Ada
rasa "ngeri tersendiri" membaca detik.com hari ini - "seorang ayah
menggorok leher anak kandungnya, dan itu dilakukannya dengan sadar di
depan anak kandungnya yang lain. Sang anak mati, dengan leher menganga
.... kehabisan darah".
Saya teringat dengan salah satu film Hollywood - saya lupa judul film tersebut - yang mengkisahkan tentang sebuah degradasi moral, kehidupan Samurai pada masa rezim Tokugawa di era Jepang klasik. Seorang samurai bersama dengan temannya yang tentunya juga samurai, berjalan-jalan ke sebuah desa. Mereka berdiskusi kecil tentang ketajaman pedang (icon seorang samurai) yang mereka miliki masing-masing. Lalu, di depan mereka berjalan seorang petani, penduduk desa yang dilalui samurai dan temannya yang juga samurai ini. Si petani dipanggil. Begitu petani ini datang dan membungkuk di depan samurai ini, si samurai tersebut kemudian mengayunkan pedang ditangannya ke leher petani yang hari itu salah memilih "takdir". Kepala melayang, tubuh menggelimpang. "Ah benar, tajam juga pedang kau ini", kata teman samurai itu sambil berdecak kagum. Merekapun berlalu sambil memandangi pedang berkilatan dalam basuhan darah.
Saya teringat dengan salah satu film Hollywood - saya lupa judul film tersebut - yang mengkisahkan tentang sebuah degradasi moral, kehidupan Samurai pada masa rezim Tokugawa di era Jepang klasik. Seorang samurai bersama dengan temannya yang tentunya juga samurai, berjalan-jalan ke sebuah desa. Mereka berdiskusi kecil tentang ketajaman pedang (icon seorang samurai) yang mereka miliki masing-masing. Lalu, di depan mereka berjalan seorang petani, penduduk desa yang dilalui samurai dan temannya yang juga samurai ini. Si petani dipanggil. Begitu petani ini datang dan membungkuk di depan samurai ini, si samurai tersebut kemudian mengayunkan pedang ditangannya ke leher petani yang hari itu salah memilih "takdir". Kepala melayang, tubuh menggelimpang. "Ah benar, tajam juga pedang kau ini", kata teman samurai itu sambil berdecak kagum. Merekapun berlalu sambil memandangi pedang berkilatan dalam basuhan darah.
Dalam al-Qur'an, dinukilkan perbincangan Nabi Ibrahim dan Raja Babilonia, Namrudz,
: "Aku juga (seperti Tuhan) menghidupkan dan
mematikan" (Q. 2 : 258). Lalu Nambrudz memanggil dua orang, seorang ia
suruh bunuh dan seorang lagi dibiarkan hidup. Namrudz ingin mengatakan
kepada Nabi Ibrahim : "Aku bisa membunuh dan membiarkan orang hidup lho
!". Samurai dan Namrudz tersebut mungkin tidak pernah mengenal ayat yang
sore tadi dibaca oleh anak saya. Tapi cerita begitu mudahnya orang
membunuh terus menjalar dan menjulur hingga abad yang dikatakan "modern"
danberperikemanusiaan ini. Bahkan jauh mengerikan. Pol Pot, misalnya,
meninggalkan catatan horor kemanusiaan dalam sejarah ummat manusia. Ia
yang tamatan Sorbonne University Perancis ini membantai lebih kurang dua
juta manusia Kambodja. Khmer Merah jadi perpanjangan tangannya. Sekian
juta terbunuh pada masa Joseph Stalin dengan Gullag-nya. Sejumlah orang
Yahudi mati di kamp-kamp konsentrasi Autswitzh Adolf Hitler. Sekian juta
orang lagi raib di kamar-kamar konsentrasi KGB era Uni Sovyet. Berapa
orang yang diculik dan dibunuh karena perbedaan ideologis, hampir di
berbagai belahan dunia. Berapa yang di dor begitu saja karena faktor
politik-ideologis serta ekonomi ? "Barang siapa yang membunuh satu jiwa,
bukan lantaran suatu jiwa atau pengrusakan di muka bumi, seakan
membunuh manusia kesemuanya; dan barangsiapa yang menghidupinya seakan
menghidupi manusia kesemuanya" (Q. 5: 32) ". Nampaknya, konsep tentang
nyawa bagi para pembunuh, baik sakla besar ataupun kecil, tidaklah sama
dengan al-Qur'an.
Referensi : al-Qur'an
Sumber foto : balita.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar