"Carilah inspirasi, pada mereka yang sederhana, jernih berfikir dan berani hidup" (Vaclac Havel)
Nukilan kalimat Vaclac Havel, sastrawan yang juga peletak dasar negara Republik Ceko, rasanya, pada Buya Prof. Ahmad Syafii Ma'arif, nukilan Havel ini bertemu. Mungkin Buya Syafii Ma'arif, bukan satu-satunya. Tapi, pada masa dan hari ini, sosok Buya Syafii Ma'arif adalah representasi terbaik - terlepas dari semua kekurangannya - figur inspiratif. Karena itulah, beberapa jam lalu, kala istri saya mengganti channel TV kepada acara Kick Andy's, saya merasa "dahaga". Sebagaimana halnya content acara Kick Andy's yang selalu inspiratif, kehadiran Buya Syafii Ma'arif dalam talkshow yang digawangi oleh Andy F. Noya juga menjadi pelepas dahaga kala haus akan tokoh-tokoh inspiratif.
Satu jam penuh saya simak runtutan dialog hangat-cair itu, dan akhirnya, apa yang diungkap Havel, bagi saya (ya, bagi saya dan mungkin juga bagi orang lain yang menonton acara ini) ketemu. Buya Syafii Ma'arif memberikan pencerahandan pembelajaran untuk terus optimis dan "berani hidup" (tanda kutip). Sesuatu yang terus diulangnya, sebagaimana yang dulu pernah diutarakan kala ditanya : "mengapa menggejala bom bunuh diri atas nama agama". "Mereka berani mati, tapi tak berani hidup," kata Buya yang merasa berhutang budi pada sahabat-nya Prof. Amien Rais ini. Dalam mengkritik, Buya tak tebang pilih atau pilih kasih. Amien Rais, yang tergolong dekat dengannya tak luput dari kritiknya. Amien pernah “ditegur” ketika mengkritik cukup keras terhadap KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Juga kepada Din Syamsudin, Ketua PP Muhammadiyah yang baru saja terpilih. Kepada Din, Maarif minta agar organisasi Muhammadiyah tidak dibawa ke politik praktis seperti tahun-tahun sebelumnya. Ketika ditanya tentang inkonsistensi tersebut, merasa berhutang budi di satu sisi, tapi menkritik di sisi lain, ia menjawab lugas bahwa sahabat sejati adalah sahabat yang mengingatkan. Sosok Achmad Syafii Maarif ini tergolong unik. Di tengah hiruk pikuk politik dan orang yang berlomba-lomba menumpuk harta kekayaan, mantan Ketua PP Muhammdiyah periode 1999 – 2004 ini justru sebaliknya. Ia tetap kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah dan elit politik yang dianggapnya tidak berpihak kepada rakyat. Bahkan kritik dan teguran yang ia sampaikan kadang cukup pedas sehingga membuat telinga merah orang yang terkena kritikannya. Dan, bagi pria kelahiran Desa Sumpur Kudus, Sumatera Barat 75 tahun lampau ini tidak kenal takut dan ‘keder’ atas apa yang telah ia lakukan.
Satu jam penuh saya simak runtutan dialog hangat-cair itu, dan akhirnya, apa yang diungkap Havel, bagi saya (ya, bagi saya dan mungkin juga bagi orang lain yang menonton acara ini) ketemu. Buya Syafii Ma'arif memberikan pencerahandan pembelajaran untuk terus optimis dan "berani hidup" (tanda kutip). Sesuatu yang terus diulangnya, sebagaimana yang dulu pernah diutarakan kala ditanya : "mengapa menggejala bom bunuh diri atas nama agama". "Mereka berani mati, tapi tak berani hidup," kata Buya yang merasa berhutang budi pada sahabat-nya Prof. Amien Rais ini. Dalam mengkritik, Buya tak tebang pilih atau pilih kasih. Amien Rais, yang tergolong dekat dengannya tak luput dari kritiknya. Amien pernah “ditegur” ketika mengkritik cukup keras terhadap KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Juga kepada Din Syamsudin, Ketua PP Muhammadiyah yang baru saja terpilih. Kepada Din, Maarif minta agar organisasi Muhammadiyah tidak dibawa ke politik praktis seperti tahun-tahun sebelumnya. Ketika ditanya tentang inkonsistensi tersebut, merasa berhutang budi di satu sisi, tapi menkritik di sisi lain, ia menjawab lugas bahwa sahabat sejati adalah sahabat yang mengingatkan. Sosok Achmad Syafii Maarif ini tergolong unik. Di tengah hiruk pikuk politik dan orang yang berlomba-lomba menumpuk harta kekayaan, mantan Ketua PP Muhammdiyah periode 1999 – 2004 ini justru sebaliknya. Ia tetap kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah dan elit politik yang dianggapnya tidak berpihak kepada rakyat. Bahkan kritik dan teguran yang ia sampaikan kadang cukup pedas sehingga membuat telinga merah orang yang terkena kritikannya. Dan, bagi pria kelahiran Desa Sumpur Kudus, Sumatera Barat 75 tahun lampau ini tidak kenal takut dan ‘keder’ atas apa yang telah ia lakukan.
Anak kampung! Begitu cibiran anak-anak kota kepada Syafii. Anak seorang datuak dari Desa Calau Sumpur Kudus Minangkabau ini memang tinggal di kampung, tetapi cita-citanya jauh melebihi anak kota. Kisah Buya Syafii Maarif yang inspiratif tersebut dituangkan dalam sebuah novel berjudul si Anak Kampoeng yang ditulis Damien Dematra. Mengisahkan sosok Syafii Maarif dalam novel si Anak Kampoeng dapat menginspirasi generasi muda agar menyadari bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika ingin berjuang mencapai impian. "Buya, kan , bukan orang berdarah biru, tapi beliau berjuang untuk bisa survive dan sangat luar biasa. Guru spiritual saya, Gus Dur dan Buya," ujar Damien. Syafii Maarif menyampaikan rasa syukur dan terima kasih atas usaha menovelkan kisah hidupnya. Namun, di sela-sela sambutannya, Syafii Maarif tetap merendah hati. "Saya terpaku dan terpukau. Saya enggak ada apa-apanya sebenarnya. Enggak ada cita-cita," ujarnya. Syafii juga berpesan bahwa persaudaraan lintas agama adalah persaudaraan yang tulus, lebih tulus dibandingkan dengan persaudaraan seagama. Buya Syafii memang seorang tokoh pluralis yang menghargai perbedaan agama.
Kepada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah tak terhitung berapa kali ia menyampaikan kritik yang sangat pedas. Ketika SBY di awal pemerintahan mengeluarkan kebijakan memberikan mobil mewah kepada setiap menteri yang membantunya, dengan terang-terangan ia menolak kebijakan itu. Menurut Buya, begitu kadang ia disapa, belum waktunya pemerintah Indonesia memberikan “kemewahan” itu. Menurutnya masih banyak warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Juga soal renovasi pagar istana kepresidenan yang menelan biaya hampir Rp 20 miliar juga tak luput dari kritik pria yang sangat pluralis itu. “Pemerintah hendaknya lebih peka dan mendengarkan suara rakyat. Jangan meremehkan suara rakyat,” ujar Buya memberi peringatan. Syafii Maarif yang kini tinggal di Yogyakarta tergolong orang yang langka. Ia bisa saja mengejar kekayaan dengan modal ilmu yang telah diraih. Lulusan Doktor dari University of Chicago, Amerika Serikat itu memilih hidup sangat sederhana. Ia tidak merasa malu jika bepergian masih menumpang angkutan umum.
Banyak kalangan menilai, Achmad Syafii Maarif yang bangga sebagai anak kampung itu sebagai guru bangsa, walau dalam acara Kick Andy tersebut ia merasa "jengah" dengan sebutan ini (diskriminatif, katanya, karena ibu bangsa tak ada). Melalui sepak terjang dan suri tauladan yang ia perlihatkan patutlah menjadi panutan bangsa Indonesia terutama kepada para pemimpin dan elit politik. Di tengah kehidupan berbangsa yang semakin hedonis, Indonesia sangat membutuhkan Maarif-Maarif yang lain. "Carilah inspirasi, pada mereka yang sederhana, jernih berfikir dan berani hidup", demikian Havel.
:: Sumber : Kick Andy's Show/Minggu sore dalam hitungan 1 Agustus 2010
1 komentar:
Keren nih rating dari filmnya :o Sinopsisnya juga keren sip lah
Posting Komentar