"Tindak kekerasan selalu menjadi benih terciptanya sebentuk kesatuan politik"
(Ernst Renan)
Ketika beberapa daerah melakukan aktifitas yang beraroma subversif, katakanlah misalnya seperti di Papua belakangan ini, adilkah kita mengatakan bahwa penduduk lokal lagi jelata sebagai "pelaku utama" dari semua kerusuhan yang terjadi ? Lalu ketika negara Iran yang dianggap (sebagai) "negara biasa" melawan negara yang (dianggap) "super-negara", lantas negara "super-negara" dan para sekutunya menganggap Iran yang berasal dari komunitas "negara biasa" salah, tindak pantas melawan dan tidak boleh memiliki teknologi nuklir (walau mereka sebenarnya adalah negara produsen senjata nuklir itu sendiri). Bagaimana kita memahami konsep abstrak dari negara ? Apakah makhluk yang bernama negara ? Negara punya Presiden, punya bendera, punya rakyat, punya lagu kebangsaan dan juga punya pahlawan. Bila hanya sebatas ini, tak beda tampaknya dengan klub bola seumpama AC Milan, Real Madrid, Barcelona ataupun Manchester United. Silvio Berlusconi (PM Italia yang sekarang lagi dipusingkan dengan krisis ekonomi internal dan Eropa) juga seorang Presiden - Presiden AC. Milan. Klub bola fenomenal ini juga memiliki bendera, bahkan bendera mereka jauh lebih mendunia dibandingkan - katakanlah bendera Merah Putih. AC. Milan juga punya "rakyat", fans istilahnya yang dalam kosakata persebakbolaan dunia sering disebut Milanisti, bahkan mereka teramat fanatik. Lagu kebangsaan ? .... AC. Milan punya lagu yang menggetar-menggelorakan. Apakah AC. Milan punya pahlawan ?. Jangan ditanya, banyak. San Siro, adalah salah satu nama pahlawan mereka yang diabadikan menjadi nama stadion AC. Milan nan megah (kata orang, karena saya belum pernah ke sana). Bila Franco Baresi, Ruud Gulllit ataupun Marco van Basten meninggal dunia, saya yakin, mereka akan di-SK-kan menjadi Pahlawan AC. Milan. Demikian juga dengan FC. Barcelona, Manchester United atau Real Madrid. Klub-klub bola ini hampir mirip dengan defenisi sederhana dari negara. Lionel Messi, Eric Cantona dan Zinedine Zidane mungkin (nantinya) akan menjadi pahlawan Barcelona, MU dan Real Madrid yang akan paling sering dikenang. Persis pahlawan-pahlawan di sebuah negara, ada yang sering disebut, ada yang tidak, bahkan ada yang dianggap - dalam bahasa kampung saya - mantimun bungkuak, masuk hitungan, tapi tak berbilang.
Negara memang tak sesederhana entitas klub bola. Dahulu, Max Weber pernah memberikan defenisi tentang negara. "Negara adalah lembaga sosial, kata Weber, yang memiliki hak monopoli untuk menggunakan senjata dan melakukan tindakan kekerasan (termasuk membunuh) secara absah, didalam wilayah kedaulatannya". Weber ingin memperjelas, ada perbedaan negara dengan kelompok preman jalanan ataupun komunitas beragama. Defenisi yang dikemukakan Weber ini, teramat jarang dikutip oleh buku-buku "negara". Oleh karena itu, ketika Papua bergolak, banyak yang beranggapan bahwa anarkisme yang terjadi merupakan letusan frustrasi emosional dari masyarakat jelata, yang rasa keadilannya dilukai secara bertubi-tubi. Lalu banyak diantara kita (mungkin juga termasuk saya) yang membela dan mengabsahkan kekerasan, tetapi tetap menerima dan mengukuhkan tuduhan umum terhadap rakyat jelata lokal sebagai tersangka pelaku kekerasan tersebut. Masyarakat umumnya sudah begitu terbiasa berfikir bahwa negara memiliki aparatur hukum dan keamanan yang tupoksi-nya untuk "mengamankan" masyarakat. Negara kemudian dikenali sebagai sosok yang paling bermusuhan dengan pencuri, maling, perampok, pemberontak dan kelompok-kelompok pengacau keamanan. Dalam pemahaman ini, negara pada akhirnya dipahami sebagai pihak yang dirugikan bila dalam masyarakat terjadi kekerasan dan kerusuhan. Karena itu pula, negara Iran misalnya, dikondisikan oleh negara super kuat sebagai negara "sumbu setan" kata George W. Bush, "teroris" menurut Hillary Clinton atawa "negara yang dipimpin teroris gila" versi seorang senator AS asal Texas. Mereka tersebut seakan-akan menganggap diri mereka dan dunia sebagai korban terorisme dan tak mungkin menjadi pelaku atau penyebab utama dari terorisme itu sendiri.
Ernest Renan, ilmuan-filosof asal Perancis pernah berkata : "Tindak kekerasan selalu menjadi benih terciptanya sebentuk kesatuan politik". Sejarah kolonial Hindia Belanda yang penuh dengan kekerasan tersebut telah mampu melahirkan teori Indonesia. Saya tak bisa membayangkan bila Belanda tak menjajah Indonesia dahulu, atau hanya fokus di pulau Jawa saja, maka bisa saja, saya harus menggunakan pasport bila ke ke pulau Jawa. Demikian juga dengan pertumpahan darah tahun 1965-1966 memberikan justifikasi berdirinya rezim Orde Baru. Pembunuhan pengikut komunisme dan "anak cucu ideologisnya" menjadi bagian kekerasan kemanusiaan yang dilakukan sebuah atas nama negara untuk membentuk sebuah justified kebersatuan dan kebersamaan. Demikian juga halnya dengan kekerasan demi kekerasan yang terjadi pada tahun 1998 (yang embrionya sudah mulai sebelum tahun ini), menjadi landasan berdirinya era yang (entah siapa memberinya) bernama reformasi. Apapun yang terjadi di Papua dan (mungkin nantinya) di daerah lainnya, sudah sepantasnya kita tak melupakan defenisi negara menurut Weber di atas.
Foto : cartoon.com
Negara memang tak sesederhana entitas klub bola. Dahulu, Max Weber pernah memberikan defenisi tentang negara. "Negara adalah lembaga sosial, kata Weber, yang memiliki hak monopoli untuk menggunakan senjata dan melakukan tindakan kekerasan (termasuk membunuh) secara absah, didalam wilayah kedaulatannya". Weber ingin memperjelas, ada perbedaan negara dengan kelompok preman jalanan ataupun komunitas beragama. Defenisi yang dikemukakan Weber ini, teramat jarang dikutip oleh buku-buku "negara". Oleh karena itu, ketika Papua bergolak, banyak yang beranggapan bahwa anarkisme yang terjadi merupakan letusan frustrasi emosional dari masyarakat jelata, yang rasa keadilannya dilukai secara bertubi-tubi. Lalu banyak diantara kita (mungkin juga termasuk saya) yang membela dan mengabsahkan kekerasan, tetapi tetap menerima dan mengukuhkan tuduhan umum terhadap rakyat jelata lokal sebagai tersangka pelaku kekerasan tersebut. Masyarakat umumnya sudah begitu terbiasa berfikir bahwa negara memiliki aparatur hukum dan keamanan yang tupoksi-nya untuk "mengamankan" masyarakat. Negara kemudian dikenali sebagai sosok yang paling bermusuhan dengan pencuri, maling, perampok, pemberontak dan kelompok-kelompok pengacau keamanan. Dalam pemahaman ini, negara pada akhirnya dipahami sebagai pihak yang dirugikan bila dalam masyarakat terjadi kekerasan dan kerusuhan. Karena itu pula, negara Iran misalnya, dikondisikan oleh negara super kuat sebagai negara "sumbu setan" kata George W. Bush, "teroris" menurut Hillary Clinton atawa "negara yang dipimpin teroris gila" versi seorang senator AS asal Texas. Mereka tersebut seakan-akan menganggap diri mereka dan dunia sebagai korban terorisme dan tak mungkin menjadi pelaku atau penyebab utama dari terorisme itu sendiri.
Ernest Renan, ilmuan-filosof asal Perancis pernah berkata : "Tindak kekerasan selalu menjadi benih terciptanya sebentuk kesatuan politik". Sejarah kolonial Hindia Belanda yang penuh dengan kekerasan tersebut telah mampu melahirkan teori Indonesia. Saya tak bisa membayangkan bila Belanda tak menjajah Indonesia dahulu, atau hanya fokus di pulau Jawa saja, maka bisa saja, saya harus menggunakan pasport bila ke ke pulau Jawa. Demikian juga dengan pertumpahan darah tahun 1965-1966 memberikan justifikasi berdirinya rezim Orde Baru. Pembunuhan pengikut komunisme dan "anak cucu ideologisnya" menjadi bagian kekerasan kemanusiaan yang dilakukan sebuah atas nama negara untuk membentuk sebuah justified kebersatuan dan kebersamaan. Demikian juga halnya dengan kekerasan demi kekerasan yang terjadi pada tahun 1998 (yang embrionya sudah mulai sebelum tahun ini), menjadi landasan berdirinya era yang (entah siapa memberinya) bernama reformasi. Apapun yang terjadi di Papua dan (mungkin nantinya) di daerah lainnya, sudah sepantasnya kita tak melupakan defenisi negara menurut Weber di atas.
Foto : cartoon.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar