegemilangan yang sama juga terjadi di
Spanyol. Emir Abdurrahman III dikenal sebagai penguasa Islam yang memiliki
tingkat apresiasi tinggi terhadap ilmu pengetahuan disamping hobbinya pada
musik. Beliau meletakkan iklim dan tradisi kondusif untuk penulisan dan penterjemahan
buku-buku kedokteran, filsafat dan mistisme. Hal ini kemudian dilanjutkan oleh
puter-puteranya yang menjadikan Cordoba menjadi sentral ilmu pengetahuan
unggulan pada masanya. Pakar sejarah Timur Tengah Klasik, Philip K. Hitti
mengatakan bahwa pada masa ini, sebahagian istana dikosongkan dan dijadikan
tempat bekerja sehingga disana hanya ditemui juru penyalin dan juru penjilid.
Luar biasa. Diperkirakan jumlah buku mencapai 400.000 buah buku. Universitas Cordoba menjadi universitas
terkenal dan bermutu. Pendidikan tidak dikenakan pajak.
Cerita manis ini akhirnya
berhenti hingga abad ke XIII masehi. Selanjutnya, apresiasi terhadap rasio
mulai redup. Perdebatan serius antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, antara Sunni
dengan Muktazilah membuat kebebasan berfikir dan melakukan pengayaan ilmu mulai
meredup seiring dengan kejatuhan kekuasaan Islam dan munculnya tradisi glamour
para penguasa yang tidak respek terhadap pengembangan intelektual. Bersama-sama
dengan hilangnya semangat pemikiran dan penyelidikan ilmu yang menjadi ciri
kebesaran dan kemajuan Islam selama enam abad masa keemasannya, maka kegairahan
untuk memajukan ilmu mulai berkurang dan posisi tawar golongan sarjana mulai
menurun. Malahan di berberapa tempat seperti Baghdad, perpustakaannya habis dibakar,
dirampas dan dimusnahkan oleh tentara Tartar -- "petarung jempolan buta
huruf yang penuh dengan kutu dan tidak begitu mengerti manfaat mandi, apatah
lagi manfaat buku", kata Goenawan
Mohammad dalam salah satu catatan pinggir-nya. Nasib perpustakaan Fathimiyah di
Kairo adalah contoh terbaik perubahan mentalitas dalam kejatuhan peradaban
Islam. Perampasan yang pertama terjadi pada waktu bahaya kelaparan dan
anarkhisme yang menghancurkan kerajaan
Khalif Musanjadid. Beribu-ribu buku berharga tentang keindahan kaligrafi,
ditinggalkan kepada Budak yang kemudian : "membuka kulit-kulit tersebut
untuk dijadikan kulit sepatu". Banyak buku-buku dilemparkan ke Sungai Nil
sebagaimana halnya buku-buku Dinasti Abbasiyah yang dibuang oleh tentara Tartar
ke sungai Eufrat dan Tigris sehingga warna sungai "berubah hitam karena
tinta". Sebagian buku dapat diselamatkan. Akhirnya, tahun 1122, Darul
Hikmah ditutup.
Nasib sarjana dan
perpustakaan di tempat lain tak jauh beda. Semangat ilmu tersebut universal dan
tidak memiliki nasionalisme mulai hilang dan berganti dengan semangat ideologis
parsial. Ahli-ahli hukum mazhab Maliki misalnya, sangat giat membakar
naskah-naskah Yunani kalsik kecuali naskah yang berhubungan dengan kedokteran
dan aritmetika, kamus, tata bahasa, hukum dan hadits. Disamping dibakar, banyak
buku-buku berharga dari hasil penterjemahan dan pengayaan tradisi intelektual
Yunani kalsik dan Persia dijual dengan harga murah. Khazanah kaya tersebut
akhirnya berpindah ke pusat-pusat yang lain yang berusaha menyamai Cordoba.
Peradaban Islam pada masa ini diisi oleh iklim dengan mental yang berbeda
dengan mental masa sebelumnya. Pada sisi
lain, pada waktu itu Eropa sedang bergairah menterjemahkan buku-buku dari bahas
Arab. Perpustakaan dan lembaga-lembaga penyelidikan banyak bermunculan. Pusat
penterjemahan dari bahasa Arab yang sangat terkenal dalam sejarah Eropa pada
abad ke XII masehi terdapat di sebelah barat Eropa. Santa Maria di Rippol di
kaki Gunung Pirrenia menjadi catatan emas sejarah intelektual Eropa. Tempat ini
menjadi tempat penterjemahan produktif dari bahasa Arab ke bahasa Latin. Di
perpustakaan Vatikan di Roma, di Bibliothegue Nationale di Paris dan di British
Museum London terdapat sejumlah naskah terjemahan dari abad ke XII masehi.
Penterjemah terkenal pada masa ini adalah Pedro Alfonso, seorang Kristen
keturunan Yahudi dan Abraham van Hiyya al-Bargeloni serta Gerardo di-Cremona
dari Toledo. Di Italia, penterjemahan berpusat di Sicilia dan Napoli -- dua
wilayah yang sebelumnya pernah berinteraksi dengan Islam secara politik --
dengan tokohnya Michael Scott.
Kegelisahan berfikir dan
penyelidikan yang menandai kemajuan peradaban Islam hingga abad ke XIII masehi
mulai berpindah ke tangan Eropa (Kristen). Kedinamisan dunia Islam yang
menyatukan spirit peradaban dari batas China hingga Atlantik segera diatasi
oleh bangsa-bangsa Eropa. Marcopolllo menjelajah Asia dari 1271-1295.
Christopher Collombus menemukan benua Amerika tahun 1498. Vasco da Gama
mengelilingi Afrika dan mendarat di Kalikut tahun 1498 sebagai usaha orang
Portugis untuk memerangi kerajaan-kerajaan Islam. Dari tahun 1519-1522,
Magelheins mengelilingi dunia. Dan kemudian sejarah mencatat, dengan cepat
penguasaan dan penjajahan bangsa Eropa atas dunia berjalan hingga abad kita.
Dan kita tahu bagaimana selanjutnya, Eropa kemudian berkembang sangat pesat
dengan revolusi ilmu pengetahuan yang berpangkal dari revolusi Industri pada
abad ke XIX masehi. Memperhatikan dan
membandingkan sifat peradaban Islam di zaman keemasannya dengan peradaban modern
dalam beberapa abad belakangan ini, tidak mengherankan banyak orang Islam yang
berpendapat bahwa kemajuan dunia modern ini pada hakikatnya adalah kemajuan
yang dikehendaki agama Islam seperti yang terjadi pada abad ke VII-XIII masehi.
Pada hakikatnya, orang Eropalah yang melanjutkan spirit inteletual Islam.
Mungkin ini adalah romantisme sejarah. Tapi tidak salah kita bersikap dengan
dua episode sejarah diatas. Peradaban Islam maju ketika tradisi intelektual
berkembang tanpa memandang dari mana ilmu itu berasal. Demikian juga halnya
ketika tradisi intelektual Eropa yang menghilangkan ego-parsial mereka dan
mereka mau berkata : "walaupun ilmu itu berbahasa Arab, tapi tidak salah
untuk kita ambil dan kita bawa ke dunia kita". Haruskan selanjutnya pada
zaman kita saat sekarang ini, kita selalu mengedepankan bahwa ilmu dari
"luar dunia kita" tidak bagus dan tidak Islami ? Kalau hal ini yang
kita lakukan, historia not-repete --
sejarah tidak akan berulang. Cerita manis masa lalu akan tetap dalam bungkusan
apologia, kompensasi atas inferioritas atau hanya sebatas romantisme sejarah.
Wallahualam.
Referensi : Goenawan Mohammad (1996), Marshal DGS. Hodgson (1998)
Referensi : Goenawan Mohammad (1996), Marshal DGS. Hodgson (1998)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar