"Revolusi itu menjalar", setidaknya demikian diktum gerakan sosial yang sering didengung-dengungkan. Dan hari ini, kawasan Timur Tengah nampaknya - meminjam istilah Soekarno - "belum selesai melaksanakan revolusi" mereka. Bila gerakan sosial yang terjadi di Tunisia, Mesir, Yaman, Libya dan Suriah menggugat keberadaan tiran dari kalangan rakyat biasa (Ben Ali, Hosni Mubarak, dan Moammar Khaddafi serta Bashar al-Assad), maka pergerakan isu gerakan sosial di kawasan Timur Tengah sudah mulai intens menjangkau kawasan "tabu-politik", menggugat eksistensi monarki. Ini bermula dari Bahrain. Kerajaan/keemiran kaya minyak di kawasan Teluk ini, sedang menghadapi gerakan sosial yang bukan lagi sekedar gerakan protes menggugat politisi mereka (saya tak tahu, apakah negara ini memiliki politisi). Tapi sudah menukik pada gerakan yang membuat Arab Saudi (negara pilar monarki di kawasan Timur Tengah) merasa khawatir. Rakyat Bahrain sudah berani menentang eksistensi Sultan Hamad ibn Isa Khalifa. Menentang hedonisme dan sistem politik yang diterapkan oleh Sultan yang teramat dekat dengan Arab Saudi tersebut. Arab Saudi pantas merasa khawatir. Bila eksperimen rakyat Bahrain bisa menjatuhkan Sultan Hamad ibn Isa Khalifa, tentu ini menjadi "gempa bumi" bagi eksistensi monarki-monarki di kawasan Timur Tengah. Karena itu pula, sebelum "revolusi" ini menjalar, Arab Saudi mengirimkan ratusan tentara lengkap. Al-jazeera melaporkan terjadi "pembantaian" demonstran di Bahrain, sebagaimana halnya yang terjadi di Suriah, misalnya. Seperti biasa, Liga Arab, NATO dan PBB (apalagi Amerika Serikat), mendiamkan Bahrain dan "menaikkan" Suriah.
Hingga sekarang, gerakan sosial yang (bisa) mengarah kepada revolusi di Bahrain terus berlangsung, walau tidak sesporadik Suriah ataupun Yaman. Namun, bila eksperimen revolusi Bahrain berhasil, tentu monarki-monarki di Timur Tengah akan merasakan bagaimana hukum dari revolusi itu sendiri .............. "menjalar".
Syekh Hamad ibn Isa Khalifa, Sultan Bahrain bersama (mantan) Presiden Amerika Serikat George W. Bush
Nampaknya ke depan, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya (Inggris dan Perancis) serta yang masuk dalam "kategori" historis-kultural Barat seperti Australia, merasa berkepentingan untuk menjaga eksistensi monarki di Timur Tengah. Demokrasi/demokratisasi bukan menjadi parameter utama, namun kepentingan ekonomi dan politik adalah entitas abstrak yang jauh lebih utama. Sudah menjadi "ayat politik" bahwa dalam politik, tidak ada yang gratis. Secara prediktif, kita bisa membayangkan peran Barat selanjutnya di Libya, khususnya dalam masalah minyak, sebab penguasa baru pasti merasa berutang budi kepada NATO yang telah berhasil melumpuhkan rezim Moammar Qaddafi dengan dibantu oleh serangan udara. Sebagai seorang Muslim, kita tentu selalu berharap agar rezim-rezim pengganti ini tidak lupa kepada cita-cita revolusioner mereka untuk berpihak kepada rakyat dan keadilan, yang sebelumnya hampir absen selama sekian puluh tahun. Saya melihat, pergantian rezim-rezim di kawasan Timur Tengah tidaklah begitu penting dan urgen bagi Barat, sebagaimana yang terlihat selama ini. Selama rezim-rezim itu siap menjaga kepentingan Barat, tidak peduli apakah diktator, demokratik, atau campuran dari keduanya, pasti akan didukung. Slogan demokrasi dan hak-hak asasi manusia yang dikibarkan Barat selama ini tidak lain adalah topeng untuk mengelabui mangsanya. Dan ....... monarki-monarki di Kawasan Timur Tengah adalah pendukung setia "kepentingan Barat" itu sendiri. Simbiosis mutualisme kepentingan berlaku, walau sebenarnya hanya satu pihak yang paling (banyak) diuntungkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar