(Artikel ini telah diterbitkan oleh Harian Singgalang dalam Rubrik Opini/17-11-2011)
Dan jika ada pihak yang getol mengajukan daftar antrian pahlawan seolah terdesak momentum, ada-kah "Udang Di balik Batu?"
Setiap komunitas - apakah itu kelompok ataupun golongan - membutuhkan collective of identity yang terbangun dari collective of memory. Dua hal ini menjadi dasar untuk memberikan collectif of action. Tidaklah mengherankan kemudian, setiap kelompok masyarakat, "berlomba-lomba" mengajukan pahlawan bagi daerah/golongan mereka "sendiri" (saya katakan "sendiri," karena terkadang nama-nama pahlawan yang diajukan itu, terasa "asing" dalam memory publik). Tapi sudahlah, manusia sudah ditakdirkan sebagai "homo-simbolic" yang butuh icon-identity. Saya tak bisa bayangkan, beberapa tahun ke depan, karena stock pahlawan lama-lama akan mulai habis, maka terjadi pemaksaan, atau setidaknya, pahlawan yang diterima secara parsial-lokal. Ada pahlawan di atas kertas dan ada pahlawan di dalam hati. Maka tak sulit menduga bahwa usulan gelar pahlawan mirip seumpama pesta launching new product dari bisnis yang namanya Taman Makam Pahlawan. Sebuah pesta meriah di mana Agency Event Organizer pahlawan pasti meraup untung, terutama untung politis. Tak peduli rakyat bingung dan penonton linglung.
Teringatlah saya debat antara Chaeruman Harahap yang politisi Golkar dengan sejarawan Anhar Gonggong di TV One. Perdebatan di seputar, "Apakah Soeharto Layak Jadi Pahlawan?". Perdebatannya tak perlu saya deskripsikan. Dalam tulisan terdahulu telah saya publish bagaimana "aroma" debat yang sulit mencari titik temu, karena pendekatannya sungguh berbeda - satu politis-pragmatis, satu lagi akademik-indikator-metodologis. Si akademisi terlampau "kaku" dengan indikator-indikator, sementara si politisi seperti menyuguhkan "politik balas budi", mengemukakan "Cara baik Pak Harto" (maklum dari Golkar dan sudah menjadi "hukum kemanusiaan", orang yang telah meninggal, yang baiknya saja dikenang dan dieladani, yang buruk, disembunyikan dibalik layar sejarah).
Kita tahu bahwa baik buruknya mantan Presiden Soeharto selama berkuasa 30 tahun jaman Orde Baru harus dibuka lebar sesuai dengan fakta sejarah. Masa jaya ekonomi dan ketertiban umum - yang selalu disebut sebagai kelebihan ayah Hutomo Mandala Putra ini - memang benar. Sebuah sumbangsih besar Orde Baru yang darinya kita bisa belajar. Tapi juga harus "diajarkan" pada publik, bahwa pada masanya juga terjadi rangkaian pemalsuan sejarah, sumber-sumber ekonomi yang dimiliki oleh etnik tertentu serta orang dekatnya, hukum yang penuh rekayasa dan penyakit akut korupsi yang hingga hari ini masih sulit untuk dihabisi. Golkar yang terang terangan memanipulasi Pemilu - dan ini sudah menjadi "rahasia umum" yang tak perlu lagi diperdebatkan. Pendekatan militeristik dalam menyelesaikan gerakan-gerakan separatis. Cerita Aceh dan Irian Jaya menjadi catatan kelabu pendekatan militeristik ini. Kemudian tak kurang 600 ribu rakyat dibiarkan tewas dibantai ketika awal masa Orde Baru berkuasa. Mungkin cuma Gus Dur yang berani minta maaf kepada kaum komunis yang darahnya sempat “menghiasi” pekarangan, danau dan sungai di dusun-dusun pulau Jawa. Terlampau naif hanya melihat sisi ekonomi sambil mengesampingkan sisi kemanusiaan.
Bila calon pejabat tinggi membutuhkan fit and propert test, seluruh cara baik nan inspiratif serta "koda dan tukak"-nya harus diungkapkan pada publik, maka pahlawan sudah seharusnya diberlakukan hal yang demikian. Fit and propert test melalui "dialog sejarah" yang dinikmati publik, bukan pemalsuan sejarah apatah lagi ungkapan balas budi. Karena itu, sudah selayaknyalah sejarah diluruskan terlebih dahulu sebelum menentukan sosok yang layak jadi pahlawan. Terakhir, sudah seharusnya kita mengajukan pertanyaan, manakala sejarah palsu di pangkuan kita, manakala penegakan hukum menunjang palsunya sejarah, adakah pahlawan yang layak kita junjung dan kita teladani? Dan jika ada pihak yang getol mengajukan daftar antrian pahlawan seolah terdesak momentum, ada-kah "Udang Di balik Batu?". Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar