Artikel ini dipublish dalam rubrik Kisah Harian Pagi Padang Ekspres/Minggu 20-11-2011
Tidak Pernah ia bayangkan sebelumnya, kehidupannya seperti sekarang. Dulunya Muhammad Ilham, 37, dosen IAIN Padang yang dikenal sangat produktif menulis tersebut, berasal dari keluarga yang memiliki banyak kekurangan. Demi mambangkik batang tarandam, berbagai profesi ia lalui. Mulai dari menjajakan kue talam dari rumah ke rumah, sampai belasan tahun menjadi garin mesjid. Kini ia telah berhasil menjadi dosen dan mengangkat derajat keluarganya. Ingin tahu kisahnya? Sebagai anak sulung, Ilham menyadari kekurangan keluarganya. Sejak kelas I SD sampai kelas III SMP, Ilham menjajakan kue talam di perkampungan tempat ia tinggal. Setiap pulang sekolah, anak pertama dari lima bersaudara ini berkeliling kampung dengan meletakkan tempat kue talam di atas kepalanya. Sepanjang jalan ia tak berhenti meneriakkan kue talam sebagai pengimbau warga yang ingin membeli jualannya. Setelah menamatkan pendidikan di SMP, Ilham melanjutkan ke SMA Simpang Empat Pasaman. Setahun sekolah di sana, ia terpaksa hijrah ke Payakumbuh melanjutkan sekolah, karena ayahnya yang berprofesi sebagai tukang jahit dan ibunya yang berjualan ketupat, juga harus me nanggung biaya sekolah adik-adiknya. Di Payakumbuh, Ilham bekerja di tempat famili orangtuanya sambil sekolah. “Saya bekerja di Percetakan Eleonora, Pasakabau, Payakumbuh sambil bersekolah di SMA 3 Bukiksitabuah. Kini namanya SMA 2. Setelah tamat di sana, saya ikut tes SPMB. Saya lulus di Universitas Sumatera Utara (USU) jurusan Farmasi, karena jurusan saya IPA di SMA. Tapi mau bagaimana lagi, biayanya sangat mahal bagi saya waktu itu. Kesempatan itu sangat terpaksa saya lepaskan. Tapi keinginan berkuliah sangat kuat. Saya kemudian mencoba tes masuk di IAIN Imam Bonjol jurusan Sejarah, dan alhamdulillah lulus. Untuk mengatasi dana kuliah, saya rela bekerja apa saja,” kata anak pasangan Fadli Almatrizi dan Nurliam ini.
Sambil kuliah, Ilham kemudian menjadi garin di Masjid Al Mukarramah, Jati, Padang. Tahun 1993, ia kembali mengikuti SPMB. Kali ini, Ilham mengambil jurusan Sosiologi di Unand. Ia pun lulus. Tanpa meninggalkan kuliah di IAIN, Ilham kemudian menjalani dua kuliah. Kebetulan saat itu salah seorang adiknya juga menyambung pendidikan di IAIN, dan ia pun membiayai perkuliahan adiknya itu. Bukan main sibuknya Ilham dalam berjuang ketika itu. Selain profesi garin, ia juga membuka les beberapa mata pelajaran, seperti Matematika, Fisika hingga baca Al-Quran di luar aktifitasnya menjadi garin. Walau demikian, Ilham tetap aktif di kegiatan ekstrakurikuler kampus. Ia menjadi Ketua BEM di Fisip Unand, dan menjadi ketua senat di Fakultas Adab. “Ketika itu ayah terkena stroke, saya sempat ling-lung. Sanak famili sudah meminta saya agar tinggal di kampung saja. Seharusnya, dengan kondisi yang demikian, sebagai anak jantan yang paling tua, saya memang harus tinggal di rumah, kerja melaut, mengayomi adik-adik yang hampir semuanya perempuan, dan membenahi rumah yang sudah hampir roboh,” ucapnya. Ilham mengatakan, budaya di tempat tinggalnya, jika orangtua laki-laki tak bisa mencari nafkah, maka anak sulung laki-laki harus pulang kampung untuk menjadi kepala keluarga. “Tekad saya untuk membangkik batang tarandam tetap kuat. Di kampung, saya sempat menjadi cemoohan warga, dianggap anak yang tidak tahu diuntung. Saya berjanji kepada keluarga dan adik-adik saya yang di rumah, saya minta beberapa waktu untuk menyelesaikan kuliah dulu,” papar pria kelahiran 11 Juni 1974 ini.
Ilham memburu mimpinya. Tahun 1999, di usia 23 tahun, ia kemudian mendapat kesempatan menjadi dosen di Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol. Dari situ, ia mulai membenahi keluarganya di kampung halaman. Namun ia tidak meninggalkan pekerjaannya sebagai garin masjid dan guru les. Hingga 10 tahun profesi garin ia tekuni. Ia pun berhasil menjadikan adik-adiknya sarjana. “Saya baru berhenti menjadi garin dua bulan sebelum saya menikah. Saya menikah tergolong sedikit terlambat, karena baru menikah di usia 29 tahun. Karena saya harus membenahi keluarga dulu di kampung. Ketika itu bisa dikatakan saya menikah tanpa modal apa-apa. Kami mengontrak rumah dan hidup seadanya,” ungkap suami Imla Wifra ini. (Kepala PAUD Unggulan Citra Almadina Padang). Menjadi seorang tenaga pengajar di perguruan tinggi sebenarnya bukanlah menjadi cita-cita Muhammad Ilham, 37, awalnya. Namun ia merasa beruntung dan sangat bersukur, karena perjalanan dan perjuangan hidupnya mengantarkannya ke arah yang lebih baik. Rintangan dan pengalaman pahit yang pernah dilaluinya, sekarang terasa sangat manis baginya. Walau hidup untuk dosen ia masih tergolong biasa dan sederhana, namun ia merasa puas dengan perjuangan hidupnya.
Ia bercerita kedatangan Gubernur Sumbar semasa jabatan Azwar Anas pada tahun 1982. Waktu itu, Airbangis masih bisa dikatakan terisolir, kehadiran gubernur bagaikan mukjizat bagi masyarakat Airbangis. Masyarakat berbondong-bondong ke tanah lapang untuk mendengarkan pidato gubernur sekaligus mengikuti kampanye. Selesai gubernur berpidato, ia menunjuk seorang anak yang berdiri di deretan depan, lalu menanyakan apakah si anak bisa membaca? Si anak menjawab ya. Sang gubernur kemudian menyuruh anak membaca Pancasila dan kandungannya. Dengan lancar anak yang duduk di kelas II SD itu membaca. Selanjutnya, sang gubernur meminta anak untuk mengikuti kata-katanya, “Hidup Golkar!” teriak gubernur dengan keras, tapi si anak diam saja. Gubernur kemudian menanyakan mengapa anak itu diam dan tidak mengikuti pekikannya. Dengan polos si anak menjawab, ”Saya dan ayah saya memilih PPP, Pak, bukan Golkar”. Cerita di atas bukanlah sebuah guyonan atau fiktif belaka. Tapi sebuah pengalaman Ilham ketika ia duduk di kelas II SD. Baginya, itu merupakan pengalaman yang sangat berkesan. Karena, pengalaman itu membuat ayahnya sangat bangga padanya. Walau pun keesokan harinya guru-guru marah padanya. “Besoknya, saya dimarahi guru-guru SD, tapi saya tidak ambil pusing, karena ayah saya sangat bangga pada saya. Hari itu juga ayah langsung membelikan saya sepatu bot putih anti air, baru dari tekong Cina, bernama Liem She Kiat, di Kampung Cina, Airbangis. Ayah membelinya dengan kredit. Lagi pula, sepatu saya memang belum pernah diganti sejak saya masuk SD,” ungkap Ilham.
Sedangkan foto waktu dialog dengan gubernur tersebut, sampai hari ini tetap dipajang keluarga Ilham di Air Bangis, walaupun telah lusuh. Fotografernya merupakan teman akrab ayah Ilham, namanya Ruslin Sutan Batuah. Karena dialog tersebut membuat Ruslin Sutan Batuah ikut senang, ayah Ilham tidak harus membayar untuk menebus foto bersejarah itu. Padahal Ruslin Sutan Batuah tersebut butuh waktu tiga hari ke Padang hanya untuk mencucikan foto itu, satu untuk ayahnya, satu lagi untuk SD tempat Ilham bersekolah dan satu lagi untuk Ruslin yang bergelar Sutan Batuah. “Dulu saya bercita-cita menjadi gubernur setelah bertemu dengan gubernur itu. Tapi ternyata dalam hidup ini banyak hal kadang yang tidak sesuai dengan rencana. Menyikapi itu, kita harus sadar, Allah memiliki rencana lain. Perjalanan hidup memang tidak bisa ditebak. Walau sudah berencana sedemikian rupa, namun Allah SWT tetap menjadi penentu dalam segala hal,” pungkas Ilham.
Sumber : Harian Pagi Padang Ekspres/20-11-2011
http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=17286
Sambil kuliah, Ilham kemudian menjadi garin di Masjid Al Mukarramah, Jati, Padang. Tahun 1993, ia kembali mengikuti SPMB. Kali ini, Ilham mengambil jurusan Sosiologi di Unand. Ia pun lulus. Tanpa meninggalkan kuliah di IAIN, Ilham kemudian menjalani dua kuliah. Kebetulan saat itu salah seorang adiknya juga menyambung pendidikan di IAIN, dan ia pun membiayai perkuliahan adiknya itu. Bukan main sibuknya Ilham dalam berjuang ketika itu. Selain profesi garin, ia juga membuka les beberapa mata pelajaran, seperti Matematika, Fisika hingga baca Al-Quran di luar aktifitasnya menjadi garin. Walau demikian, Ilham tetap aktif di kegiatan ekstrakurikuler kampus. Ia menjadi Ketua BEM di Fisip Unand, dan menjadi ketua senat di Fakultas Adab. “Ketika itu ayah terkena stroke, saya sempat ling-lung. Sanak famili sudah meminta saya agar tinggal di kampung saja. Seharusnya, dengan kondisi yang demikian, sebagai anak jantan yang paling tua, saya memang harus tinggal di rumah, kerja melaut, mengayomi adik-adik yang hampir semuanya perempuan, dan membenahi rumah yang sudah hampir roboh,” ucapnya. Ilham mengatakan, budaya di tempat tinggalnya, jika orangtua laki-laki tak bisa mencari nafkah, maka anak sulung laki-laki harus pulang kampung untuk menjadi kepala keluarga. “Tekad saya untuk membangkik batang tarandam tetap kuat. Di kampung, saya sempat menjadi cemoohan warga, dianggap anak yang tidak tahu diuntung. Saya berjanji kepada keluarga dan adik-adik saya yang di rumah, saya minta beberapa waktu untuk menyelesaikan kuliah dulu,” papar pria kelahiran 11 Juni 1974 ini.
Ilham memburu mimpinya. Tahun 1999, di usia 23 tahun, ia kemudian mendapat kesempatan menjadi dosen di Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol. Dari situ, ia mulai membenahi keluarganya di kampung halaman. Namun ia tidak meninggalkan pekerjaannya sebagai garin masjid dan guru les. Hingga 10 tahun profesi garin ia tekuni. Ia pun berhasil menjadikan adik-adiknya sarjana. “Saya baru berhenti menjadi garin dua bulan sebelum saya menikah. Saya menikah tergolong sedikit terlambat, karena baru menikah di usia 29 tahun. Karena saya harus membenahi keluarga dulu di kampung. Ketika itu bisa dikatakan saya menikah tanpa modal apa-apa. Kami mengontrak rumah dan hidup seadanya,” ungkap suami Imla Wifra ini. (Kepala PAUD Unggulan Citra Almadina Padang). Menjadi seorang tenaga pengajar di perguruan tinggi sebenarnya bukanlah menjadi cita-cita Muhammad Ilham, 37, awalnya. Namun ia merasa beruntung dan sangat bersukur, karena perjalanan dan perjuangan hidupnya mengantarkannya ke arah yang lebih baik. Rintangan dan pengalaman pahit yang pernah dilaluinya, sekarang terasa sangat manis baginya. Walau hidup untuk dosen ia masih tergolong biasa dan sederhana, namun ia merasa puas dengan perjuangan hidupnya.
Ia bercerita kedatangan Gubernur Sumbar semasa jabatan Azwar Anas pada tahun 1982. Waktu itu, Airbangis masih bisa dikatakan terisolir, kehadiran gubernur bagaikan mukjizat bagi masyarakat Airbangis. Masyarakat berbondong-bondong ke tanah lapang untuk mendengarkan pidato gubernur sekaligus mengikuti kampanye. Selesai gubernur berpidato, ia menunjuk seorang anak yang berdiri di deretan depan, lalu menanyakan apakah si anak bisa membaca? Si anak menjawab ya. Sang gubernur kemudian menyuruh anak membaca Pancasila dan kandungannya. Dengan lancar anak yang duduk di kelas II SD itu membaca. Selanjutnya, sang gubernur meminta anak untuk mengikuti kata-katanya, “Hidup Golkar!” teriak gubernur dengan keras, tapi si anak diam saja. Gubernur kemudian menanyakan mengapa anak itu diam dan tidak mengikuti pekikannya. Dengan polos si anak menjawab, ”Saya dan ayah saya memilih PPP, Pak, bukan Golkar”. Cerita di atas bukanlah sebuah guyonan atau fiktif belaka. Tapi sebuah pengalaman Ilham ketika ia duduk di kelas II SD. Baginya, itu merupakan pengalaman yang sangat berkesan. Karena, pengalaman itu membuat ayahnya sangat bangga padanya. Walau pun keesokan harinya guru-guru marah padanya. “Besoknya, saya dimarahi guru-guru SD, tapi saya tidak ambil pusing, karena ayah saya sangat bangga pada saya. Hari itu juga ayah langsung membelikan saya sepatu bot putih anti air, baru dari tekong Cina, bernama Liem She Kiat, di Kampung Cina, Airbangis. Ayah membelinya dengan kredit. Lagi pula, sepatu saya memang belum pernah diganti sejak saya masuk SD,” ungkap Ilham.
Sedangkan foto waktu dialog dengan gubernur tersebut, sampai hari ini tetap dipajang keluarga Ilham di Air Bangis, walaupun telah lusuh. Fotografernya merupakan teman akrab ayah Ilham, namanya Ruslin Sutan Batuah. Karena dialog tersebut membuat Ruslin Sutan Batuah ikut senang, ayah Ilham tidak harus membayar untuk menebus foto bersejarah itu. Padahal Ruslin Sutan Batuah tersebut butuh waktu tiga hari ke Padang hanya untuk mencucikan foto itu, satu untuk ayahnya, satu lagi untuk SD tempat Ilham bersekolah dan satu lagi untuk Ruslin yang bergelar Sutan Batuah. “Dulu saya bercita-cita menjadi gubernur setelah bertemu dengan gubernur itu. Tapi ternyata dalam hidup ini banyak hal kadang yang tidak sesuai dengan rencana. Menyikapi itu, kita harus sadar, Allah memiliki rencana lain. Perjalanan hidup memang tidak bisa ditebak. Walau sudah berencana sedemikian rupa, namun Allah SWT tetap menjadi penentu dalam segala hal,” pungkas Ilham.
Sumber : Harian Pagi Padang Ekspres/20-11-2011
http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=17286
1 komentar:
Assalammualakum admin.
Izinkan kami mempromosikan usaha foto copi kami.
Silahkan kunjungi
https://boomfotocopy.wordpress.com/
Terimakasih sebelumnya admin
Posting Komentar