Selasa, 08 November 2011

Di Footnote Sejarah : Syafruddin Prawiranegara dan Amir Syarifuddin

Oleh : Muhammad Ilham

(Artikel ini telah dipublish di rubrik Opini Harian Padang Ekspres/11 Nopember 2011)

Jelang tanggal 10 Nopember 2011, tanggal "keramat" dimana setiap tahun, bertambahlah jumlah pahlawan bangsa. Tahun ini, Indonesia secara resmi memiliki tujuh pahlawan baru. Mereka adalah almarhun Mr. Syafruddin Prawiranegara, almarhum DR. KH. Idam Chalid, almarhum Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal Buya Hamka. Beberapa tahun lalu, "sampai juga Muhammad Natsir jadi pahlawan", kata teman saya suatu waktu. Ia tampak letih - untuk mengatakan geram - mengapa "manusia besar" seumpama Natsir belum juga menjadi pahlawan Indonesia. Saya tak ambil pusing, mau diakui atau tidak, karena pahlawan itu bagi saya ada dua jenis, Pahlawan dan "Pahlawan" (tanda kutip). Tadi pagi, teman saya-pun gembira-riang, karena "dua jagoannya", Syafruddin Prawiranegara dan Buya Hamka masuk kelompok para pahlawan pula. (Sekali lagi), saya juga tak ambil pusing, karena mereka bertiga sudah menjadi pahlawan di mata saya. Kehidupan mereka penuh cahaya inspiratif yang membuat mata saya berbinar cerah membaca penggalan-penggalan hidupnya. Sesuatu yang hampir - untuk mengatakan tidak ada - figur seperti mereka. Terkhusus Syafruddin Prawiranegara yang boleh dikatakan "terlambat" diakui negara sebagai Pahlawan (bukan dalam tanda kutip), apa yang dilakukan pemerintahan SBY tahun ini, pada dasarnya sedang sedang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini muncul : "apakah pahlawan dari kalangan sipil harus melalui fit and propertest yang teramat sulit, dibandingkan kalangan militer ?". Padahal jasanya, sudah diakui secara akademik, walau bukan secara politik. Karena pengakuan politik, pada dasarnya lebih cenderung menyangkut yang namanya "selera". Selera itu bermacam tipe, ada yang rasa asin, manis, pahit bahkan ada koloborasi semua rasa, nano-nano istilahnya. Dan, Syafruddin Prawiranegara, sebagaimana halnya Muhammad Natsir, sudah diakui secara akademik,dengan pendekatan dan teori apapun jua (kecuali pendekatan politik).

"Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Presiden Indonesia yang terlupakan", demikian kata pembuka dari Sandra Malakiano. Mantan presenter Metro TV cantik dengan balutan jilbab yang juga istri pengamat politik Eep Saifullah Fatah ini menjadi pembawa acara peringatan 1 abad Syafruddin Prawiranegara (1911-2011) di Gedung Chandra Bank Indonesia (Kompas/29-3-2011). Tidakkah cukup sebagai "penyelamat Republik" membuat Syafruddin Prawiranegara yang (konon) telah diajukan hingga 2 kali kepada pemerintah untuk dijadikan sebagai pahlawan ? Tidakkah cukup, misalnya, track life beliau yang "luar biasa" sebagai anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas mempersiapkan garis besar haluan negara RI sebelum merdeka. Sebagai Menteri Keuangan pertama RI (1946), dan Menteri Kemakmuran (1947). Setelah PDRI yang diketuainya menyerahkan mandat, ia sempat diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri pada tahun 1949. Ia kembali diangkat menjadi Menkeu di kabinet Hatta pada Maret 1950 dan menelurkan kebijakan yang cukup terkenal saat itu, yakni pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas (Gunting Sjafruddin). Ia-lah juga Gubernur Bank Indonesia yang pertama tahun 1951. Tapi karena pilihan ideologis - bisa juga kita katakan nilai-nilai prinsipil politis yang dipegangnya - Syafruddin kemudian memilih bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang juga berbasis di Sumatera, sebuah gerakan untuk menentang kebijakan presiden Soekarno. Gara-gara sikapnya yang berlawanan tersebut, ia sempat dipenjarakan oleh Soekarno tanpa proses pengadilan. Dan sikap "subversif"nya ini, jasa-jasa inspiratif Syafruddin Prawiranegara seakan-akan hilang. Kehidupannya seakan-akan dipenggal pada PRRI saja (walau masalah PRRI bisa diperdebatkan logika politiknya). Akumulasi kehidupan beliau yang mencerahkan, dedikatif dan kontributif tersebut dianggap hilang karena penggalan pendek waktu yang bernama PRRI - pemberontakan-subversif.

Mayoritas Pahlawan berasal dari kalangan militer. Taman Makam Pahlawan Kalibata, misalnya, "dihuni" oleh lebih kurang sekitar 7.000 orang tokoh. Enam ribu diantaranya, lebih kurang, berasal dari kalangan militer. Ini-pun didominasi Angkatan Darat. Dari kalangan sipil hanya berjumlah 1/7-nya. Di antara 1/7 dari kalangan sipil ini, hanya 23 orang yang merupakan Pahlawan Nasional, diantaranya Haji Agus Salim. Di Taman Pahlawan Kalibata ini pula, bersemayam pahlawan "tercepat", yaitu Jenderal Basuki Rahmad (yang kala saya belajar PSPB waktu SD dahulu dianggap sebagai orang yang "menggertak" Sukarno mengeluarkan Supersemar bersama-sama dengan Jenderal Amirmachmud dan Jenderal M. Yusuf). Jenderal Basuki Rahmad dinyatakan Soeharto sebagai pahlawan pada hari kematiannya. Pada era Demokrasi Terpimpin, 36 orang dari 49 pahlawan berasal dari ernis Jawa. Pada masa Orde Baru, dua pahlawan yang "terdorong" diberi label pahlawan oleh rezim Soekarno yaitu Alimin dan Tan Malaka, justru "dicekal". Nama mereka berdua yang dianggap tokoh "kiri" ini tidak ada dalam Buku Riwayat Hidup Pahlawan Nasional yang dipergunakan di sekolah-sekolah. Dan biasanya, para pahlawan yang sering terlihat gagah dalam buku ini adalah pahlawan-pahlawan dengan baju-baju militer (khususnya Angkatan Darat).

Mengapa banyak militer yang menjadi pahlawan ? Mengapa yang banyak "menghuni" Taman Makam Pahlawan selalu didominasi kalangan militer ? Jawabannya terdapat pada defenisi pahlawan itu sendiri sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 1964. Pahlawan, menurut Peraturan Presiden ini, adalah : (a). warga Negara RI yang gugur dalam perjuangan - yang bermutu - dalam membela bangsa dan negara. (b). Warga Negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara yang dalam riwayat hidupnya tidak pernah ternoda oleh suatu perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannya. Kriteria pertama, (pasti) mengacu pada militer, yang kedua pada kalangan sipil. Peluang militer jadi pahlawan lebih banyak seperti yang dikategorisasikan oleh defenisi diatas. Sedangkan bagi kalangan sipil, masih diganjal dengan ketentuan "tidak ternoda", yang ditujukan pada tokoh-tokoh yang terlibat dalam beberapa pemberontakan seumpama PRRI/Permesta bdan lain-lain. Jadi jangan heran, bila Muhammad Natsir yang "curiculum vitae"nya melebihi cum untuk menjadi seorang pahlawan, justru "terseok-seok" mencapai gelar pahlawan tersebut. Itu-pun baru diperolehnya setelah pernah gagal diusulkan oleh banyak komunitas masyarakat. Bandingkan dengan Jenderal Basuki Rahmad diatas, yang tak sampai satu hari memperoleh gelar pahlawan setelah ia meninggal, yang hanya dikenang sebagai "bodyguard" Soeharto dalam mengusahakan Supersemar yang debatable hingga hari ini tersebut. Bandingkan dengan Syafruddin Prawiranegara, dianggap terlambat diakui sebagai pahlawan. Padahal PDRI yang mengambil lokasi di "somewhere in the jungle" di daerah Sumatera Barat tersebut dianggap sebagai "penyelemat Republik" sehingga RI tetap eksis walaupun Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta. Syafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI dan kabinetnya terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun istilah yang digunakan kala itu adalah Ketua, tapi kedudukan dan fungsinya sama dengan Presiden. Karena ini pulalah, sejarawan Asvi warman Adam dan beberapa sejarawan lainnya menganggap bahwa Susilo Bambang Yudhoyono bukan Presiden RI yang ke-6, tapi yang ke-8 (Soekarno, Syafruddin Prawiranegara, Mr. Asaat, Soeharto, Bj. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri dan SBY). Persyaratan untuk memperoleh "kapling" di Taman Makam Pahlawan, selain dari Pahlawan Nasional, adalah orang yang pernah mendapatkan tanda jasa seperti Bintang Republik Indonesia, Bintang Mahaputra, Bintang Gerilya, Bintang Utama, Bintang Kartika Eka Paksi (Angkatan Darat), Bintang Swa Bhuana (Angkatan Udara), Bintang Jalasena Utama (Angkatan Laut) dan Bintang Bhayangkara (Polisi). Selain faktor politik, tersebab inilah, daftar "penghuni" Taman Makam Pahlawan didominasi militer.

(Hanya) Footnote Sejarah :

Hari ini saya menjadi ingat dengan Amir Syarifuddin. Sosok yang kuat mempertahankan prinsip-ideologinya ini hanya menjadi "footnote sejarah". Bila melihat album, mata kita akan terfokus lebih dulu kepada tokoh yang kita kenal baik. Setiap provinsi merasa mesti memiliki pahlawan. Tidak cukup daerah tingkat I, kabupaten pun berlomba mengusulkan pahlawan mereka. Ini terutama terjadi pada masa akhir Orde Baru. Setelah era reformasi, perlombaan ini menyurut. Pahlawan yang berjumlah seratusan orang itu seakan memiliki kelas. Ada yang sering disebut, ada pula yang tak pernah disinggung dalam pidato ataupun pelajaran sekolah. Amir Syarifuddin, termasuk kategori yang tak disebut, mungkin sudah dilupakan. Kalau di kota Padang, kala kita bertanya secara acak pada mahasiswa (terutama IAIN), "kenalkah kalian dengan Amir Syarifuddin ?", maka mereka akan menjawab, "kenal, mantan Rektor IAIN Padang dan Ketua MUI Sumbar !". Kebetulan IAIN Padang dan MUI Sumbar pernah dipimpin "sosok genius" bernama Prof. Amir Syarifuddin. Tapi bukan Amir Syarifuddin yang rektor atau Ketua MUI ini. Atau paling banter, bagi mahasiswa yang (sedikit) melek politik akan menjawab: Amir Syarifuddin Menteri Hukum dan HAM hasil reshuffle kabinet kemaren. Eh ... salah, itu Amir Syamsuddin. Amir Syarifuddin yang "kita ceritakan" adalah ia yang "entah berada dimana" dalam belantara sejarah anak bangsa (baca : sejarah formal).

Amir berasal dari keluarga Batak Islam bercampur Kristen. Kakeknya, Ephraim, adalah seorang jaksa beragama Kristen. Ayahnya, Soripada, juga menjadi jaksa dan beralih ke agama Islam ketika menikah dengan seorang gadis Batak muslim. Amir Sjarifuddin Harahap merupakan Perdana Menteri RI yang dieksekusi bangsanya sendiri tanpa proses hukum. Pada 19 Desember 1948 tengah malam di Desa Ngaliyan, Solo, sebanyak 20 orang penduduk desa disuruh tentara menggali lubang sedalam 1,7 meter. Amir - berpiyama putih-biru, bercelana panjang warna hijau dan membawa buntelan sarung - bertanya kepada kapten yang ada di situ, "Saya ini mau diapakan?" Amir Sjarifuddin bersama 10 orang lainnya ditembak satu per satu. Konon, menjelang ia dieksekusi, Amir Syarifuddin masih sempat untuk terus membaca buku. Tanggalnya masih dipersoalkan apakah 27 Mei atau 27 April, tapi yang jelas ia lahir seabad silam di Medan. Amir Sjarifuddin (dan Sjahrir) adalah tokoh yang berjasa mempertahankan eksistensi negara Indonesia pada awal kemerdekaan. Pada 1945 sampai Januari 1948 keduanya menjadi perdana menteri. Mereka diangkat untuk menangkis tuduhan Belanda bahwa pemerintah Indonesia adalah boneka Tokyo karena Soekarno-Hatta berkolaborasi dengan "saudara tua dari Negeri Matahari Terbit". Sjahrir dan Amir berjuang di bawah tanah semasa pendudukan Jepang. Ir Setiadi Reksoprojo, 86 tahun, Menteri Penerangan dalam kabinet Amir Sjarifuddin pada 1947, memberikan kesaksian 13 halaman tulisan tangan kepada saya yang menjelaskan jasa Amir dalam mengefektifkan angkatan bersenjata Indonesia. Sejak November 1945 sampai Januari 1948, Amir Sjarifuddin berturut-turut menjadi Menteri Keamanan Rakyat/Menteri Pertahanan. Saat itu Indonesia berhasil membantu pemulangan ribuan pasukan Jepang dan internir Belanda.

Pada awal masa kemerdekaan, unsur tentara terdiri dari berbagai kelompok terlatih (eks didikan Belanda/Jepang) dan laskar. Dalam masa transisi, menurut Amir diperlukan Tentara Masyarakat. Tentara itu juga butuh pendidikan politik. Pandangan ini bertentangan dengan Hatta, yang melakukan rasionalisasi tentara dari 400 ribu menjadi 60 ribu. Perbedaan kebijakan itu antara lain yang di lapangan memicu timbulnya Peristiwa Madiun 1948, tempat Amir menjadi salah seorang korbannya. Jenjang karier Amir menarik karena berkebalikan dengan yang sering terjadi sekarang. Ia ditahan Jepang dan masih mendekam di penjara Malang sampai 1 Oktober 1945 sebelum dibebaskan dan diberangkatkan ke Jakarta untuk dilantik menjadi Menteri Penerangan. Amir sempat menempuh pendidikan sekolah menengah di Negeri Belanda mengikuti jejak saudara sepupunya, T.S.G Mulia. Pada 1931 ia aktif dalam Partai Indonesia (Partindo), yang didirikan Bung Karno. Kemudian ketika tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir diasingkan Belanda dari Pulau Jawa, Amir menggagas Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia). Organisasi ini cukup maju dalam mendefinisikan kewarganegaraan berdasarkan kediaman (tempat lahir), bukan ras. Rekan Amir dalam organisasi ini adalah Dr A.K. Gani, yang tahun ini diusulkan sebagai pahlawan nasional. Pada 1938-1941 Amir menjadi redaktur majalah sastra Poedjangga Baroe. Selanjutnya, Amir juga aktif pada GAPI (Gabungan Politik Indonesia) bersama M.H. Thamrin.

Amir Sjarifuddin adalah seorang pemimpin yang memiliki prinsip seperti dikisahkan Fransisca Fanggidae (82 tahun, kini eksil di Belanda), yang ikut dalam pelarian pada 1948. Di suatu desa, anak buahnya mengambil buah kelapa milik warga, Amir mengeluar kan tembakan peringatan dan memarahi mereka. "Tentara harus melayani rakyat, bukan mengambil kepunyaan rakyat," ujarnya. Dari empat tokoh nasional yang menduduki jabatan tertinggi (presiden, wakil presiden, dan perdana menteri) yang pertama di Indonesia, tiga orang (Soekarno, Hatta, dan Sjahrir) menjadi pahlawan nasional. Sedangkan yang satu lagi, jangankan diberi bintang jasa, biografinya pun tidak boleh beredar semasa Orde Baru. Pada 1984 penerbit Sinar Harapan sempat mencetak tesis Frederick Djara Wellem di Sekolah Tinggi Theologi Jakarta berjudul "Amir Sjarifuddin, Pergumulan Imannya dalam Perjuangan Kemerdekaan". Namun, buku tersebut terpaksa dimusnahkan karena Jaksa Agung tidak berkenan. Dalam sejarah Indonesia, Amir Sjarifuddin tak hanya dibuang dan dilupakan, tapi juga tidak diakui. Kalaupun ada dalam perbincangan, ia berada di footnote !!

Referensi : Asvi Warman Adam (2010). Foto : www.google.picture.com/cintaindonesia/html

1 komentar:

nbasis mengatakan...

milisi & amunisi=pahlawan. ha ha. msh begitulah cara pandangnya.