(Artikel ini telah dipublish/diterbitkan di Detik.com/2 Nopember 2011)
"Israel akan menyerang Iran, " demikian headline beberapa surat kabar di berbagai belahan dunia belakangan ini. Dan Amerika Serikat yang lagi "berduka" karena diterimanya Palestina menjadi anggota UNESCO, mendukung keinginan pemerintah Isreal dibawah PM. Benjamin Netanyahu tersebut, walau tentunya tidak melalui pernyataan resmi dari "anak menteng" Obama. Namun dunia mafhum, bahkan teramat paham, Amerika Serikat-lah yang memberikan garansi besar untuk menyerang negara kaum Mullah itu. Bagaimanapun juga, Amerika Serikat memiliki kepentingan politis dan ekonomis di Timur Tengah. Dan hanya Israel yang dianggap loyalist Amerika Serikat di kawasan ini (demikian juga sebaliknya, Amerika Serikat juga loyalist Israel). Hubungan dua negara ini bukan hanya bersifat simbiosis mutualisme ekonomis dan politis semata, tapi sudah menjadi hubungan "genetik-politik". Beda dengan beberapa negara Kesultanan kaya Timur Tengah, seperti Arab Saudi yang juga (dianggap) sebagai loyalis Amerika Serikat. Hubungan mereka - dalam konteks perspektif rasional politik - hanyalah hubungan yang bersifat pragmatisme (ekonomi) politik. "Minyak" dan "tanah" untuk pangkalan senjata, tak lebih tak kurang. Dan, para Sultan di Timur Tengah berkepentingan untuk menjaga kekuasaan-absolut mereka. Sebuah contradictio-interminis dengan semangat demokrasi (semu) yang diusung-usung Amerika Serikat di bumi nan bulat ini. Pada siapa lagi para Sultan ini "bersandar" kalau bukan pada Obama ?.
Jadi tidaklah mengherankan apabila Amerika Serikat (dan NATO, tentunya, plus PBB) menutup mata ketika tentara Arab Saudi membombardir pengunjuk rasa yang ingin menjatuhkan kekuasaan Sultan Al-Khalifa di Bahrain. Sultan Arab Saudi menyediakan tempat (dulunya) untuk menyerang "saudara muslimnya", Saddam Hussein. Tak juga mengherankan pula, belakangan terdapat bocoran kawat diplomatik Inggris bahwa pemerintah Arab Saudi juga mendukung rencana serangan Israel ke Iran, bahkan mereka bersedia menyediakan tempat di negeri asal Rasulullah SAW. ini untuk menyerang Iran, sebuah negera paling demokratis di kawasan Timur Tengah selain Israel. Negara-negara lain di kawasan ini (hingga sekarang) masih ada yang mengenal sistem politik, "wanita tidak boleh jadi politisi", Iran justru pernah menempatkan wanita menjadi wakil Presiden mereka. Ketika negara-negara di daerah kaya minyak ini masih mengenal sistem politik "tanpa pemilu", Iran justru memiliki dinamika pemilu yang teramat menarik dan dinamis. Tapi mengapa semua negara yang banyak orang mengatakan sebagai negara-negara maju, justru menganggap Iran sebagai negara "orang gila" (seperti yang diutarakan Senator AS dari Texas), negara yang dipimpin oleh orang-orang despot, dan ....... "negara setan" ucap mantan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush.
Jadi tidaklah mengherankan apabila Amerika Serikat (dan NATO, tentunya, plus PBB) menutup mata ketika tentara Arab Saudi membombardir pengunjuk rasa yang ingin menjatuhkan kekuasaan Sultan Al-Khalifa di Bahrain. Sultan Arab Saudi menyediakan tempat (dulunya) untuk menyerang "saudara muslimnya", Saddam Hussein. Tak juga mengherankan pula, belakangan terdapat bocoran kawat diplomatik Inggris bahwa pemerintah Arab Saudi juga mendukung rencana serangan Israel ke Iran, bahkan mereka bersedia menyediakan tempat di negeri asal Rasulullah SAW. ini untuk menyerang Iran, sebuah negera paling demokratis di kawasan Timur Tengah selain Israel. Negara-negara lain di kawasan ini (hingga sekarang) masih ada yang mengenal sistem politik, "wanita tidak boleh jadi politisi", Iran justru pernah menempatkan wanita menjadi wakil Presiden mereka. Ketika negara-negara di daerah kaya minyak ini masih mengenal sistem politik "tanpa pemilu", Iran justru memiliki dinamika pemilu yang teramat menarik dan dinamis. Tapi mengapa semua negara yang banyak orang mengatakan sebagai negara-negara maju, justru menganggap Iran sebagai negara "orang gila" (seperti yang diutarakan Senator AS dari Texas), negara yang dipimpin oleh orang-orang despot, dan ....... "negara setan" ucap mantan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush.
Lalu mengapa Iran ? ..... Bila Khaddafi pantas untuk diturunkan oleh NATO (tentunya dibawah pimpinan Amerika Serikat dan justifikasi politik dari PBB) dikarenakan putra dari suku Tuareq ini memimpin negara kaya minyak, dan ..... tak mau dikontrol negara-negara yang (katanya) maju tersebut. Maka Iran, sejak Syah Reza Pahlevi dijatuhkan tahun 1979 dalam Revolusi Islam Islam dibawah pimpinan Ayatullah Ruhullah Khomeini, menjadi negara Timur Tengah yang selalu menegaskan posisi mereka secara jelas : Israel dan "keturunan-keturunannya" adalah musuh mereka. Titik. Sejak Iran dipimpin oleh Presiden Bani Sadr, Ali Raja'i, Rafsanjani, Khatami hingga Mahmoud Ahmadinedjad, posisi jelas-tegas tersebut tak pernah beranjak. Tentunya, hal ini membuat Israel dan Amerika Serikat menjadi "paranoid". Iran bukanlah Suriah/Syiria yang juga "karengkang", tapi negara pimpinan klan Al-Assad itu hanyalah negara yang tidak kaya dan (sekaligus) tidak pintar. Libanon ? .... sudah diporakporandakan Israel. Apalagi Mesir yang setiap tahun masih menjadi pelanggan setia IMF dan subsidi Amerika Serikat. Aljazair dan Tunisia ? Mereka masih disibukkan mencari format terbaik sistem politik negara mereka. Dan toh pun, mereka tak kaya amat. Minyak tidak ditakdirkan "singgah" di negara belahan atas benua Afrika ini. Negara-negara Teluk-kaya minyak lainnya seperti Oman, UEA, Kuwait dan Bahrain (tentunya dibawah komando Arab Saudi), hanyalah negara-negara "boneka barbie" Anglo-Saxon. Tapi Iran, beda. Mereka, seperti halnya Libya, juga kaya dengan minyak. Orang-orang Iran, memiliki "trah-genetik" lain dibandingkan negara Arab. Mereka keturunan Persia. Peradaban mereka dahulunya agung. Bahkan sejarah mencatat, Persia merupakan satu dari dua negara adikuasa pada zamannya, selain Romawi. Sehingga tidaklah mengherankan apabila Iran memiliki kebanggaan historis dan referensi sendiri, (serta) diperkaya dengan militansi teologis Syi'ah yang menggetarkan dalam sejarah. Buktinya, Saddam Hussein terpaksa mengeluarkan "bendera putih" dalam Perang 10 tahun Irak-Iran. Padahal Iran pada waktu itu masih sedang melakukan konsolidasi internal pasca kejatuhan Syah Reza Pahlevi. Kekayaan historis dan militansi inilah yang kemudian melahirkan kemandirian untuk tidak mau diinjak-injak negara lain. Dengan ditopang sumber daya manusia Iran yang masuk kategori pintar-pintar, Iran tumbuh dan berkembang menjadi negara yang kuat dan memiliki pengaruh besar di kawasan Timur Tengah. Intelektual mereka merupakan intelektual "papan atas". Saintis yang mereka miliki, masuk kategori nobel. Bahkan secara berseloroh, seorang teman saya pernah mengatakan : "bila tak ada Iran, tentunya dunia Islam modern sekarang masih dianggap negara-negara Barat sedang belajar alif ba ta". Karena itulah mungkin, Iran memiliki kepercayaan diri membangun kekuatan militer mereka melalui putra-putra terbaik mereka sendiri (dengan tentunya diback up Rusia). Proggres kekuatan militer Iran sekarang , menurut reuters, begitu menakutkan Amerika Serikat, terutama Israel. Ditambah lagi dengan proyek pengembangkan nuklir yang mereka lakukan, membuat Amerika Serikat dan Israel merasa perlu untuk menyerang instalasi nuklir Iran, dengan dalih "untuk perdamaian dunia". Ditambah tentunya dengan diktum : "yang boleh memiliki nuklir itu hanyalah kami, bukan anda".
Berikut ini saya kutip beberapa laporan surat kabar "teras dunia" tentang rencana Israel menyerang Iran :
Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak sedang mencoba meyakinkan kabinet mereka untuk mendukung serangan atas Iran. Surat kabar Israel, Haaretz memberitakan hal itu dengan mengutip seorang pejabat senior Israel yang dirahasiakan identitasnya. Menurut pejabat tersebut seperti dilansir kantor berita AFP, Rabu (2/11/2011), Netanyahu tengah berupaya untuk meraih mayoritas dukungan atas serangan terhadap Iran. Namun saat ini sejumlah menteri Israel terus menentang rencana serangan tersebut. Menurut Haaretz, Netanyahu telah berhasil meyakinkan Menteri Luar Negeri Israel Avigdor Lieberman untuk mendukung serangan yang dimaksudkan untuk menghancurkan kemampuan nuklir Iran tersebut. Namun sejumlah menteri lainnya tetap menentang keras rencana tersebut. Bahkan sebagian lebih memilih agar serangan ke Iran itu dilakukan oleh Amerika Serikat, bukan Israel. Di antara mereka yang terus menentang serangan itu adalah Menteri Dalam Negeri Israel Eli Yishai, Menteri Intelijen Dan Meridor, Menteri Urusan Strategis Moshe Yaalon yang dekat dengan Netanyahu serta Menteri Keuangan Yuval Steinitz. Berita Haaretz ini muncul di tengah merebaknya kembali spekulasi mengenai rencana Israel untuk menyerang Iran. Pada Senin, 31 Oktober lalu, Ehud Barak membantah pemberitaan media yang menyebutkan dirinya dan Netanyahu telah memutuskan untuk melancarkan serangan terhadap Iran meski mendapat penolakan dari kepala-kepala intelijen dan militer. Pemerintah Israel telah berulang kali mengingatkan bahwa semua opsi masih tetap mungkin jika menyangkut program nuklir Iran. Israel dan sebagian komunitas internasional yakin bahwa Iran diam-diam ingin mengembangka senjata nuklir lewat program nuklirnya. Namun pemerintah Iran bersikeras membantahnya dan menegaskan bahwa program nuklirnya semata-mata untuk tujuan damai, yakni sebagai pembangkit energi untuk rakyat.
Spekulasi serangan Israel ke Iran kian merebak. Namun sikap rakyat Israel terpecah soal apakah negara Yahudi itu harus melancarkan serangan ke Iran untuk menghancurkan program nuklirnya. Dalam survei yang dipublikasikan harian Israel, Haaretz seperti dilansir kantor berita AFP, Kamis (3/11/2011), sebanyak 41 persen responden mendukung serangan tersebut. Angka tersebut berbeda tipis dengan jumlah warga yang menentang serangan ke Iran, yakni sebanyak 39 persen. Survei tersebut menunjukkan bahwa opini warga Israel secara statistik terbagi rata, meskipun sebanyak 20 persen responden mengatakan mereka masih belum memutuskan. Polling tersebut mensurvei 495 orang. Polling itu dilakukan di tengah meningkatnya spekulasi di Israel mengenai kemungkinan serangan militer Israel ke fasilitas nuklir Iran. Sebelumnya pada Rabu, 2 November kemarin, media Haaretz memberitakan bahwa Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Ehud Barak tengah menggalang dukungan dari kabinet Israel untuk melancarkan serangan ke Iran.
Sementara itu, saling tuduh antara pemerintah Iran dan Amerika Serikat terus terjadi. Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengaku dirinya punya 100 "dokumen tak terbantahkan" yang membuktikan AS berada di balik aksi-aksi teroris di Iran dan negara-negara lainnya di Timur Tengah. Pernyataan itu disampaikan Khamenei setelah Washington menuduh Teheran terlibat dalam plot untuk membunuh Dubes Arab Saudi untuk AS. Tuduhan itu telah dibantah pemerintah Iran. "Kami memiliki dokumen-dokumen yang tak terbantahkan yang menunjukkan Amerika berada di balik tirai teror di Iran dan wilayah ini," kata Khamenei seperti dilansir kantor berita Reuters, Kamis (3/11/2011). "Dengan menyampaikan 100 dokumen itu, kami akan mempermalukan Amerika di dunia," katanya lagi. Namun Khamenei tidak menyebutkan kapan dirinya akan menyampaikan dokumen-dokumen tersebut dan kepada siapa dokumen itu akan diserahkan. Bulan lalu, pemerintah AS mengumumkan telah membongkar plot dua warga Iran yang terkait pasukan elit Iran, Garda Revolusioner, guna membunuh Dubes Saudi dengan menaruh bom di sebuah restoran di Washington, AS. Pemerintah Iran membantah keterlibatan dalam plot itu. "Amerika mencoba menekan Iran dan menyelamatkan dirinya dari gerakan Wall Street dan masalah-masalahnya dengan skenario teroris tak masuk akal tersebut," cetus Khamenei dalam pernyataan yang disiarkan televisi. "Mereka ingin menuduh para prajurit dan pejuang paling mulia di Iran dengan terorisme," kata Khamenei.
Last month, the United States said it had uncovered a plot by two men with links to Iran's Revolutionary Guards to assassinate the Saudi envoy by planting a bomb in a Washington restaurant. The Iranian government denies any involvement. "America tried to exert pressure on Iran and rescue itself from the Wall Street movement and its problems by the absurd terrorist scenario," Khamenei said during a televised address to an audience of students. "They want to accuse the most virtuous warriors and fighters in Iran of terrorism. "The course of events have changed in the world and by the grace of God the fight of virtue, with the pioneering of Iran, has started against the pharaoh of hegemony and will continue to its final collapse." Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Victoria Nuland mengatakan, tuduhan Khamenei itu tampaknya sebagai reaksi atas kuatnya kasus plot pembunuhan Dubes Saudi. "Saya cuma akan menekankan bahwa tuduhan-tuduhan kami dilakukan di pengadilan AS, dalam dokumen-dokumen yang sekarang terbuka untuk publik dan jelas dan bisa dievaluasi oleh siapapun," tegas Nuland kepada para wartawan di Washington. "Ini cuma retorika lainnya yang dirancang untuk membelokkan perhatian rakyat di Iran dari kegagalan pemerintah Iran untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya sendiri," kata Nuland. Sebelumnya Presiden AS Barack Obama telah mengatakan bahwa temuan plot tersebut diharapkan akan mendorong sanksi yang lebih berat terhadap Iran.
Sedangkan Iran, mulai melakukan "siaga satu" atas ancaman Israel itu. Iran saat ini dalam kondisi siaga penuh. Bahkan pemimpin militer Iran Jenderal Hassan Firouzabadi menegaskan, negaranya akan menghukum dan membuat Israel menyesal jika ancaman itu benar-benar dilakukan. "Kami menganggap setiap ancaman -- bahkan ancaman dengan kemungkinan kecil -- sebagai ancaman pasti. Kami saat ini siaga penuh," kata Firouzabadi seperti diberitakan kantor berita Iran, Fars dan dilansir AFP, Kamis (3/11/2011). "Dengan peralatan yang tepat, kami siap menghukum mereka dan membuat mereka menyesal telah melakukan kesalahan," cetusnya lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar