Islam terlahir dan ditakdirkan untuk dicurigai !
("tangisan" Muhammad Iqbal, Javid Namah)
/Bulan yang bundar/melukis denah masa depan/tombak dan bunga/berdampingan bagai mempelai/
(Zawawi Imron)
("tangisan" Muhammad Iqbal, Javid Namah)
/Bulan yang bundar/melukis denah masa depan/tombak dan bunga/berdampingan bagai mempelai/
(Zawawi Imron)
Ibarat
kue lapis yang berlapis-lapis, maka proses kedatangan Islam di
Indonesia juga berlapis-lapis. Pada lapisan pertama, Islam "datang"
melalui pedagang-pedagang. Sedangkan pada lapisan kedua, ditandai
adanya sebuah eksistensi politis yang bernama kerajaan seperti di
Sumatera Utara - Aceh. Pada lapisan ketiga, perkembangan Islam
demikian cepat sebagai bentuk kompetisi dengan Kristen. Sejarah
"sepakat" dalam lapisan ketiga ini, persaingan ini dimenangkan oleh
Islam. Dalam lapisan ini VOC (Vereeniging de Oost Companig)
yang diistilahkan sebagai "negara berjalan" itu ada dan mendirikan
Hindia Belanda. Tapi daerah-daerah pinggiran pantai tetap berada dalam
kekuasaan orang Islam. Peristiwa demi peristiwa dalam lapisan ketiga
ini, tidak bisa dilupakan oleh orang Kristen. Pada lapisan ini pula,
usaha Kristenisasi di daerah Jawa dan Indonesia Timur berjalan dengan
massif. Persaingan tak terhindarkan. Setidaknya demikian yang
terlihat dari berbagai konflik dan perlawanan rakyat daerah vis a vis VOC yang terjadi, nuansa menghadapkan Islam dan Kristen tak terhindarkan.
Sejak
lapisan ketiga ini, persaingan terus berlanjut. Dalam masa
pergerakan, muncul perdebatan-perdebatan tentang bentuk ideal sebuah
negara yang di"imajinasi"kan. Sebagian (mayoritas) berkeinginan
mendirikan negara diatas landasan Islam republik, padasisi lain
menginginkan bentuk negara nasional. Sejarah kemudian mencatat,
bagaimana ini terefleksi dari perdebatan-perdebatan monumental antara
Soekarno dengan Mohammad Natsir. Perdebatan yang bersumbu pada
Mukaddimah UUD atau biasa dikenal dengan Piagam Jakarta. Piagam
Jakarta yang hingga hari ini begitu disesali sebagian ummat Islam
Indonesia. Penyesalan terhadap sebuah - dalam bahasa Taufik Abdullah
(1999) - kompromi antara negara nasionalis dengan moral religius yang
tertulis dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Tak bisa dipungkiri,
kompromi ini merupakan bentuk "ketakutan" sebagian kalangan akan Islam
politik.
Dalam
perkembangan sejarah berikutnya, beberapa gerakan perlawanan terhadap
entitas sah negara-bangsa Indonesia terjadi satu per satu. Darul
Islam-nya Kartosuwiryo berdiri di Jawa Barat. Kehadiran Darul Islam,
sebagaimana yang ditulis Al-Chaidar (2002), menimbulkan mitos bahwa
seolah-olah Islam di Indonesia adalah entitas yang menakutkan dan
militan. Sebuah generalisasi yang pada hakikatnya terus berkembang
hingga masa kini. Padahal Islam di Indonesiaitu tidaklah monolitik.
Islam di Indonesia itu bukan hanya tipikal Darul Islam dengan NII-nya
itu saja. Islam di Indonesia ada Nahdlatul Ulama, ada Muhammadiyah,
ada Perti dan seterusnya. Ketakutan akan militansi Islam ini terus
ter/dijaga. Seluruh idiom ataupun labelisasi yang berkaitan dengan
Islam di Indonesia, selalu dipandang dengan "curiga". Lihatlah ketika
istilah "Kebangkitan Islam" diperkenalkan. Istilah ini juga dilihat
sebagai gerakan yang perlu dicurigai, setidaknya demikian yang terasa
di akhir rezim Orde Baru. Padahal gerakan kebangkitan Islam ini,
merupakan gerakan internasional. Tapi, tetap saja sebagian kalangan
merasa takut, terutama dari entitas Kristen Indonesia.
Sejak
lapisan ketiga hingga terus terbentuknya republik ini, ketakutan akan
Islam politik terus terbina. Pada masa Orde Baru, "cita rasa"nya
terasa dengan kental. Orde Baru dipenuhi oleh jargon-jargon politis
yang ingin menyampaikan kepada publik bahwa Islam politik pantas untuk
"dicurigai". Jargon kanan untuk memetakan Islam, sementara jargon
kiri untuk PKI. Bagaimanapun juga, jargon ini merupakan salah satu
bentuk grand design kelompok-kelompok
non-Islam yang mencurigai kebangkitan Islam politik. Militansi
beberapa kelompok Islam masa Orde Lama dijadikan sebagai landasan
historis untuk pembenaran, tanpa melihat bahwa entitas Islam Indonesia
bukan hanya kelompok garis keras itu saja. Di saat-sata akhir
kekuasaan Soeharto, jargon baru dalam ranah politik Indonesia - ijo royo-royo.
Refleksi mendekatnya Soeharto dengan Islam, dalam bahasa Emha Ainun
Nadjid, religiusitas politik Soeharto. Kondisi ini membuat kelompok
Kristen menjadi takut, seakan-akan Islam bagian dari establishment yang otoriter.
Sejarawan
Taufik Abdullah suatu ketika pernah menyatakan bahwa itulah nasib
dari orang yang mayoritas. Walau berwajah baik, selalu dicurigai.
Orang Jawa yang secara demografis dan politis lebih mayoritas, selalu
di ejek oleh orang luar Jawa dan seterusnya. Padahal, kata Taufik
Abdullah, kalau orang itu sadar dengan keminoritasannya, tentu mereka
tidaklah perlu takut pada mayoritas. Dalam ranah psikologi dikenal
istilah inferiorityof minority.
Ketakutan akan Islam politik lebih disebabkan pada perasaan kurang
percaya diri kelompok minoritas. Karena itu, kata kunci yang perlu
ditumbuhkembangkan adalah minoritas yang percaya diri, mereka tidak
akan takut terhadap mayoritas. Kalangan minoritas Indonesia tidak akan
mencurigai Islam politik. Walau gerakan-gerakan Islam garis keras
mulai "menaik" di Indonesia pasca Orde Baru, usaha-usaha penghilangan
kesan Islam yang "menakutkan", rasanya tidak perlu. Makin diusahakan,
akan makin dicurigai. Samalah dengan infotainment, semakin artis
tersebut diperbincangkan, mungkin artis itu akan semakin populer dan
dicurigai. Biarlah berjalan dengan alamiah.
Persoalannya bukan terletak pada golongan mayoritas, tapi pada golongan minoritas. Islam itu biasa-biasa saja, apalagi Islam di Indonesia yang tidak monolitik. Coba lihat, bagaimana sikap politik antara orang NU dengan Muhammadiyah, antara Al-Washliyah dengan Perti - mereka tidak akan pernah sama. NU dibawah kepemimpinan Gus Dur dan Said Agil Siradj saja, berbeda dalam menyikapi gaya politik SBY. Analisis saja, Muhammadiyah di bawah Dien Syamsuddin dengan Muhammadiyah di bawah Syafii Ma'arif mensikapi perkembangan politik Indonesia, pasti beda. Tapi itu tadi, setiap orang Islam membicarakan masalah politik, selalu merasa menakutkan. Padahal, sebagaimana yang diungkapkan group hip hop Saykoji, "Islam itu indah, Islam itu ramah. Wallahu 'alam bis shawab !.
Persoalannya bukan terletak pada golongan mayoritas, tapi pada golongan minoritas. Islam itu biasa-biasa saja, apalagi Islam di Indonesia yang tidak monolitik. Coba lihat, bagaimana sikap politik antara orang NU dengan Muhammadiyah, antara Al-Washliyah dengan Perti - mereka tidak akan pernah sama. NU dibawah kepemimpinan Gus Dur dan Said Agil Siradj saja, berbeda dalam menyikapi gaya politik SBY. Analisis saja, Muhammadiyah di bawah Dien Syamsuddin dengan Muhammadiyah di bawah Syafii Ma'arif mensikapi perkembangan politik Indonesia, pasti beda. Tapi itu tadi, setiap orang Islam membicarakan masalah politik, selalu merasa menakutkan. Padahal, sebagaimana yang diungkapkan group hip hop Saykoji, "Islam itu indah, Islam itu ramah. Wallahu 'alam bis shawab !.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar