Namanya Deng Xiao Ping (1904-1997), bertubuh mungil tak sebesar Churchill ataupun Nasser. Ia tak gagah seperti John Fritzgerald Kennedy ataupun kamerad Chou En-Lai yang beralis tebal, apatah lagi bila dibandingkan dengan si flamboyan Soekarno. Selepas Revolusi Kebudayaan yang meluluhlantakkan secara massif pondasi dan kekayaan intelektual China pada masa Mao Ze Dong (Mao Tse Tung), Deng yang selamat dari persaingan politik, mengambil alih kekuasaan politik pasca kematian Mao. Di tangannya, China yang komunis itu, berubah luar biasa. Perkembangan China yang teramat pesat hari ini di bidang ekonomi, bahkan mengalahkan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat (setidaknya dari cadangan devisa yang mereka miliki : 2011 China memiliki cadangan devisa terbesar sepanjang sejarah negara-negara modern), tak terlepas dari "tangan dingin" dan "ucapan inspiring" yang merubah paradigma pembangunan ekonomi China ..... tanpa meninggalkan ideologi mereka (komunisme). Sebagai akibat dari kebijaksanaan masa lalu yang salah arah dan peristiwa revolusi, negara China pernah berada dalam kondisi kritis dan ketidakpastian. Namun Negara Tirai Bambu ini sungguh beruntung mempunyai seorang Deng Xiaoping. Tanpa kehadiran Deng, sulit membayangkan China yang maju sekarang ini. Deng yakin keberadaan orang-orang yang mempunyai standar hidup lebih baik atau lebih sukses, bisa memotivasi dan menjadi pemicu bagi lainnya untuk lebih berprestasi. Ironisnya dengan sebagian masyarakat kita. Bukannya merasa terdorong untuk maju melihat orang lain lebih sukses, tetapi justru iri, marah, benci dan mengumpat-ngumpat.
Ketika Deng memimpin China, keluar-lah dua kalimat yang terkenal itu :
"Jangan perdebatkan warna kucing, bila ia pandai menangkap tikus ..... pakai !"
"menjadi kaya itu mulia" (zìfù shì guāngróng)"
Hingga hari ini, dari sepanjang sejarah bangsa yang tidak begitu
panjang, "atas nama rakyat" dan "atas nama suara mayoritas", kita masih
terus memperdebatkan ideologi ideal bangsa ini, tanpa pernah memberikan
bukti sejarah bahwa ideologi-ideologi (politik) tersebut mampu
menyejahterakan anak bangsa.
"Masih berkutat pada debat warna merah, hitam, putih seekor kucing
...... tapi melupakan apakah kucing itu bisa menangkap tikus",
setidaknya demikian perumpamaan Deng yang kecil-tambun itu.
Sumber foto : proudchina.com
Beberapa tanggapan/diskusi di Muhammad Ilham Fadli Facebook mengenai topik ini, penulis publish beberapa penggal :
Nico Varnindo Vargas :
Kalau begitu bagaimana
formula-nya, perlu langsung mencari tahu semua sepak terjang
ekonomi cina yang sebenarnya, apakah benar-benar liberalisme disegala bidang
termasuk sektor penting dilepas kepada mekanisme pasar dan sebagainya ? Apakah
ada perusahaan cina swasta apalagi asing yang menguasai sektor-sektor sensitif
?
Muhammad Ilham :
entahlah bung Nico, ilmu saya teramat dangkal dalam bidang ekonomi. Tapi saya hanya
berusaha memahami bagaimana pragmatisme-nya kamerad Deng ini, dengan
tujuan besar. Ia tak mau tampaknya terlibat intensif dalam hal-hal
ideologis.
Nico Varnindo Vargas :
Apa tidak ada kaitannya
dengani "grand design" yang telah dirancang oleh founding father RRC?, sebagaimana founding fathers RI. Apa benar setelah Dr. Sun Yat Sen, Mao dan Chiang Kai Sek., ternyata Deng-lah yang membuat
formula itu semua ?...seolah setelah Soekarno-Hatta dan lain-lain, ternyata
formula politik-ekonomi dst. bagi bangsa indonesia yang sesungguhnya
hanya dilakukan dan disebabkan oleh seorang Soeharto ? Mungkinkah Dr. Sun Yat Sen tak sempat merumuskan apa-apa, lalu Chiang Kai Sek yang menggantikannya juga bukan golongan pemikir dan juga berkonflik
dengan Mao (komunis)...jika demikian benarlah mungkin deng yang mulai
merumuskan semuanya...dan ia hadir setelah mao berlalu, setelah
menyaksikan bagaimana negerinya terpuruk oleh banyak konflik diantara
para seniornya ?... itulah ia mungkin memformulakan kembali segala hal,
seolah-olah ia-lah founding fathers gelombang kedua bagi RRC ?...sepertinya
begitu...begitukah ?. Bagaimana dengan RI ?...apa kita setuju
rumusan ekonom Soeharto bukan tindakan melanggar kesepakatan pendiri
bangsa yang bahkan tampaknya founding fathers RI "jauh lebih maju" dari
pendiri cina ?...mengingat Sun Yat Sen hanya bersekolah di Hongkong,
sementara pendahulu kita melanglang buana melihat banyak hal di negeri-negeri di Eropa sana ?...sehingga itu sebabnya pasal 33 UUD '45 yang konon
kabarnya adalah kesimpulan Bung Hatta setelah melihat ketimpangan2-ketimpangan dan
kesenjangan kelas yang terjadi di masyarakat Eropa., kala itu Eropa juga
tidak sebaik hari ini. Mmungkinkah yang sesungguhnya
terjadi bahwa cina konsisten dengan semua "blueprint" yang dirancang
oleh Deng yang berkuasa di tahun 70-an/80-an, sementara kita, kita
tidak setuju dengan trickle down effect Soeharto yang juga mulai
berkuasa sejak akhir 1960-an., karena yang dikerjakan soeharto menghamba
kepada kepentingan asing dan segelintir elit, seolah meneruskan
kebiasaan raja-raja di nusantara yang juga menjadi kaki tangan penjajah
asing di era kolonial sebelumnya...sementara deng dengan kebijakannya
konsisten plus tidak menghamba kepada asing, sesuatu yang seksi di mata
wong cilik di belahan dunia manapun, begitukah ?
Muhammad Ilham :
Bung, bisa iya bisa juga tidak. Tidaknya, kamerad Deng justru melihat Mao
teramat gandrung dengan aura ideologi-nya (salah satunya : kasus
revolusi kebudayaan). Deng melihat (sebagaimana yang pernah diulas TIMES
dengan cover dpan Deng Xiao Ping), Mao gagal (diaspora ideiologi
mungkin ia berhasil). Blue print Sun Yat Sen justru bukan menjadi
patokan utama Mao (kasus : Chiang Kai Sek dengan improvisasi Taiwannya,
membuktikan hal ini). Intinya, sebagaimana halnya pepatah Minangkabah
"sakali aia mangalia, sakali tapian barubah", Deng ingin menempatkan
persoalan ideologis tersebut dalam kerangka landasan-utopia sebuah
negara (karena memang ideologi, kecuali agama, umumnya adalah UTOPIA).
Karena Deng ingin realistis, nampaknya. "Bukan Warna Kucingnya, tapi
kemampuan menangkap Tikusnya".
Nico Varnindo Vargas :
Saya kira yang dilakukan deng sangat dekat dengan apa yang dituliskan oleh founding fathers RI. Kita mungkin perlu cari tahu misalnya, perusahaan energi dan keuangan di cina, bagaimana komposisi kepemilikan sahamnya. Diatas itu semua, seorang banker Indonesia cabang Shanghai pernah
sharing bahwa cina punya kebijakan tegas....yang intinya, (bisnis)
apapun yang ada dibawah langit negeri Tiongkok itu harus tunduk kepada
apapun yang diatur oleh pemerintah negara tersebut. jJdi memang
keberpihakan pemerintahnya kepada isu kepentingan nasional tetap nomor
satu, apa yang lazim di Eropa Amerika bisa tidak berlaku di negeri itu,
jika itu bertentangan dengan kepentingan nasional RRC. Apalagi jika kita telusuri semua perusahaan BUMN Cina tetap di kuasai
pemerintah Cina, perusahaan milik swasta jika sahamnya dikuasai investor
asing pun, apalagi jika tidak, tetap tunduk pada semua yang diatur oleh
pemerintah Cina... kalau tidak mau silahkan angkat kaki, kita bisa
lihat contohnya polemik perusahaan IT dari USA (google) yang sempat
berpolemik di cina beberapa waktu lalu...dan pada akhirnya perusahaan IT
lainnya seperti twitter beberapa waktu lalu juga mengumumkan kebijakan
mereka yang intinya tidak akan menyamaratakan perlakuan bisnis mereka
sama di seluruh dunia, dengan kata lain mereka tunduk kepada peraturan
tegas di negara-negara tertentu, seperti China, ya negeri tirai bambu itu tahu
betul siapa yang butuh siapa. Bedanya pragmatis kamerad Deng dituntaskan hingga ke level detail dibawah, ditindaklanjuti dan
konsisten...sementara utopia founding fathers kita tidak sampai detail
diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari bahkan kebanyakan rakyat juga
tidak paham, apa saja misalnya sektor yang dimaksud oleh pasal 33
UUD' 45 tersebut, apalagi mau menindaklanjutinya ?... pekerjaan rumah
untuk menuntaskan apa yang belum sempat disempurnakan para pendahulu ada
ditangan generasi hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar