Ayahnya adalah, menurut Van Dijk, "mantri penjual candu, seorang perantara dalam jaringan distribusi candu siap pakai yang dikontrol dan diusahakan pemerintah". Dan sekolahnya pun sekuler : Inlandsche School der Tweede Klasse, HIS, ELS, dan kemudian NIAS-sekolah dokter Jawa. Menariknya, warna nonsantri itu tidak muncul dalam pembicaraan mengenai Kartosoewirjo. Sebaliknya, figur ini justru dikenal sebagai bagian penting dari pergerakan Islam, khususnya dalam kaitannya dengan gagasan dan eksperimen negara Islam.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah tokoh menarik. Dari segi nama, penilaian subyektif saya mengatakan figur ini tidak memiliki Islamic credential yang kuat. Demikian pula jika dilihat dari sisi penampilan. Potret dirinya, seperti tampak dalam buku Cornelis van Dijk yang berjudul Darul Islam, tidak mengesankan sebagai santri dalam perspektif Clifford Geertz. Foto itu bahkan lebih tampak berkarakter abangan. Kesan "nonsantri" ini diperkuat dengan asal-usul sosialnya yang berspektrum priayi-abangan. Di Indonesia, wacana dan karya kesarjanaan tentang negara Islam sering dikaitkan dengan aspirasi ideologis dan politis "golongan agama"-yang kemudian bermetamorfosis menjadi partai Islam. Ini karena mereka, sebagaimana tecermin dalam perdebatan di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (1945) dan Sidang Konstituante (1956-1957), ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Meski demikian, Kartosoewirjolah yang berasal-usul sosial nonsantri itu, yang menyatakan sikap politiknya secara lebih tegas: memaklumkan berdirinya Negara Islam Indonesia melalui gerakan Darul Islam. Sementara golongan agama atau partai Islam "hanya" berani mengusulkan Islam sebagai dasar negara, Kartosoewirjo tanpa ragu memilih mendeklarasikan negara Islam.
Terlepas dari soal nama, penampilan, dan asal-usul keluarga yang "bukan santri", kehidupan Kartosoewirjo tidak kosong dari warna Islam. Setidaknya dia pernah dekat dengan H.O.S. Tjokroaminoto-bapak penggerak nasionalisme Indonesia melalui Sarekat Islam. Berbeda dengan Soekarno atau Semaoen-Darsono yang juga menjadikan Tjokroaminoto sebagai mentor, Kartosoewirjo bahkan pernah bergabung dengan PSII dan Masyumi. Dia juga melatih pemuda-pemuda dalam lembaga Suffah yang dibangunnya. Atas dasar itu dapatlah dikatakan bahwa Islamic credential yang disandang Kartosoewirjo lebih bersifat institusional daripada substansial. Kartosoewirjo barangkali memang tidak memiliki pengetahuan tentang Islam sedalam Wachid Hasyim, Mohammad Natsir, atau Isa Anshari. Lagi-lagi menurut Van Dijk, substansi Islam diperolehnya secara otodidak melalui buku-buku berbahasa Belanda, yang dia dapatkan dari kiai-kiai Malangbong, seperti Yusuf Tauziri dan Ardiwisastra-mertuanya.
Barangkali sadar akan hal ini, yaitu keterbatasan mengenai keluasan dan kedalaman Islam, Kartosoewirjo tidak bersedia membuang waktu untuk menggali dasar-dasar teologi tentang perlunya negara Islam. Dan memang, Negara Islam Indonesia yang dia proklamasikan pada 7 Agustus 1949 lebih merupakan reaksi politis daripada agama atas situasi yang berkembang waktu itu. Deliar Noer, misalnya, percaya bahwa gerakan Darul Islam muncul karena Kartosoewirjo-yang ketika itu "memimpin sebagian kekuatan bersenjata umat di daerah Jawa Barat"-tidak setuju dengan Persetujuan Renville. Inti persetujuan itu adalah ditariknya kekuatan bersenjata Indonesia, termasuk Hizbullah dan Sabilillah, dari daerah yang dianggap dikuasai Belanda. Tapi sebenarnya, di luar Persetujuan Renville, ada faktor lain yang menyebabkan kelahiran Negara Islam Indonesia, seperti berdirinya Negara Pasundan ciptaan Belanda pada Maret 1948 dan-ini barangkali yang paling menentukan-jatuhnya pemerintahan RI di Yogyakarta pada Desember 1948 karena aksi polisional Belanda.
Dalam konteks seperti itu, kental warna kebencian terhadap kolonialisme Belanda dalam kaitannya dengan berdirinya Negara Islam Indonesia. Bahwa kemudian Kartosoewirjo memberi makna jihad dalam reaksinya terhadap perkembangan keadaan, hal itu merupakan sesuatu yang lumrah. Gagasan mengenai jihad memberikan dimensi lain, nilai tambah, dalam perang melawan Belanda-walaupun harus pula disadari, dalam tradisi masyarakat agraris yang masih sangat tradisional, belum tentu pemahaman tentang jihad memiliki kedalaman makna teologis. Bisa saja jihad dimengerti dalam konteks mesianistik-menghadirkan juru selamat yang diridhoi Tuhan. Bukankah, sekali lagi menurut Van Dijk, Kartosoewirjo juga dilukiskan sebagai pemimpin yang memiliki kekuatan mistik, lengkap dengan keris dan pedangnya-Ki Dongkol dan Ki Rompang? Tentu, kualitas yang dimiliki Kartosoewirjo tidak unik, tidak hanya ada pada dirinya sendiri. Sejak awal abad ke-20 sampai sekarang, pejuang negara Islam tidak selalu berasal dari kalangan muslim yang-dalam kerangka antropologis masyarakat Indonesia-disebut santri. Di belahan dunia lain, pejuang negara Islam itu ada yang berasal-usul seperti Kartosoewirjo, setidaknya jebolan perguruan tinggi sekuler, bukan madrasah. Ini artinya, seperti tampak dalam sejarah pergerakan Darul Islam di Indonesia, gagasan mengenai negara Islam tidak mesti muncul karena kesadaran keagamaan. Ide itu bisa juga lahir sebagai respons atas perkembangan keadaan.
:: (c) Bakhtiar Effendi/Ditulis ulang dari "Edisi Khusus Kartosoewirjo" Majalah Tempo/Agustus 2010
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah tokoh menarik. Dari segi nama, penilaian subyektif saya mengatakan figur ini tidak memiliki Islamic credential yang kuat. Demikian pula jika dilihat dari sisi penampilan. Potret dirinya, seperti tampak dalam buku Cornelis van Dijk yang berjudul Darul Islam, tidak mengesankan sebagai santri dalam perspektif Clifford Geertz. Foto itu bahkan lebih tampak berkarakter abangan. Kesan "nonsantri" ini diperkuat dengan asal-usul sosialnya yang berspektrum priayi-abangan. Di Indonesia, wacana dan karya kesarjanaan tentang negara Islam sering dikaitkan dengan aspirasi ideologis dan politis "golongan agama"-yang kemudian bermetamorfosis menjadi partai Islam. Ini karena mereka, sebagaimana tecermin dalam perdebatan di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (1945) dan Sidang Konstituante (1956-1957), ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Meski demikian, Kartosoewirjolah yang berasal-usul sosial nonsantri itu, yang menyatakan sikap politiknya secara lebih tegas: memaklumkan berdirinya Negara Islam Indonesia melalui gerakan Darul Islam. Sementara golongan agama atau partai Islam "hanya" berani mengusulkan Islam sebagai dasar negara, Kartosoewirjo tanpa ragu memilih mendeklarasikan negara Islam.
Terlepas dari soal nama, penampilan, dan asal-usul keluarga yang "bukan santri", kehidupan Kartosoewirjo tidak kosong dari warna Islam. Setidaknya dia pernah dekat dengan H.O.S. Tjokroaminoto-bapak penggerak nasionalisme Indonesia melalui Sarekat Islam. Berbeda dengan Soekarno atau Semaoen-Darsono yang juga menjadikan Tjokroaminoto sebagai mentor, Kartosoewirjo bahkan pernah bergabung dengan PSII dan Masyumi. Dia juga melatih pemuda-pemuda dalam lembaga Suffah yang dibangunnya. Atas dasar itu dapatlah dikatakan bahwa Islamic credential yang disandang Kartosoewirjo lebih bersifat institusional daripada substansial. Kartosoewirjo barangkali memang tidak memiliki pengetahuan tentang Islam sedalam Wachid Hasyim, Mohammad Natsir, atau Isa Anshari. Lagi-lagi menurut Van Dijk, substansi Islam diperolehnya secara otodidak melalui buku-buku berbahasa Belanda, yang dia dapatkan dari kiai-kiai Malangbong, seperti Yusuf Tauziri dan Ardiwisastra-mertuanya.
Barangkali sadar akan hal ini, yaitu keterbatasan mengenai keluasan dan kedalaman Islam, Kartosoewirjo tidak bersedia membuang waktu untuk menggali dasar-dasar teologi tentang perlunya negara Islam. Dan memang, Negara Islam Indonesia yang dia proklamasikan pada 7 Agustus 1949 lebih merupakan reaksi politis daripada agama atas situasi yang berkembang waktu itu. Deliar Noer, misalnya, percaya bahwa gerakan Darul Islam muncul karena Kartosoewirjo-yang ketika itu "memimpin sebagian kekuatan bersenjata umat di daerah Jawa Barat"-tidak setuju dengan Persetujuan Renville. Inti persetujuan itu adalah ditariknya kekuatan bersenjata Indonesia, termasuk Hizbullah dan Sabilillah, dari daerah yang dianggap dikuasai Belanda. Tapi sebenarnya, di luar Persetujuan Renville, ada faktor lain yang menyebabkan kelahiran Negara Islam Indonesia, seperti berdirinya Negara Pasundan ciptaan Belanda pada Maret 1948 dan-ini barangkali yang paling menentukan-jatuhnya pemerintahan RI di Yogyakarta pada Desember 1948 karena aksi polisional Belanda.
Dalam konteks seperti itu, kental warna kebencian terhadap kolonialisme Belanda dalam kaitannya dengan berdirinya Negara Islam Indonesia. Bahwa kemudian Kartosoewirjo memberi makna jihad dalam reaksinya terhadap perkembangan keadaan, hal itu merupakan sesuatu yang lumrah. Gagasan mengenai jihad memberikan dimensi lain, nilai tambah, dalam perang melawan Belanda-walaupun harus pula disadari, dalam tradisi masyarakat agraris yang masih sangat tradisional, belum tentu pemahaman tentang jihad memiliki kedalaman makna teologis. Bisa saja jihad dimengerti dalam konteks mesianistik-menghadirkan juru selamat yang diridhoi Tuhan. Bukankah, sekali lagi menurut Van Dijk, Kartosoewirjo juga dilukiskan sebagai pemimpin yang memiliki kekuatan mistik, lengkap dengan keris dan pedangnya-Ki Dongkol dan Ki Rompang? Tentu, kualitas yang dimiliki Kartosoewirjo tidak unik, tidak hanya ada pada dirinya sendiri. Sejak awal abad ke-20 sampai sekarang, pejuang negara Islam tidak selalu berasal dari kalangan muslim yang-dalam kerangka antropologis masyarakat Indonesia-disebut santri. Di belahan dunia lain, pejuang negara Islam itu ada yang berasal-usul seperti Kartosoewirjo, setidaknya jebolan perguruan tinggi sekuler, bukan madrasah. Ini artinya, seperti tampak dalam sejarah pergerakan Darul Islam di Indonesia, gagasan mengenai negara Islam tidak mesti muncul karena kesadaran keagamaan. Ide itu bisa juga lahir sebagai respons atas perkembangan keadaan.
:: (c) Bakhtiar Effendi/Ditulis ulang dari "Edisi Khusus Kartosoewirjo" Majalah Tempo/Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar