Senin, 21 November 2011

Bola dan Aroma Nasionalisme

Oleh : Muhammad Ilham

" .... boooola, kau terobos gawang cintaku ... ooo ya ... oo ya .... kaulah sang primadoona ... booola "
(Ona Sutra, penggalan nyanyi Dangdut)

Baru kali ini saya merasa bangga dan kenal dengan yang namanya Indonesia !
(Status FB "kawan sebelah" tentang kebanggaannya pada Tim Sepak Bola Indonesia)

Ada aroma nasionalisme di Gelora Bung Karno (GBK) dan di depan layar televisi dalam beberapa hari terakhir ini. Semuanya karena Bola dan "Garuda di Dadaku". Nasionalisme sepertinya di keseharian mulai terkikis, entah karena tawuran antara warga, atau korupsi yang menghiasi halaman depan surat kabar dan televisi. Namun kemarin Nasionalisme itu hadir, saat Tim Garuda Muda bertanding melawan Vietnam, Malaysia, Singapura dan Thailand. Apakah berlebihan bila saya mengatakan bahwa aroma nasionalisme ada di GBK ? Nampaknya tidak sama sekali, bila yang kita bicarakan adalah nasionalisme bangsa. Melihat aura nasionalisme di GBK beberapa malam terakhir ini, membuat saya teringat dengan Peristiwa Lapangan Ikada pada tahun 1945. Lapangan Ikada ini telah "berpindah" ke GBK, sebuah tempat dimana yang ada hanya satu warna, lautan manusia berbaju merah yang menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dengan bergetar haru bercampur bangga, dan memekikkan satu suara: “Indonesia! Indonesia!”, bahkan ditambah dengan "Tibo" ... "Tibo" ... "Wanggai" .... Wanggai" .... dua striker U-23 asli Papua, sebuah daerah yang belakangan ini dipertanyakan nasionalisme mereka. Mereka menamakan dunia itu sepak bola, bahkan sebagian menganggapnya lagi "agama" (tanda kutip).

Sepak bola bagi banyak negara tidak lagi olahraga semata. Tetapi sudah menjadi harkat dan martabat negara dan bangsa. Karena itu, Kiper La Furia Roja Spanyol, Iker Cassilas mengatakan : "sepak bola adalah harga diri bangsa, dan ditengah banyaknya pengangguran di Spanyol akhir-akhir ini, kami ingin memberikan kebahagiaan tersendiri bagi rakyat Spanyol untuk bangga sebagai orang Spanyol" (reuters.com). Senada dengan Iker Cassilas, striker Pattrick Wanggai berujar : "semoga bola memberikan rasa damai di Papua" (okezone.com). Bola menjadi ukuran martabat, karena tuntutan-tuntutan fundamental dalam sepak bola seperti sportivitas, kecepatan, kekuatan, kerjasama dan kecerdasan, telah menyatu dengan tuntutan fundamental bangsa itu. Kekalahan dan kemenangan dianggap mewakili harga diri bangsa. Karena itu kemenangan dihargai setinggi langit, sedangkan kekalahan dicampak ke dasar jurang yang paling dalam. Semua negara yang bermartabat dan beradab dalam sepak bola tahu akan risiko itu. Tahu apa artinya menang, dan tahu pula apa artinya kalah. Bola memang luar biasa, mampu menyatukan semua elemen manusia. Lupa dengan konflik politik ataupun kesulitan ekonomi. Tak salah memang bila Presiden FIFA, Sepp Blatter mengatakan bahwa Seandainya bola itu manusia, niscaya ia akan memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian, mungkin setiap empat tahun sekali.

Walaupun tim U-23 dikalahkan oleh tim Malaysia, cukup penggalan puisi ini yang ingin mewakili apresiasi saya terhadap pemain dan penonton :

..... pecah gelas berdentang.
kecewa terpaku nyilu
beta terpana
ternyata mereka sudah dewasa ... !!"


(Geliat BOLA tak seumpama kerdilnya PILKADA). Hormat buat penonton dan usaha keras Tim U-23. Bukan kalah-menang. Ada ichtiar dan pembelajaran disana.
Mereka (pemain dan penonton) benar-benar GARUDA ...... dan bukan Burung Perkutut ! (meminjam Iwan Fals)

Sebuah FootNote :


(Dari kejadian beberapa tahun lalu) : Salah seorang teman saya, mengganti Sticker salah seorang calon Gubernur dengan gambar Maradona. Ia menjadi marah bergejolak, ketika gambar itu ditutup kembali dengan sticker baru oleh tim sukses salah seorang calon gubernur. "Maradona dan Piala Dunia jauh lebih bermakna dibandingkan Pilkada", setidaknya demikian yang ingin ia sampaikan.





Sumber Foto : www.google.picture.com

Tidak ada komentar: