Rabu, 11 April 2012

Politik (yang) Bermartabat

Ditulis ulang : Muhammad Ilham   

Izinkanlah saya mengutip nasihat seseorang dari lima abad silam yang paling banyak dihujat sekaligus diikuti dalam politik: Niccolo Machiavelli. ”Membunuh sesama warga, mengkhianati kawan, curang, keji, tak peduli agama,” demikian tulisnya, ”tidak dapat disebut kegagahan.  Cara-cara macam ini dapat memenangkan kekuasaan, tetapi bukan kemuliaan. Gloria, itulah martabat dalam politik. Politik yang bermartabat tak digerakkan semata-mata oleh nafsu pencarian kekuasaan. Martabat memancar dari tindakan otentik yang penuh kedaulatan dari seorang pemimpin berkarakter. Itulah kemuliaan yang membuat dirinya dihormati rakyatnya. Sisi gagasan tentang martabat ini jarang dicermati para pembaca yang telanjur menilai Machiavelli sebagai guru kelicikan politis. Patut disesalkan bahwa dalam masyarakat kita tersedia banyak contoh hilangnya martabat politik di berbagai lini, entah itu di pemerintahan, DPR, entah peradilan. Rumus ”jilat atas, injak bawah” cukup merasuki birokrasi, perusahaan, dan organisasi dalam masyarakat kita. Dari politik uang para kandidat selama pemilu dan pilkada sampai praktik jual beli keputusan pemimpin, seperti dalam jaringan para calo anggaran, menunjukkan kenyataan vulgar bahwa politik itu sendiri tidak lagi merupakan tindakan otentik yang berdaulat, tetapi merosot menjadi barang dagang dalam pasar kuasa. Di tengah situasi macam itu, sosok IJ Kasimo, salah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan RI, menginspirasi kita tentang politik yang bermartabat. 

Lazimnya martabat dimengerti dengan pemilikan status, gengsi, dan aset-aset. Berapa rumahnya, mobilnya, gelarnya, gajinya, dan seterusnya? Tidak atau kurang mempunyai hal-hal itu adalah tidak atau kurang bermartabat, maka juga kurang disegani dan seolah tanpa busana. Selama dikaitkan dengan pemilikan material macam itu, martabat disempitkan menjadi kekuasaan atau bahkan kekerasan belaka. Ada jiwa kerdil yang bersembunyi di belakang segala lencananya. Keterlibatan IJ Kasimo dalam politik menunjukkan hal berbeda. Martabat dalam politik tak semata-mata terletak pada status atau atribut sang pemimpin, tetapi pada keagungan sikapnya. Keagungan itu menyembul keluar dari kegagahan, kesungguhan, dan kekuatan karakternya. Karakter kepemimpinan seperti ini nyaris punah dalam masyarakat kita ditelan gelombang konsumtivisme dan oportunisme.

Tantangan besar yang pasti akan menggerogoti martabat seorang pemimpin adalah korupsi. Mari kita dengar lagi nasihat orang yang kerap dihubungkan dengan kebengisan itu. ”Jika perlu menghabisi nyawa seseorang,” begitu tulis Machiavelli, ”lakukan itu, asal alasannya jelas. Namun, terutama seorang pemimpin tak boleh mencuri harta rakyatnya karena manusia lebih mudah melupakan kematian ayahnya daripada kehilangan bagian warisannya.” Dalam takaran Machiavelli, kebengisan plus keadilan membuat pemimpin ditakuti dan dihormati, tetapi mencuri kas rakyat atau menyentuh istri mereka adalah tindakan keparat memalukan. Mengapa korupsi melaknatkan politik seorang pemimpin? Pertama, pencuri kas rakyat itu adalah juga penjual keputusan, padahal dengan menjual keputusannya, politik sang pemimpin menjadi olok-olok para penyogok dan penjilat. Uang menjadi berdaulat, sedangkan keputusannya tidak. Kedua, politik yang kehilangan martabatnya sebagai tindak otentik kedaulatan itu sekarang terjebak menjadi mangsa pasar kekuasaan. Ketika politik berubah menjadi komoditas, harga diri pemimpin tidak diperlukan lagi karena yang terpenting bukan dirinya, tetapi harga keputusannya. Karena itulah, Machiavelli tidak pantang kebengisan—asal plus harga diri—karena kebengisan bisa menampilkan karakter dan kedaulatan, sementara korupsi menggilas habis karakter kepemimpinan. 

Tentu Machiavelli berat sebelah dengan anggapan bahwa martabat politik hanya terletak pada kedaulatan pemimpin. Jika kita mengatakan bahwa politik seseorang bermartabat, yang dimaksud bukan hanya bahwa keputusannya tidak bisa dibeli, melainkan juga bahwa ia memiliki keutamaan yang membangun kehidupan bersama, seperti keadilan, kearifan, dan solidaritas sosial. Mengacu pada Aristoteles, politik yang bermartabat itu mengubah rakyat dari sekadar ”hidup belaka” (bare life) menjadi ”hidup yang baik” (good life). Martabat politik sang pemimpin memancar dari keberanian, komitmen, dan konsistensinya dalam menggerakkan suatu kelompok menjadi suatu bangsa yang berdaulat dan menghasilkan hukumnya sendiri. Itulah hidup yang baik. Manusia menjalani hidup belaka apabila tidak ada hukum yang melindunginya, tanpa hak dan tanpa martabat, sehingga ia secara konstan berada dalam keadaan darurat. Di mana kita dapat menemukan manusia yang menjalani hidup belaka? Hannah Arendt menunjuk pada kamp konsentrasi Nazi. Giorgio Agamben menunjuk pada penjara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo. Di tempat-tempat itu manusia memasuki zona tanpa hukum dan menjadi obyek permainan kekuasaan belaka. Tak terlindung hukum, tahanan boleh dibunuh tanpa alasan. Baik hidup publik maupun privat para tahanan itu dirampas dari mereka. Yang mereka miliki hanya hidup belaka. Mereka diempaskan ke dalam keadaan darurat yang konstan. 

Dalam kadar berbeda-beda, hidup belaka dijalani oleh penduduk di tanah-tanah jajahan, pengungsi, minoritas yang didiskriminasikan, korban pelanggaran HAM, serta mereka yang hak-haknya diabaikan dan menjadi permainan kekuasaan. Kehidupan kaum marjinal menyingkapkan kepada kita bahwa keadaan darurat telah jadi aturan harian bagi mereka. Namun, hidup belaka yang mereka jalani tidak ada secara alamiah. Hal itu adalah hasil praktik-praktik politik suatu rezim yang mengubah politik menjadi sekadar alat kesintasan. Ketika keputusan pemimpin diperjualbelikan, bukan hanya pemimpin itu sendiri kehilangan martabatnya dengan berubah menjadi komoditas. Ruang yang menganga di antara dirinya dan rakyat yang menerima keputusannya dengan serta-merta berubah menjadi zona vakum hukum yang mengempaskan rakyat ke dalam hidup belaka. Zona itulah tempat yang sangat rentan untuk kesewenangan permainan kekuasaan. Percaloan, mafia, dan premanisme yang merajalela di birokrasi, peradilan, dan parlemen melemparkan rakyat ke dalam keadaan darurat yang konstan. Wajah mereka kita saksikan di mana-mana. Suatu politik yang bermartabat menyangkut upaya-upaya penuh keutamaan untuk mengubah hidup belaka menjadi hidup yang baik. 

Kita boleh mengatakan bahwa para tokoh pergerakan kemerdekaan kita, antara lain IJ Kasimo, mempraktikkan tindakan kepemimpinan yang bermartabat, yakni pantang menjual keputusan mereka kepada pihak mana pun. Perjuangan kemerdekaan itu sendiri adalah suatu upaya politis untuk memartabatkan rakyat, yaitu mengubah nasib rakyat dari hidup belaka menjadi hidup yang baik. Di zaman kita, ketika keputusan para pejabat publik dijualbelikan dan banyak anggota masyarakat kita menjalani hidup belaka karena menjadi permainan kekuasaan, contoh politik berintegritas, berkarakter, dan prorakyat yang memancar dari tokoh seperti Kasimo menjadi normatif. Hanya politik yang memartabatkan rakyat yang boleh disebut bermartabat. Sebaliknya, untuk praktik-praktik politis yang tanpa malu lagi merampas atau mengabaikan hak-hak rakyat demi kepentingan sendiri, yaitu politik yang menjerumuskan rakyat ke dalam hidup belaka, tidak ada sebutan lain selain—maaf, agak kasar—politik keparat para bajingan yang lemah karakter. Politik macam itu bahkan kiranya akan dicibir oleh Machiavelli sebagai tidak gagah. 

Sumber : diedit dari (c) F. Hardiman,  Kompas, 15 Oktober 2010
Foto : www.google.picture.com

1 komentar:

alamanda mengatakan...

politik seperti ini yg harus diterapkan