Sabtu, 28 Agustus 2010

Ketegangan Indonesia - Malaysia : "Dari Wawancara Datuk Seri Anwar Ibrahim"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Agar rakyat Indonesia mengerti, di Malaysia masih ada yang mencintai saudara serumpun (Anwar Ibrahim)

Apa sebenarnya yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia? Mantan Deputi Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Anwar Ibrahim menilai, ketegangan terjadi saat ini sudah akut. Ini adalah sebuah bentuk akumulasi dari berbagai permasalahan yang berlarut. “Sudah sampai pada tingkat massa, ini sudah tidak sehat,” kata Anwar Ibrahim. Menurut dia, betapapun ketegangan itu ada dan terjadi, kepentingan dua bangsa tak boleh dikorbankan. Lalu, mengapa kedua negeri serumpun ini akan merugi jika konflik berlarut? Berikut petikan wawancara Anwar Ibrahim :

Hubungan Indonesia-Malaysia makin panas. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?

Saya berpendapat, bahwa tension [ketegangan] sudah berlarut-larut, dari soal budaya hingga soal TKI. Dan kini soal sempadan [batas wilayah], juga marine [kelautan]. Saya mendesak pimpinan dua negara berunding menangani masalah itu, karena ini sudah sampai pada tingkat massa, ini sudah tidak sehat. Karena betapapun ketegangan itu ada, kepentingan negara yang sangat strategis tak boleh dikorbankan.

Sikap Anda soal pelemparan kotoran ke kantor Kedutaan Besar Malaysia?

Kedua rakyat [baik Malaysia dan Indonesia] tidak mendukung pendirian arogan itu. Pelemparan najis itu tidak wajar. Sekedar mengemukakan pandangan, memprotes, itu ya biasa dalam negara demokrasi. Walaupun di sini [di Malaysia] kurang mengerti, sebab di sini dilarang semua protes-protes. Mereka Yang disenangi pemerintah bisa, yang tidak, lain, dilarang semua, berbeda. Sudah diketahui saya punya pandangan yang relatif intim dengan Indonesia. Di sini disinggung seolah saya senang dengan sikap itu [Bendera], tapi tidak benar. Bagi saya soal hubungan dua negara harus mengatasi kepentingan politik fraksi. Yang malang, pimpinan negara agak slow menangani, dibiarkan gitu makanya parah. Ini persoalan yang harus ditangani dengan rujuk fakta. Kepala negara, wakil, atau pimpinan penting utama harus segera menangani. Soal sempadan, TKI, ini soal lama, saya ingat terus. Dalam hubungan dulu dengan Pak Habibie [Presiden RI, BJ Habibie] saya direct call dengan Pak Habibie, harus begitu.

Apa persepsi warga Malaysia terhadap konflik ini?

Belum merebak. Cuma ada satu pihak, media main sentimen soal isu najis sebagai isu besar meski hanya melibatkan sejumlah kecil orang di Indonesia. Saya juga melihat di koran, dari liputan televisi, banyak yang tidak senang dengan itu. Saya sebagai sahabat sejati Indonesia, saya pun berfikir demikian. Sebab, kalau konflik ini diteruskan, hanya menguntungkan buat yang arogan.

Siapa pihak arogan yang dimaksud?

Kalangan yang tidak senang atau yang mengambil suatu penilaian tidak baik, atau tidak senang dengan hubungan baik dua negara.

Konflik sudah lama terjadi, bukan kali ini saja. Apa sebenarnya persoalan dasar antara Indonesia-Malaysia?

Saya tekankan, ini isu panjang, horizontal. Terutama isu soal TKI, itu sentral. Bahwa TKI harus diperlakukan baik, ada political will. Persepsi orang Indonesia saya tahu benar, bahwa pimpinan atau elit Malaysia selalu arogan. Ini terkungkung kenyataan, [kondisi] di sini tidak juga membantu. Akhirnya timbul reaksi yang memicu ketegangan. Panjang ceritanya, tapi pokoknya, pimpinan harus segera bertindak. Bukan berperang tapi untuk runding. Untuk media massa, Indonesia yang menganut demokrasi, aturan media bebas. Di sini liputan media dikontrol pemerintah, lain. Perbedaan boleh [bisa], tapi kali ini yang bisa kita selesaikan, kita selesaikan.

Apa yang harus dilakukan rakyat untuk menyikapi isu sensitif ini?

Pandangan saya tidak sama dengan pemerintah, pandangan saya berbeda dan kritis. Pesan saya kepada rakyat Indonesia, tunduklah pada hukum. Kalau ada pelanggaran, harus konsisten, negara harus menyelesaikannya. Supaya rakyat Indonesia mengerti, ada kalangan [di Malaysia] yang mencintai saudara serumpun. Mereka bisa protes, itu hak demokrasi, tapi kawal tata susila. Ini pernyataan orang yang simpati dengan Indonesia. Kalau Anda lihat di sini, tiap kali disinggung, baik di parlemen di luar parlemen–Anwar ini tidak nasionalis, dikatakan pro sana pro sini, saya tidak peduli, karena pendirian saya [soal Indonesia] konsisten. Di kalangan UMNO, dikatakan saya senang [jika ada konflik], provokator. Buat saya ya itu politik murahan.

Sikap Anda yang simpati pada Indonesia dipermasalahkan?

Ya, secara terbuka oleh banyak menteri, parlemen, juga masyarakat luas. Saya mewakili pandangan yang mau Indonesia dan Malaysia lebih akrab. Kita dulu amat membutuhkan Indonesia. Saya masih ingat perundingan dengan Pak Harto, "Pak tolong pak soal ini, kita merayu ke negeri jiran, banyak kawan berikan". Penghinaan terhadap bendera Malaysia justru akan digunakan [oleh pihak lain], yang rugi kan rakyat, seperti kami yang menghendaki demokrasi. Mereka akan bilang,”itu kamu mau demokrasi, demokrasi itu bakar bendera.” Padahal itu tidak benar. Itu digunakan tangan tertentu untuk ‘memukul’ kami.

Beredar spekulasi ada kepentingan politik menggunakan isu ini sebagai alat. Misalnya kekuatan politik di Indonesia, atau di Malaysia yang popularitasnya sedang turun. Benarkah?

Ada juga tafsiran itu, ada kesan soal internal --mereka sengaja mengabdikan ini seolah ada serangan, gugat. Saya lihat mainan spirit, survival Melayu yang keterlaluan, rasis. Isu ini dieksploitasi, termasuk isu konflik dengan Indonesia. Tapi saya tidak mendapat keterangan atau informasi soal yang jelas soal itu. Yang mampu saya katakan, bahwa media UMNO sengaja mengaktifkan isu ini. Namun apapun, yang terpenting, kepentingan dua negara jauh lebih penting. Ini yang saya tekankan.

:: Ditulis ulang dari VIVAnews/27 Agustus 2010 - Foto dari www.google.com dan Ilham FB

Tidak ada komentar: