Sabtu, 19 November 2011

Harapan dan Dunia Politik

Oleh : Muhammad Ilham

Bolehkah kita berharap ? Tentu tak salah, bahkan dianjurkan. Bukankah Imam Al-Ghazali justru menempatkan "cemas" dan "harap" dalam nukilan-nukilan teosofinya berkenaan dengan ibadah. Demikian juga, misalnya penyair klasik Cina Lut Szun pernah mengatakan bahwa : Harapan itu ibarat jalan di dalam rimba/Pada awalnya tak ada//tapi karena sering dilalui/Akhirnya//jalan itu ada dengan sendirinya/.

Demikian juga harapan kita tentang dunia politik yang diisi para politisi (itu sudah pasti, karena tidak mungkin diisi oleh seniman !). Dunia politik dan politisi, bagaimanapun juga, adalah sebuah keniscayaan demokrasi. Namun melihat tingkah polah para politisi belakangan ini, setidaknya sebagaimana yang dipublish berbagai media massa, korupsi dan hedonisme yang berkembang pada badan-tubuh-jiwa mereka, membuat publik justru menganggap dunia politik dan politisi sebagai public enemy, untuk tidak mengatakan benalu. Mungkin publik over generalize, namun publik juga tidak bisa disalahkan. Ekspektasi publik terhadap dunia politik dan para politisi ini begitu besar. Karena itu tidaklah salah bila hedonisme yang menjangkiti para politisi tersebut membuat publik merasa dibodohi dan dipecundangi. Kasihan memang orang yang masuk dunia politik. Tak semua politisi itu yang busuk, pasti ada yang berhati bening dan berjiwa waras. Namun karena dunia politik adalah dunia tawar menawar, maka mau tidak mau, kepentingan publik harus dikesampingkan ketika berbenturan dengan kepentingan kelompok-partai. Banyak politisi berhati bening tidak sanggupmenolak "pakem" ini. Karena bagaimanapun juga, ketika seseorang ingin terjun di dunia politik, maka ia harus siap bergelut dengan dunia kebusukan. Kalau berhasil, dia akan menjadi politisi yang disegani kawan maupun lawan. Politik itu busuk, kata "rakyat bawah-pinggiran". Iya memang, bila kita dasarkan pada realita yang terlihat. Karena itu sebaiknya dipisahkan saja antara agama dan politik seperti di Barat. Jelas, terukur dan gentle. Kalau tidak, kasihan agama yang selalu di"tunggangi" oleh politisi-politik.

Politisi seharusnya tidak menjadi bagian utama dalam membiarkan masyarakat mempraktekkan pola berpolitik yang merusak, seperti money politic. Praktek jual beli suara hanya akan menjauhkan cita-cita indonesia menjadi lebih baik. Seorang calon yang menangnya dengan cara membayar, pasti yang dipikirkan pertama kali bagaimana mengembalikan modalnya, bukan bagaimana memperbaiki nasib rakyatnya. Politisi yang ingin memperbaiki negeri ini dengan setulus hati, agar tak mengajari rakyat dengan politik transaksional. Karena itu pula, Majelis Ulama Indonesia (pernah tahun 2009, walau tak jadi) yang berencana mengeluarkan fatwa haram Golput, idealnya justru mengeluarkan fatwa super "haram" bagi masyarakat untuk memilih politisi bermasalah dan mempraktekkan politik transaksional. Saya rasa, itu jauh lebih mendidik dan memiliki pengaruh besar dalam meniti harapan Indonesia yang lebih baik. Bagaimanapun juga, harapan ini harus terus kita pelihara !!

Catatan Tambahan :

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas menilai menteri yang berasal dari partai politik cenderung memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan partai. Karena itu sebaiknya jabatan menteri tidak diisi orang dari partai. "Kementerian yang menterinya orang partai akan menjadikan kementeriannya untuk pundi-pundi anggaran," kata dia dalam kuliah umum pemberantasan korupsi di kampus Universitas Indonesia, Depok, Jumat 18 November 2011.
Menurut Busyro, jika ingin serius membersihkan Indonesia dari korupsi, jabatan menteri harus diisi oleh profesional dari kampus, lembaga swadaya masyarakat, dan profesional lain. Sebab, kata dia, menteri dari nonpartai bisa ditelusuri latar belakangnya sejak sekolah, kuliah, sampai ia berada di jalur profesional. Perkembangan korupsi saat ini, kata Busyro, telah merambah seluruh jajaran birokrat. Pusarannya sudah menggerogoti hakim, jaksa, kepala lembaga, kementerian, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah. "Sumber korupsi itu lembaga negara, lembaga pemerintah, swasta ketika birokrasi tidak transparan." Transparansi, kata dia, merupakan kunci satu-satunya dalam memberantas korupsi. Birokrat dan politikus harus mau transparan tidak hanya dalam jabatannya, tapi juga dalam kehidupan pribadi. Orang yang punya kedudukan dalam kepemimpinan jabatan publik juga harus mau dikritik. Komitmen transparansi pun harus tecermin dari gaya dan bahasa verbal keluarga terhadap para pejabat. "Misalnya keluarga harus bisa mengkritik kalau ada anggota keluarganya yang jadi pejabat dapat barang mewah mendadak."

Ide Busyro ini mendapat dukungan Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar. Menurut Zainal, selain hanya memperkaya partai, menteri dari partai politik tidak cakap menjalankan amanah sebagai pemimpin di kementerian. Jadi, "Jabatan menteri harus diisi oleh orang yang lebih paham," ujar dia kemarin.
Zainal mengungkapkan praktek memperkaya partai politik oleh menteri ini sudah lama terjadi. Ini bukanlah hal baru di mata masyarakat. "Sudah lama dan mengakar di kementerian." Pada bagian lain Busyro menegaskan agar terbentuk pemerintahan yang bersih, perlu ada distribusi kewenangan secara tegas. Hal ini didukung oleh komitmen transparansi dan keterbukaan informasi dalam pemerintahan. Setelah memberikan kuliah umum, Busyro menyatakan Komisi akan segera mendalami keterlibatan sejumlah pihak yang terlibat memuluskan pembangunan Stadion Hambalang. Menurut dia, ini termasuk menyelidiki keterlibatan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Dari hasil penyelidikan, menurut Busyro, tidak tertutup kemungkinan akan dilakukan pemanggilan terhadap Anas. "Tergantung pada hasil penyelidikan. Kalau Anas ataupun yang lain harus diperiksa, akan kami tangani," ujar Busyro. Bekas Bendahara Umum Partai Demokrat yang sekarang menjadi tersangka korupsi pembangunan Wisma Atlet SEA Games Jakabaring, Palembang, Muhammad Nazaruddin, menyebutkan dalam proyek Stadion Hambalang di Bogor senilai Rp 1,1 triliun itu beberapa petinggi Demokrat terlibat. Namun dalam berbagai kesempatan Anas membantah tudingan Nazaruddin itu.


Sumber Catatan Tambahan : tempointeraktif.com
Foto : www.cartoon.com

Tidak ada komentar: