Selasa, 17 April 2012

Antara Politisi Tempo Doeloe dengan Ruhut Sitompul dan Soetan Bathoegana

Oleh : Muhammad Ilham

Beruntung saya dalam minggu ini. Berjumpa dengan Prof. Taufik Abdullah, sejarawan "gadang cimeeh" yang terkenal itu. "Gadang cimeeh" ini juga diakui oleh Profesor yang gempal dengan rambut memutih tersebut. Bahkan menurut sahibul hikayat (saya tak menanggung dosa bila ini salah), dalam sebuah Seminar Internasional, seorang moderator menyodorkan lembaran biodata untuk diisi Profesor Taufik Abdullah guna diperkenalkan nantinya ke audiens, dengan gayanya yang khas beliau berkata, "cari saja di ensiklopedi !! ". Dan kepercayaan diri serta cimeeh tersebutlah, maka diskusi pada kesempatan ini menjadi hangat.  Dua jam berdiskusi (tepatnya : mendengarkan dengan baik), banyak hal-hal mencerahkan yang bisa diambil. Saya tak ingin bercerita panjang mengenai jalannya diskusi tersebut yang umumnya banyak berkaitan dengan "kerinduan" untuk memunculkan kembali paradigma multidisipliner dalam melihat fenomena sosial-budaya. Sebagaimana halnya "host fenomenal" Karni Ilyas yang selalu menutup segmen Talk Show-nya dengan kutipan-kutipan inspiratif dan menggetarkan, maka dalam diskusi ini, saya juga menunggu ungkapan-ungkapan Taufik Abdullah yang terkadang terkesan puitis, sarkastis dan generalitatif - suatu kekuatan dan kelebihannya bila kita membaca tulisan-tulisan beliau.

Diantara banyak ungkapan-ungkapannya itu, ada satu dua kalimat yang bagi saya bisa menjawab banyak pertanyaan hari ini. "Politisi masa dulu, adalah pemikir dan penulis. Sebutlah siapa diantaranya, Hatta, Soekano, Syahrir, Tan Malaka ataupun Agus Salim", kata Taufik Abdullah. "Siapa politisi masa lalu yang kalian benci", tantang Taufik Abdullah kepada kami, "sebutlah !" (untuk yang ini, saya pribadi tidak mau menjawab, karena ketika menggunakan istilah membenci seseorang, maka saya menjadi insan yang malang, tidak mampu menyerap nilai-nilai inspiratif dari seorang tokoh karena tereduksi oleh kebencian subjektif). "Katakanlah (Taufik Abdullah menggunakan istilah "katakanlah" yang cenderung objektif), banyak yang membenci DN. Aidit ataupun tokoh-tokoh PKI seperti Nyoto ataupun Sudisman. Walaupun mereka dibenci, mereka tetap politisi pemikir dan penulis. Inilah yang membedakan mereka dengan, katakanlah (sekali lagi "katakanlah"), dengan politisi masa kini seperti  Ruhut Sitompul ataupun Soetan Bathoegana". Taufik Abdullah ingin memberikan "pesan" bahwa aktifis politik tempo doeloe terdiri daripada figur-figur cendekiawan yang secara intelektual sangat artikulatif. Pada umumnya, mereka adalah aktifis yang sekaligus juga pemikir politik. Dalam diri mereka berpadu intelektualisme dan aktifisme secara integral. Karena itu tak salah bila curiculum vitae mereka dikenang oleh publik hingga sekarang "siapa" mereka dan "bagaimana" dialektika antara gagasan dan sepak terjang kepolitikannya. Sesuatu yang secara umum (sekali lagi, secara umum) tidak terlihat pada politisi masa sekarang.

Herbert Feith & Lance Castel (ed.) dalam buku mereka yang terkenal, Indonesian Political Thinking 1945-1965 (sudah diterjemahkan) melihat bahwa kehidupan politisi tempo doeloe mencerminkan pemikiran-pemikiran yang berasal dari pengamatan yang tajam dan penghayatan yang dalam tentang masyarakat mereka. Mereka, bukan hanya politisi tulen, tapi rauzan fikr - meminjam istilah sosiolog Iran Ali Shariati. Disitulah letak kekuatan mereka sehingga berhasil melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan original. Bung Karno, misalnya, dalam sejarah tidak hanya dikenal sebagai orator politik jempolan dan menggetarkan semata. Ia juga dikenal sebagai sosok cendekiawan yang memiliki pemikiran melalui karya-karya yang profokatif dan menggelora : Indonesia Menggugat dan Di Bawah Bendera Revolusi adalah dua contoh dari begitu banyak karya intelektual Soekarno. Demikian juga dengan Mohammad Hatta melalui karya reflektifnya : Indonesia Merdeka dan Kumpulan Karangan yang terdiri dari beberapa jilid. Dan jangan tanya tentang Tan Malaka. Masterpiece-nya Madilog - disamping beberapa karyanya yang lain seperti Pacar Merah Indonesia, Dari Penjara ke penjara, Aslia dan lain-lain - memperlihatkan kualitas intelektual sekaligus aktifitas politik Ibrahim Tan Malaka ini. Aktifis politik Islam seperti Mohammad Natsir juga dikenal dengan karya-karya visioner-nya seperti dua jilid Capita Selecta, Islam sebagai Dasar Negara, Islam sebagai Ideologie, Some Observations Concerning the Role of Islam in National and International Affairs dan "seabrek" karya visioner-nya yang lain. Syafruddin Prawiranegara yang menulis Sistem Ekonomi Islam, HOS. Tjokroaminoto menulis Islam dan Sosialisme, Zainal Abidin Ahmad dengan Membentuk Negara Islam serta SH. Amin yang menulis Indonesia di Bawah Demokrasi Terpimpin. Singkatnya, sebutkanlah nama-nama aktifis politik tempo doeloe, hampir semuanya meninggalkan jejak politik dan intelektual yang mengagumkan. Publik mengenal mereka bukan semata-mata karena sepak terjang politiknya, akan tetapi juga melalui jejak-jejak dinamis gagasan dan pemikirannya, bahkan literal. Sesuatu yang (secara umum) tidak kita temui pada politisi masa sekarang, apalagi pada si Poltak dan si Bathoegana.

Sumber foto (Prof. Taufik Abdullah) : vivanews.com

2 komentar:

Desembri mengatakan...

Setidaknya hari ini kita masih punya Prof DR H M Amien Rais MA

yun mengatakan...

sayang ya, penulis blog ini belum fasih berbahasa tulis yang rapih. agak mengganggu juga, sih. kalau soal bobot nggak perlu diulas.