Ada empat variabel, dalam tradisi ilmu politik, untuk menentukan apakah negara tersebut menjalani masa transisi secara damai atau anarkis bahkan "berdarah". Pertama, Watak Civil Society. Konsep ini mengacu kepada kemampuan, dinamika dan kemampuan organisasi kemasyarakatan. Dalam masyarakat transisi, civil society-nya penuh dengan dinamika. Masyarakatnya terlibat secara emosional dengan persoalan-persoalan publik. Namun, Civil Society ini memiliki dua karakter yaitu karakter demokratis dan karakter sekterian-parokial-primordial. Karakter pertama "dihidupi" oleh aura dan nilai-nilai penghargaan terhadap pluralisme, kesediaan berkompromi untuk mewujudkan platform bersama yang demokratis serta timbulnya iklim kritik-terbuka dan transparan. Sementara yang kedua, dimotivasi oleh semangat fanatisme ideologi atau agama, anti-pluralisme, menginginkan previlese (baca: hak-hak khusus) bagi suatu kelompok dan anti kritik. Di antara kedua karakter civil society tersebut, hanya berkarakter demokratis yang memiliki kontribusi pada penyelenggaraan transisi secara damai.
Kedua, efektifitas pemerintah dalam mewujudkan atau mengimplementasikan kebijakannya. Pemerintah merupakan satu-satunya "organ" yang sah-legal untuk bertindak mengatasnamakan masyarakat secara keseluruhan. Memiliki daya paksa. Pemerintah yang efektif sangat mudah mempengaruhi kondisi politik secara nasional. Pemerintah yang kuat adalah pemerintah yang dipercaya oleh masyarakatnya. Pemerintah jenis ini dapat mempengaruhi transisi ke demokrasi secara damai. Sebaliknya, pemerintahan yang lemah dan kehilangan legitimasi, maka kebijakan-kebijakan mereka akan mudah dinilai dan ditafsirkan oleh kelompok politik lain sebagai upaya manipulatif. Dengan sendirinya, kebijakan-kebijakan tersebut bukannya diikuti, malah dilawan. Pemerintah jenis ini berpotensi membawa negara ke arah anarki.
Ketiga, Political Society. Konsep ini mengacu kepada aturan main yang menjadi mekanisme kompetisi politik antar aktor dan organisasi politik. Aturan main politik sangat penting. Dalam masyarakat politik ini, juga terdiri dari dua karakter yaitu masyarakat politik harmoni dan masyarakat politik terdisintegrasi. Masyarakat politik yang harmoni akan mudah menerima kemenangan atau kekalahan dalam sebuah kompetisi politik. Penyebabnya, karena mereka yakin dan percaya akan sifat adil dan jujur dari kompetisi. Pihak yang kalah merasa kalah secara fair dan bukan merasa dicurangi oleh sebuah sistem atau aturan main yang manipulatif. Masyarakat tipikal ini memiliki kontribusi bagi terciptanya transisi damai. Sedangkan masyarakat politik yang terdisintegrasi sangatlah rawan. Kekalahan dan kemenangan sangat sulit diterima dengan lapang dada. Bukan karena faktor kebesaran jiwa para aktor politik, akan tetapi lebih disebabkan kepada rasa dizalimi oleh aturan main yang manipulatif. Bahkan, konflik tidak akan menyusut setelah terselenggaranya kompetisi politik melalui pemilu, justru konflik semakin rawan dan menakutkan. Tipikal ini dengan cepat akan membawa negara ke dalam anarki yang berkepanjangan.
Dan yang Keempat, soal kondisi ekonomi. Memang harus diakui, bahwa ekonomi bukanlah satu-satu soal, namun memiliki peranan yang sangat signifikan karena berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pokok dan tersedianya lapangan pekerjaan. Perekonomian yang tumbuh akan memberikan kesejahteraan yang lebih kepada masyarakatnya. Kepuasan publik akan meningkat. Kepuasan publik yang meningkat akan berkorelasi positif dengan kemampuan pemerintah membawa masyarakat menuju demokrasi damai. Sebaliknya, ekonomi yang memburuk justru menimbulkan ketidakpuasan. Masyarakat akan menjadi rumput kering yang akan mudah terbakar untuk melawan dan marah secara massal. Krisis ekonomi akan mudah menyulut anarki berkepanjangan.
Pertanyaannya : "Bila diperhatikan variabel-variabel di atas, apakah Indonesia masa reformasi ini bisa atau berpotensi melakukan transisi secara damai ?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar