Kamis, 19 Agustus 2010

"Penggalan" Thesis Tan Malaka (10 Juni 1946)

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Colombus tidak akan sampai ke Amerika, kalau Ia bergantung pada pengetahuan yang sudah pasti, yang sudah di uji kebenarannya saja. Dia akan berbalik setengah pelayaran setelah menemui mara bahaya, kalau Ia cuma bergantung kepada teorinya ahli bumi Toscanelli saja.


Seorang nakhoda yang berpengalaman cukup, yang mengemudikan kapal, yang kuat dan baru juga mesti menentukan keadaan pelayaran lebih dahulu sebelum bertolak dari pelabuhan. Taufan yang mengancam di waktu depan, bisa menyebabkan kapal itu menunda perjalanannya atau juga memukul kembali atau membelokkan pelayarannya ke kiri-kanannya bahkan juga memukul kembali ataupun menenggelamkan kapal itu. Syukurlah kalau nachodanya berpengalaman lama serta mengetahui karang dan gerakan udara dilautan yang di tempuh, kini ataupun di hari depan. Tetapi tiadalah dunia akan mendapat kemajuan seperti sekarang, kalau semua nachoda tidak mau berangkat sebelum keadaan udara laut dan cuaca sungguh di ketahui lebih dahulu.

Semangat adventure, mencoba-coba sesuatu yang mengandung bahaya mautpun mesti dilakukan. Berbahagialah suatu negara dan masyarakatnya yang mempunyai semangat adventure itu. Memang lebih dari 50% kemajuan masyarakat kita di tebus oleh jiwa yang bersemangat adventure itu, dalam semua lapangan hidup, politik, ekonomi, militer, bahkan semua cabang ilmu. Dalam revolusi Indonesia sekarang banyak jalan yang belum kita ketahui. Semua jalan masih kedepan asinglah buat kita. Berjalan ke depan berarti adventure, percobaan yang mungkin membawa maut. Perjalanan yang pasti cuma perjalanan ke belakang, yakni kembali kejalan yang kita jalani 350 tahun belakangan ini. Artinya ini kembali mencari jalan penjajahan, kembali menjadi budak jajahan…..berkhianat, kepada turunan sekarang dan anak cucu. Inilah saja sekarang jalan yang pasti terang.

Bahwasanya perjalanan masyarakat kita terutama berarti perjalanan politik ekonomi sebagai garis besarnya. Garis besar dalam politik-ekonomi kita sebagai raitnya masyarakat Indonesia, dalam dunia penuh pertentangan ini, mungkin bertentangan dengan garis besarnya politik-ekonomi negara lain ialah negara kapitalis. Mungkin garis besar kita terpaksa memutar dari garis besar politik-ekonominya negara lain, mungkin mem-viaduci atau menyelundupi kebawah satu terowongan. Bagaimanapun juga ahli politik ekonomilah yang berhak menentukan garis besar dalam perjalanan politik-ekonomi masyarakat Indonesia dalam revolusi sekarang ini.

Timbulnya satu golongan yang bangga menamai dirinya "acedemice" di Indonesia ini sudah mulai memonopoli semua pengetahuan yang berdasarkan ilmu. Di Philipina dan Hindustan, memang percobaan memonopoli itu sudah memperlihatkan hasilnya. Disana sudah masuk betul paham diantara segolongan rakyat, bahwa umpamanya yang memimpin politik itu harusnya satu Mr dan memimpin ekonomi itu mesti suatu Dr dalam ekonomi. Kalau kita ikuti logika semacam itu, jadinya seorang leek bukan bertitel tidak boleh meraba-raba ilmu. Selanjutnya pula seorang Drs (yang baru 75% atau 75 ½% Dr) dalam ekonomi mestinya takluk pula pada seorang Profesor dalam ekonomi. Jadi menurut pikiran pasar "The men on the street" dengan logika semacam ini kalau seorang Drs (ekonomi) umpamanya menulis 3 buku, maka sorang Dr (ekonomi) mesti sekurangnya menulis 4 buku dan satu Profesor jauh lebih banyak dari yang di belakang ini. Dilaksanakan di Indonesia ini, kalau ahli ekonomi kita yang sudah "diakui" itu ialah Drs Moh. Hatta menulis setengah lusin buku tentang ekonomi, maka Dr Samsi mestinya menulis sekurangnya 9 buku dan Prof. Sunario Kolopaking selusin ataupun lebih. Dalam hal politik para Mr-lah yang mesti memimpin politik kita sekarang, ialah menurut logika pasar tadi juga. Tetapi apakah bukti yang kita lihat?

Sedangkan Drs (75% atau 75 ½% Dr) Moh. Hatta menulis lebih setengah lusin, Dr Samsi dan Prof. Sunario Kolopaking sedikit sekali kelihatan buah penanya. Sedangkan di dunia politik Mr Iwa Koesoema Soemantri umpamanya sedikit terdengar suaranya dan cuma dalam kalangan P.B.I-nya saja, tetapi warganegaranya sejawat kita Mr Slamet, sudah sampai suaranya ke "Sri" Ratu dan seluruh rakyat Nederland serta dunia Imperialis lainnya. Demikianlah kalau kita ikuti paham yang di masukkan oleh Imperialisme Barat. Menurut paham itu kalau diambil akibatnya, maka yang bertitel itulah saja yang berhak merundingkan dan memimpin perkara ini atau itu. Yang tidak mepunyai "cap" dari sekolah akademi Barat itu menurut kehendak mereka janganlah di percayai. Tidak ada yang lebih dikenal oleh penyakit ke-akademinya itu daripada sosial science, termasuk ilmu masyarakat itu pula.

Kita membenarkan sama sekali keperluan latihan akademi dalam ilmu seperti kimia, listrik, dan tehnik. Tetapi inipun tidak berarti bahwa yang ulung dan berhak bersuara dalam ilmu semacam itu mestinya hanya keluaran akademi saja. Cukuplah disini disebutkan bahwa pembikin beberapa teori yang amat berharga dalam hal listrik di jaman listrik ini seperti Michael Faraday Cuma keluaran sekolah sebenggol (rendah) saja. Thomas Edison, penemu (inventor) listrik diusir oleh gurunya dari kelas satu atau dua di sekolah rendah tadi pula karena…..bodoh. Penuh contoh lain-lain dalam ilmu seperti tersebut diatas: tehnik, kimia, matematika ataupun BIOLOGY. Banyak ilmu yang dijalani dan teori penting yang dibentuk oleh hokum akademicia. Sebaliknya banyak pula contoh yang membuktikan bahwa akademici itu Cuma tukang hafal saja, tukang "catut" ilmu orang lain saja. Semuanya membuktikan bahwa "title" itu Cuma satu surat "pas" saja dalam dunia kecerdasan, bukanlah kecerdasan sendiri! Apalagi dalam ilmu masyarakat, seperti politik dan ekonomi.

(c) Madilog/Penerbit Murba Jakarta

Tidak ada komentar: