Kala awal kuliah tahun 1993, nama Pram bagi saya adalah ...sesuatu
yang "asing". Sampai suatu masa kala Tetralogi nya yang terkenal itu
saya baca (yang saya beli dengan gaji satu bulan dari profesi mulia saya
ketika mahasiswa .... gharin masjid) hingga puluhan kali. Sebuah
mahakarya novel sejarah (Tetralogi : Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa,
Jejak Langkah dan Rumah Kaca), yang hingga hari ini sulit saya cari
tandingannya, setidaknya bagi saya. Panggil Saya Kartini, Arus Balik dan Gadis
Pantai serta Arok Dedes, adalah empat buah novel karya Pram yang memberikan pada saya kontribusi untuk memahami
sebuah "ketidaknyambungan" beberapa peristiwa sejarah. Mungkin bahan bacaan
saya terlampau miskin. Tapi entahlah, saya coba membaca beberapa karya
sastrawan lainnya, Mochtar Lubis dengan Harimau-Harimau-nya itu dan yang
lainnya, namun - sekali lagi, subjektifitas saya mengatakan, Pram
memang aduhai. Sehingga tidaklah mengherankan apabila dalam diskusi via
facebook dengan beberapa kawan yang concern dengan sejarah dan susastra,
Pramoedya Ananta Toer mendapat tempat yang begitu hangat.
Membicarakannya, seperti membicarakan Ayatullah Khomeini dan Che
Guevara, atau Soekarno dan Ho Chi Minh. Membincangkan Pram seperti
menimbulkan "kegairahan puitis" kala menelaah karya-karya Raja Ali Haji
atau Amir Hamzah, bisa jadi seindah Chairil Anwar. Selalu aktual.
Pukul 08.55 tanggal 30 April 2006 di usianya yang ke-81 tahun, ia
menemui ajalnya. Konon, dalam sakitnya, bibir Pram selalu diselipkan
"satu batang rokok".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar