Ditulis ulang : Muhammad Ilham
Izinkanlah saya mengutip nasihat seseorang dari lima abad silam yang
paling banyak dihujat sekaligus diikuti dalam politik: Niccolo
Machiavelli. ”Membunuh sesama warga, mengkhianati kawan, curang, keji,
tak peduli agama,” demikian tulisnya, ”tidak dapat disebut kegagahan. Cara-cara macam ini dapat memenangkan kekuasaan, tetapi bukan
kemuliaan. Gloria, itulah martabat dalam politik. Politik yang
bermartabat tak digerakkan semata-mata oleh nafsu pencarian kekuasaan.
Martabat memancar dari tindakan otentik yang penuh kedaulatan dari
seorang pemimpin berkarakter. Itulah kemuliaan yang membuat dirinya
dihormati rakyatnya. Sisi gagasan tentang martabat ini jarang dicermati
para pembaca yang telanjur menilai Machiavelli sebagai guru kelicikan
politis. Patut disesalkan bahwa dalam masyarakat kita tersedia
banyak contoh hilangnya martabat politik di berbagai lini, entah itu di
pemerintahan, DPR, entah peradilan. Rumus ”jilat atas, injak bawah”
cukup merasuki birokrasi, perusahaan, dan organisasi dalam masyarakat
kita. Dari politik uang para kandidat selama pemilu dan pilkada sampai
praktik jual beli keputusan pemimpin, seperti dalam jaringan para calo
anggaran, menunjukkan kenyataan vulgar bahwa politik itu sendiri tidak
lagi merupakan tindakan otentik yang berdaulat, tetapi merosot menjadi
barang dagang dalam pasar kuasa. Di tengah situasi macam itu,
sosok IJ Kasimo, salah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan RI,
menginspirasi kita tentang politik yang bermartabat.
Lazimnya
martabat dimengerti dengan pemilikan status, gengsi, dan aset-aset.
Berapa rumahnya, mobilnya, gelarnya, gajinya, dan seterusnya? Tidak atau
kurang mempunyai hal-hal itu adalah tidak atau kurang bermartabat, maka
juga kurang disegani dan seolah tanpa busana. Selama dikaitkan dengan
pemilikan material macam itu, martabat disempitkan menjadi kekuasaan
atau bahkan kekerasan belaka. Ada jiwa kerdil yang bersembunyi di
belakang segala lencananya. Keterlibatan IJ Kasimo dalam politik
menunjukkan hal berbeda. Martabat dalam politik tak semata-mata terletak
pada status atau atribut sang pemimpin, tetapi pada keagungan sikapnya.
Keagungan itu menyembul keluar dari kegagahan, kesungguhan, dan
kekuatan karakternya. Karakter kepemimpinan seperti ini nyaris punah
dalam masyarakat kita ditelan gelombang konsumtivisme dan oportunisme.
Tantangan besar yang pasti akan menggerogoti martabat seorang pemimpin adalah korupsi. Mari kita dengar lagi nasihat orang yang kerap dihubungkan dengan kebengisan itu. ”Jika perlu menghabisi nyawa seseorang,” begitu tulis Machiavelli, ”lakukan itu, asal alasannya jelas. Namun, terutama seorang pemimpin tak boleh mencuri harta rakyatnya karena manusia lebih mudah melupakan kematian ayahnya daripada kehilangan bagian warisannya.” Dalam takaran Machiavelli, kebengisan plus keadilan membuat pemimpin ditakuti dan dihormati, tetapi mencuri kas rakyat atau menyentuh istri mereka adalah tindakan keparat memalukan. Mengapa korupsi melaknatkan politik seorang pemimpin? Pertama, pencuri kas rakyat itu adalah juga penjual keputusan, padahal dengan menjual keputusannya, politik sang pemimpin menjadi olok-olok para penyogok dan penjilat. Uang menjadi berdaulat, sedangkan keputusannya tidak. Kedua, politik yang kehilangan martabatnya sebagai tindak otentik kedaulatan itu sekarang terjebak menjadi mangsa pasar kekuasaan. Ketika politik berubah menjadi komoditas, harga diri pemimpin tidak diperlukan lagi karena yang terpenting bukan dirinya, tetapi harga keputusannya. Karena itulah, Machiavelli tidak pantang kebengisan—asal plus harga diri—karena kebengisan bisa menampilkan karakter dan kedaulatan, sementara korupsi menggilas habis karakter kepemimpinan.
Tantangan besar yang pasti akan menggerogoti martabat seorang pemimpin adalah korupsi. Mari kita dengar lagi nasihat orang yang kerap dihubungkan dengan kebengisan itu. ”Jika perlu menghabisi nyawa seseorang,” begitu tulis Machiavelli, ”lakukan itu, asal alasannya jelas. Namun, terutama seorang pemimpin tak boleh mencuri harta rakyatnya karena manusia lebih mudah melupakan kematian ayahnya daripada kehilangan bagian warisannya.” Dalam takaran Machiavelli, kebengisan plus keadilan membuat pemimpin ditakuti dan dihormati, tetapi mencuri kas rakyat atau menyentuh istri mereka adalah tindakan keparat memalukan. Mengapa korupsi melaknatkan politik seorang pemimpin? Pertama, pencuri kas rakyat itu adalah juga penjual keputusan, padahal dengan menjual keputusannya, politik sang pemimpin menjadi olok-olok para penyogok dan penjilat. Uang menjadi berdaulat, sedangkan keputusannya tidak. Kedua, politik yang kehilangan martabatnya sebagai tindak otentik kedaulatan itu sekarang terjebak menjadi mangsa pasar kekuasaan. Ketika politik berubah menjadi komoditas, harga diri pemimpin tidak diperlukan lagi karena yang terpenting bukan dirinya, tetapi harga keputusannya. Karena itulah, Machiavelli tidak pantang kebengisan—asal plus harga diri—karena kebengisan bisa menampilkan karakter dan kedaulatan, sementara korupsi menggilas habis karakter kepemimpinan.
Tentu
Machiavelli berat sebelah dengan anggapan bahwa martabat politik hanya
terletak pada kedaulatan pemimpin. Jika kita mengatakan bahwa politik
seseorang bermartabat, yang dimaksud bukan hanya bahwa keputusannya
tidak bisa dibeli, melainkan juga bahwa ia memiliki keutamaan yang
membangun kehidupan bersama, seperti keadilan, kearifan, dan solidaritas
sosial. Mengacu pada Aristoteles, politik yang bermartabat itu
mengubah rakyat dari sekadar ”hidup belaka” (bare life) menjadi ”hidup
yang baik” (good life). Martabat politik sang pemimpin memancar dari
keberanian, komitmen, dan konsistensinya dalam menggerakkan suatu
kelompok menjadi suatu bangsa yang berdaulat dan menghasilkan hukumnya
sendiri. Itulah hidup yang baik. Manusia menjalani hidup belaka
apabila tidak ada hukum yang melindunginya, tanpa hak dan tanpa
martabat, sehingga ia secara konstan berada dalam keadaan darurat. Di
mana kita dapat menemukan manusia yang menjalani hidup belaka? Hannah
Arendt menunjuk pada kamp konsentrasi Nazi. Giorgio Agamben menunjuk
pada penjara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo. Di tempat-tempat itu
manusia memasuki zona tanpa hukum dan menjadi obyek permainan kekuasaan
belaka. Tak terlindung hukum, tahanan boleh dibunuh tanpa alasan. Baik
hidup publik maupun privat para tahanan itu dirampas dari mereka. Yang
mereka miliki hanya hidup belaka. Mereka diempaskan ke dalam keadaan
darurat yang konstan.
Dalam kadar berbeda-beda, hidup belaka
dijalani oleh penduduk di tanah-tanah jajahan, pengungsi, minoritas yang
didiskriminasikan, korban pelanggaran HAM, serta mereka yang hak-haknya
diabaikan dan menjadi permainan kekuasaan. Kehidupan kaum marjinal
menyingkapkan kepada kita bahwa keadaan darurat telah jadi aturan harian
bagi mereka. Namun, hidup belaka yang mereka jalani tidak ada secara
alamiah. Hal itu adalah hasil praktik-praktik politik suatu rezim yang
mengubah politik menjadi sekadar alat kesintasan. Ketika
keputusan pemimpin diperjualbelikan, bukan hanya pemimpin itu sendiri
kehilangan martabatnya dengan berubah menjadi komoditas. Ruang yang
menganga di antara dirinya dan rakyat yang menerima keputusannya dengan
serta-merta berubah menjadi zona vakum hukum yang mengempaskan rakyat ke
dalam hidup belaka. Zona itulah tempat yang sangat rentan untuk
kesewenangan permainan kekuasaan. Percaloan, mafia, dan premanisme yang
merajalela di birokrasi, peradilan, dan parlemen melemparkan rakyat ke
dalam keadaan darurat yang konstan. Wajah mereka kita saksikan di
mana-mana. Suatu politik yang bermartabat menyangkut upaya-upaya penuh
keutamaan untuk mengubah hidup belaka menjadi hidup yang baik.
Kita
boleh mengatakan bahwa para tokoh pergerakan kemerdekaan kita, antara
lain IJ Kasimo, mempraktikkan tindakan kepemimpinan yang bermartabat,
yakni pantang menjual keputusan mereka kepada pihak mana pun. Perjuangan
kemerdekaan itu sendiri adalah suatu upaya politis untuk memartabatkan
rakyat, yaitu mengubah nasib rakyat dari hidup belaka menjadi hidup yang
baik. Di zaman kita, ketika keputusan para pejabat publik dijualbelikan
dan banyak anggota masyarakat kita menjalani hidup belaka karena
menjadi permainan kekuasaan, contoh politik berintegritas, berkarakter,
dan prorakyat yang memancar dari tokoh seperti Kasimo menjadi normatif. Hanya
politik yang memartabatkan rakyat yang boleh disebut bermartabat.
Sebaliknya, untuk praktik-praktik politis yang tanpa malu lagi merampas
atau mengabaikan hak-hak rakyat demi kepentingan sendiri, yaitu politik
yang menjerumuskan rakyat ke dalam hidup belaka, tidak ada sebutan lain
selain—maaf, agak kasar—politik keparat para bajingan yang lemah
karakter. Politik macam itu bahkan kiranya akan dicibir oleh Machiavelli
sebagai tidak gagah.
Sumber : diedit dari (c) F. Hardiman, Kompas, 15 Oktober 2010
Foto : www.google.picture.com
Foto : www.google.picture.com
1 komentar:
politik seperti ini yg harus diterapkan
Posting Komentar