Taufik Abdullah, seorang sejarawan senior LIPI yang berasal dari Minangkabau, pernah mengatakan bahwa jika anda menemukan orang Indonesia dengan nama-nama yang aneh, maka kemungkinan besar orang itu adalah Orang Padang. Pernyataan ini disampaikan pada sebuah seminar Pentas Budaya Minang 2000, 21-22 Oktober 2000, di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Pernyataan ini menyentak peserta seminar yang sebagian besar berasal dari Minangkabau. Apalagi kemudian Taufik menyatakan bahwa hal itu terjadi karena orang Minangkabau kehilangan identitas dirinya. Orang Minangkabau masih sibuk berkutat dengan pencarian “siapa saya?”.
Sinyalemen kehilangan identitas diri, menurut Taufik Abdullah lagi, terjadi karena orang Minang mengalami kesalahan strategi dalam membangun dirinya sehingga melahirkan trauma yang sangat mendalam. Kekalahan total yang dialami pada “peristiwa (pemberontakan?) PRRI” tahun 1958-1960 merupakan kesalahan strategi yang paling besar. Dampak yang terburuk dari peristiwa 1958-1960 ini adalah orang Minang kehilangan kekritisan terhadap semua hal, termasuk kekritisan kepada diri sendiri. Hal ini digambarkan dengan baik oleh Taufik Abdulah dalam Kata Pengantar buku setebal lebih dari 500 halaman yang ditulis oleh Audrey Kahin ini.
Audrey Kahin, pakar Sejarah Asia Tenggara dari Cornell University, melakukan penelitian yang mendalam tentang pergulatan yang dialami masyarakat Sumatera Barat menuju integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berbagai peristiwa yang terjadi sepanjang lebih dari tujuh dasawarsa (1926 – 1998) coba diungkap dan ditelaah lagi secara mendalam. Didukung oleh data primer dan sekunder yang baik, khususnya akses Audrey untuk mendapatkan data sekunder berupa buku-buku dan dokumentasi mengenai Sumatera Barat yang justru lebih banyak tersebar di luar negeri, penelitian ini mampu menggali hal-hal yang selama ini tidak atau belum terungkap dalam penelitian sebelumnya. Hasil penelitian tersebutlah yang kemudian dituangkan Audrey ke dalam buku yang terdiri dari empat bagian utama ditambah satu bagian prolog dan satu bagian epilog. Setiap bagian menggambarkan suatu periode yang menggambarkan pergulatan yang dialami masyarakat Sumatera Barat.
Pada bagian prolog dipaparkan ketika tatanan politik Minangkabau mulai disusun dua tokoh legendaris, Datuak Katumanggungan (DK) dan Datuak Parpatiah nan Sabatang (DPS). DK lebih berkiblat ke sistem pemerintahan Majapahit (Jawa) dalam menyusun tatanan politik di Minangkabau. Sebaliknya, DPS yang tak lain adalah adik DK (mereka satu ibu, tetapi berbeda ayah), lebih menekankan partisipasi masyarakat untuk membangun sebuah tatanan politik. Menurut DK, kemajuan suatu negara tergantung pada kuatnya pusat pemerintahan atau diumpamakan seperti menitis dari langit. Pemimpin sebagai pusat merupakan sumber inspirasi, gagasan, dan keputusan, dan ini sangat dekat dengan tatanan politik Majapahit. Sebaliknya DPS lebih menekankan bahwa kemajuan suatu negara justru tergantung pada partisipasi rakyatnya atau diumpamakan seperti membersit dari bumi. Rakyat merupakan sumber gagasan, sumber inisiatif karena mereka lebih tahu keadaan di lapangan. Pertentangan ini kemudian diselesaikan dengan sebuah perjanjian Batu Batikam yang berisi kesepakatan bahwa dua sistem tersebut harus bisa hidup berdampingan di Alam Minangkabau.
Periode selanjutnya ketika Islam masuk ke Minangkabau. Sistem yang telah baku, terutama masalah garis keturunan matrilineal dan sistem warisan yang telah mengakar pada masyarakat Minangkabau harus berhadapan dengan hukum Islam yang lebih menekankan segi patrilineal. Apalagi ketika paham Wahabi yang dibawa oleh tiga orang haji yang baru pulang dari Mekkah, Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Tatanan masyarakat Minangkabau kembali mendapat tekanan dari gerakan radikal Islam ini. Akhirnya melalui perjanjian Bukit Marapalam, disepakatilah sebuah adagium adat yang sampai saat ini masih berlaku, adaik basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, dimana tatanan ada disempurnakan oleh Islam, yang artinya dua sistem yang terlihat bertentangan ini (khususnya masalah garis keturunan dan warisan) dapat hidup dan berjalan beriringan di Alam Minangkabau.
Memasuki zaman pemerintahan kolonialisme Hindia Belanda, sebuah kejadian yang besar adalah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1926-1927 di Silungkang. Pemberontakan Silungkang ini merupakan manifestasi dari Keputusan Prambanan yang justru ditentang oleh Tan Malaka. Sebuah pertanyaan cukup menggelitik sebenarnya tentang pemberontakan ini, mengapa pemberontakan PKI 1926-1927 terjadi hanya di Sumatera Barat dan Jawa Barat? Padahal keputusan itu diambil di Jawa Tengah yang nota bene pada tahun-tahun itu tidak ada gerakan radikal seperti di Silungkang. Apakah ini merupakan sebuah kesalahan strategi anggota PKI yang berada di Sumatera Barat? Berbicara kesalahan strategi, sangat menarik untuk menguliti bagian ketiga dari buku ini. Pada bagian ini Audrey mencoba memaparkan lebih lanjut temuannya tentang kejadian pada penghujung tahun 50-an dan awal 60-an. Pada masa ini terjadi serangkaian peristiwa besar dalam tatanan politik Indonesia yang berujung pada peristiwa (pemberontakan?) PRRI di Sumatera Barat. Jika kita membaca buku-buku sejarah yang beredar di bangku sekolah atau yang (boleh) beredar di masyarakat, peristiwa (pemberontakan?) PRRI selalu disandingkan dengan Permesta di Sulawesi. Biasanya bahasannya pun sangat sedikit. Bahkan dalam beberapa buku sejarah Sekolah Menengah Tingkat Pertama dan Atas hanya dibahas dalam dua atau tiga paragraf saja. Berawal dari kekecewaan terhadap pemerintahan yang sangat sentralistik, berlanjut pada kekecewaan terhadap pembubaran Devisi Banteng yang akhirnya melahirkan Dewan Banteng. Dewan Banteng ini kemudian menjadi cikal bakal Dewan Perjuangan. Dimotori oleh Letkol Ahmad Husein, meletuslah peristiwa (pemberontakan?) PRRI yang mengeluarkan tuntutan yang termaktub dalam Piagam Perjuangan Menyelamatkan Bangsa.
Pemerintah pusat tidak menanggapi tuntutan tersebut sehingga lima hari setelah ditandatanganinya piagam ini (15 Februari 1958) Dewan Perjuangan membentuk kabinet baru yang diberi nama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sumatera Barat sepenuhnya mendukung gerakan PRRI ini. Perang saudara akhirnya tidak dapat dihindarkan. Padang dan Bukittingi menjadi sasaran pengeboman dari tentara pusat (TNI). Perang yang berlangsung selama kurun waktu 1958 – 1961 sangat dahsyat dan memakan korban dalam jumlah yang sangat besar. Kekalahan akhirnya dialami oleh PRRI. Dampak kekalahan ini justru terbesar dialami oleh masyarakat Sumatera Barat. Seperti yang digambarkan oleh Taufik Abdullah dalam kata pengatar buku ini, ketika ia pulang ke Padang tahun 1961, ia merasakan perubahan yang sangat besar terjadi pada masyarakat Sumatera Barat. Tidak ditemukannya lagi kekhasan orang Minangkabau. Kekalahan PRRI, dilanjutkan dengan berbagai peristiwa selanjutnya dengan puncak tragedi 1965 yang kemudian melahirkan era baru dalam sistem pemerintahan Indonesia yang lebih sentralistik di bawah kekuasaan Presiden Soeharto, membuat masyarakat Minangkabau tambah tenggelam dan kehilangan identitasnya. Sistem pemerintahan Minangkabau yang terkenal dengan keegaliterannya benar-benar tenggelam dalam bayang-bayang sistem pemerintahan sentralistik dan hierarkis ala Jawa.
Sumber : ditulis ulang dari ©sangdenai
Sinyalemen kehilangan identitas diri, menurut Taufik Abdullah lagi, terjadi karena orang Minang mengalami kesalahan strategi dalam membangun dirinya sehingga melahirkan trauma yang sangat mendalam. Kekalahan total yang dialami pada “peristiwa (pemberontakan?) PRRI” tahun 1958-1960 merupakan kesalahan strategi yang paling besar. Dampak yang terburuk dari peristiwa 1958-1960 ini adalah orang Minang kehilangan kekritisan terhadap semua hal, termasuk kekritisan kepada diri sendiri. Hal ini digambarkan dengan baik oleh Taufik Abdulah dalam Kata Pengantar buku setebal lebih dari 500 halaman yang ditulis oleh Audrey Kahin ini.
Audrey Kahin, pakar Sejarah Asia Tenggara dari Cornell University, melakukan penelitian yang mendalam tentang pergulatan yang dialami masyarakat Sumatera Barat menuju integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berbagai peristiwa yang terjadi sepanjang lebih dari tujuh dasawarsa (1926 – 1998) coba diungkap dan ditelaah lagi secara mendalam. Didukung oleh data primer dan sekunder yang baik, khususnya akses Audrey untuk mendapatkan data sekunder berupa buku-buku dan dokumentasi mengenai Sumatera Barat yang justru lebih banyak tersebar di luar negeri, penelitian ini mampu menggali hal-hal yang selama ini tidak atau belum terungkap dalam penelitian sebelumnya. Hasil penelitian tersebutlah yang kemudian dituangkan Audrey ke dalam buku yang terdiri dari empat bagian utama ditambah satu bagian prolog dan satu bagian epilog. Setiap bagian menggambarkan suatu periode yang menggambarkan pergulatan yang dialami masyarakat Sumatera Barat.
Pada bagian prolog dipaparkan ketika tatanan politik Minangkabau mulai disusun dua tokoh legendaris, Datuak Katumanggungan (DK) dan Datuak Parpatiah nan Sabatang (DPS). DK lebih berkiblat ke sistem pemerintahan Majapahit (Jawa) dalam menyusun tatanan politik di Minangkabau. Sebaliknya, DPS yang tak lain adalah adik DK (mereka satu ibu, tetapi berbeda ayah), lebih menekankan partisipasi masyarakat untuk membangun sebuah tatanan politik. Menurut DK, kemajuan suatu negara tergantung pada kuatnya pusat pemerintahan atau diumpamakan seperti menitis dari langit. Pemimpin sebagai pusat merupakan sumber inspirasi, gagasan, dan keputusan, dan ini sangat dekat dengan tatanan politik Majapahit. Sebaliknya DPS lebih menekankan bahwa kemajuan suatu negara justru tergantung pada partisipasi rakyatnya atau diumpamakan seperti membersit dari bumi. Rakyat merupakan sumber gagasan, sumber inisiatif karena mereka lebih tahu keadaan di lapangan. Pertentangan ini kemudian diselesaikan dengan sebuah perjanjian Batu Batikam yang berisi kesepakatan bahwa dua sistem tersebut harus bisa hidup berdampingan di Alam Minangkabau.
Periode selanjutnya ketika Islam masuk ke Minangkabau. Sistem yang telah baku, terutama masalah garis keturunan matrilineal dan sistem warisan yang telah mengakar pada masyarakat Minangkabau harus berhadapan dengan hukum Islam yang lebih menekankan segi patrilineal. Apalagi ketika paham Wahabi yang dibawa oleh tiga orang haji yang baru pulang dari Mekkah, Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Tatanan masyarakat Minangkabau kembali mendapat tekanan dari gerakan radikal Islam ini. Akhirnya melalui perjanjian Bukit Marapalam, disepakatilah sebuah adagium adat yang sampai saat ini masih berlaku, adaik basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, dimana tatanan ada disempurnakan oleh Islam, yang artinya dua sistem yang terlihat bertentangan ini (khususnya masalah garis keturunan dan warisan) dapat hidup dan berjalan beriringan di Alam Minangkabau.
Memasuki zaman pemerintahan kolonialisme Hindia Belanda, sebuah kejadian yang besar adalah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1926-1927 di Silungkang. Pemberontakan Silungkang ini merupakan manifestasi dari Keputusan Prambanan yang justru ditentang oleh Tan Malaka. Sebuah pertanyaan cukup menggelitik sebenarnya tentang pemberontakan ini, mengapa pemberontakan PKI 1926-1927 terjadi hanya di Sumatera Barat dan Jawa Barat? Padahal keputusan itu diambil di Jawa Tengah yang nota bene pada tahun-tahun itu tidak ada gerakan radikal seperti di Silungkang. Apakah ini merupakan sebuah kesalahan strategi anggota PKI yang berada di Sumatera Barat? Berbicara kesalahan strategi, sangat menarik untuk menguliti bagian ketiga dari buku ini. Pada bagian ini Audrey mencoba memaparkan lebih lanjut temuannya tentang kejadian pada penghujung tahun 50-an dan awal 60-an. Pada masa ini terjadi serangkaian peristiwa besar dalam tatanan politik Indonesia yang berujung pada peristiwa (pemberontakan?) PRRI di Sumatera Barat. Jika kita membaca buku-buku sejarah yang beredar di bangku sekolah atau yang (boleh) beredar di masyarakat, peristiwa (pemberontakan?) PRRI selalu disandingkan dengan Permesta di Sulawesi. Biasanya bahasannya pun sangat sedikit. Bahkan dalam beberapa buku sejarah Sekolah Menengah Tingkat Pertama dan Atas hanya dibahas dalam dua atau tiga paragraf saja. Berawal dari kekecewaan terhadap pemerintahan yang sangat sentralistik, berlanjut pada kekecewaan terhadap pembubaran Devisi Banteng yang akhirnya melahirkan Dewan Banteng. Dewan Banteng ini kemudian menjadi cikal bakal Dewan Perjuangan. Dimotori oleh Letkol Ahmad Husein, meletuslah peristiwa (pemberontakan?) PRRI yang mengeluarkan tuntutan yang termaktub dalam Piagam Perjuangan Menyelamatkan Bangsa.
Pemerintah pusat tidak menanggapi tuntutan tersebut sehingga lima hari setelah ditandatanganinya piagam ini (15 Februari 1958) Dewan Perjuangan membentuk kabinet baru yang diberi nama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sumatera Barat sepenuhnya mendukung gerakan PRRI ini. Perang saudara akhirnya tidak dapat dihindarkan. Padang dan Bukittingi menjadi sasaran pengeboman dari tentara pusat (TNI). Perang yang berlangsung selama kurun waktu 1958 – 1961 sangat dahsyat dan memakan korban dalam jumlah yang sangat besar.
Sumber : ditulis ulang dari ©sangdenai
1 komentar:
baik untuk dibaca dan diamalkan
Posting Komentar