Timor, maksudnya Timor Timur, memang sangat penting artinya bagi Soeharto pribadi dan rezimnya. Timor Timur adalah lambang kesetiaan Soeharto dan rezimnya terhadap negara super power Amerika Serikat. Dalam cakupan yang lebih sempit, sejarah nasional, Timor Timur adalah piala kebanggaan Soeharto untuk mengimbangi prestasi patriotis Bung Karno, yang berhasil menyatukan Papua ke dalam dekapan negara dan bangsa Indonesia.
Alangkah cepatnya bangsa ini lupa. Rasanya baru kemarin, anak-anak sekolah di seluruh negeri ini didoktrin mengenai propinsi ke-27. Mengenai saudara-saudara sebangsa yang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Dan, rasanya masih segar dalam ingatan, betapa Soeharto tampak bangga dan tersenyum sumringah, ketika meresmikan pabrik mobil nasional (mobnas) milik putra kandungnya, Tommy Hutomo Mandalaputra. Timor, itulah nama yang diberikan Soeharto untuk merek mobnas yang sejatinya buatan Korsel itu. Pemberian nama itu sebenarnya mengherankan, karena menyimpang dari kecenderungan sang diktator pada masa itu. Kita tahu, Soeharto pada dekade terakhir kekuasaannya sudah semakin mirip seorang raja, dengan nuansa budaya Jawa Tengah yang kental—termasuk pakai Primbon saat mengambil kebijakan kenegaraan yang penting. Contohnya pesawat komuter CN-235, produk kebanggan industri pesawat terbang Nurtanio, oleh Soeharto diberi nama Tetuko. Nah, kenapa mobnas yang kontroversial itu diberinya nama Timor ?
Di sisi lain, Timor Timur seperti halnya Aceh adalah alat yang pas untuk siasat cerdik Soeharto, membuat tentara sibuk dalam jangka waktu cukup panjang, agar jangan terulang kembali kejadian moncong tank diarahkan ke Istana Negara—seperti dialami Bung Karno. Namun bagi rakyat Indonesia, Timor Timur adalah bukti “kejeniusan” Soeharto yang tak terlupakan. Dia korbankan ratusan trilyun rupiah, hasil keringat bangsa ini, untuk petualangan yang dungu dan sia-sia, di wilayah tandus yang hanya cocok ditanami kopi itu. Dan, Soeharto hanya duduk manis seperti penonton, ketika puluhan ribu tentara kita terpaksa mundur dari wilayah Timor Timur, dengan label sebagai tentara pendudukan yang kalah. Soeharto tak mengatakan sepatah kata pun, sekadar untuk menghibur puluhan ribu tentara kita yang terpaksa keluar dari propinsi ke-27 itu dengan hati yang hancur dan harga diri terluka, karena tak diijinkan bertempur dan mati demi mempertahankan Merah Putih tetap berkibar di Timor Timur. Puluhan ribu tentara kita terpaksa mundur dari tanah yang diyakininya sebagai bagian dari Tanah Tumpah Darahnya, bagian dari wilayah negaranya yang berdaulat seperti dinyatakan dalam Keputusan MPR. Bukankah itu pengalaman yang benar-benar menyakitkan bagi puluhan ribu laki-laki yang memang dilatih untuk tugas suci itu, untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI ? Bukankah hari itu, sesungguhnya dan sejujurnya, adalah hari kekalahan kita sebagai sebuah bangsa ?
Bolehkah kita melupakannya begitu saja ? Pada dekade 90-an kita menyaksikan perubahan situasi dunia yang dramatis. Negara super power Uni Soviet runtuh dari dalam, menyusul kemudian Tembok Berlin dirubuhkan. Itu menandai berakhirnya era Perang Dingin yang sudah berlangsung hampir 40 tahun, yaitu persaingan ideologis Blok Barat (AS dan sekutu-sekutunya) dengan Blok Timur (Uni Soviet) . Tetapi Soeharto, yang memang kurang cakap urusan politik dan diplomasi internasional, tidak mengantisipasi sama sekali dampak perubahan global tersebut. Anak petani asal Kemusuk itu masih juga menggertak rakyat mengenai ancaman kembalinya komunis. Masih tetap represif terhadap kelompok-kelompok yang kritis mengoreksi kepemimpinannya yang makin korup, nepotis dan menyakiti rakyat. Dan masih pula mengandalkan bedil dan penjara untuk mengendalikan Timor Timur. Soeharto tidak mengantisipasi, bahwa konsekuensi logis dari perubahan situasi politik global adalah berubahnya strategi Amerika Serikat dalam mempertahankan hegemoninya di seluruh dunia. Pendek kata, AS tidak lagi menganggap komunis sebagai ancaman, sehingga para peminpin anti-komunis seperti Soeharto tidak dibutuhkan lagi sebagai sekutu. Khusus mengenai Timor Timur, AS menunjukkan sinyal melepaskan dukungannya, melalui pemberlakuan embargo senjata terhadap Indonesia. Embargo tersebut adalah tamparan buat Soeharto, sekaligus menurunkan wibawanya di mata para jenderal ABRI. Sebagai pembanding, di kala perang merebut Irian Barat dari Belanda, Soekarno mampu mengatasi embargo semacam itu. Dengan kelihaiannya berdiplomasi, presiden pertama RI itu mendapatkan suplai persenjataan berat dari Uni Soviet.
Tapi sebenarnya, pesan paling penting yang disampaikan Pentagon melalui pemberlakukan embargo itu adalah menarik dukungan yang telah diberikan selama 30 tahun terhadap rezim Soeharto. Orang Medan menyebutnya pekong alias pecah kongsi. Dan sejarah membuktikan, setiap diktator yang tak didukung lagi oleh AS pasti jatuh. Contoh paling menonjol kejatuhan Shah Iran Reza Pahlevi dan diktator Filipina Ferdinand Marcos. Perubahan sikap AS tentu menyakitkan bagi Soeharto, yang sejak hari pertama menjadi penguasa Indonesia selalu bersikap sebagai “keponakan” yang patuh terhadap Paman Sam. Tak terhitung banyaknya kebijakan Soeharto yang mencekik rakyat Indonesia, termasuk mengizinkan kaum kapitalis barat menguras habis kekayaan alam negeri ini, asalkan dia bisa menyenangkan AS. Krisis kedele yang terjadi baru-baru ini adalah akibat kepatuhan Soeharto kepada AS, lewat kebijakan yang menyebabkan Indonesia tergantung pada impor kedele dari negara koboi itu.
Pencaplokan Timor Timur juga merupakan servis Soeharto untuk Gedung Putih. Awalnya tahun 1974, Menlu AS Henry Kissinger diam-diam menemui Soeharto di Cendana, dengan sebuah perintah singkat : Indonesia harus kuasai Timor Timur sekarang juga. Pesan itu disertai peringatan QQC, agar Indonesia mencaplok Timor Timur dengan Quick, Quiet and Clear. Lakukan dengan cepat, jangan berisik dan beres. Ternyata rezim Soeharto mengerjakannya dengan LRS : Lama, Ribut dan Sadis; termasuk pembunuhan beberapa wartawan asing yang membuat dunia internasional marah. Tekanan terhadap Soeharto makin bertambah, karena sejumlah jenderal Angkatan Darat mulai berani mengkritik perilaku anak-anak Soeharto yang terlalu tamak dalam mencari uang, dengan memanfaatkan kekuasaan bapaknya sebagai presiden. Para jenderal itu bahkan mulai menyarankan secara halus, agar demokratisasi mulai dijalankan, dan proses mundurnya Soeharto dari panggung kekuasaan harus segera dipersiapkan. Soeharto merespon imbauan para jenderal itu sebagai tanda-tanda pembangkangan. Tapi karena tidak berani menindak para jenderal itu, dia berpaling mencari dukungan dari kalangan politik Islam, dengan mengangkat Habibie sebagai operator yang kemudian membentuk ICMI. Pertarungan politik inilah yang membuat kebijakan pemerintah mengenai Timor Timur diwarnai dualisme. Kalangan militer menghendaki kucuran dana untuk pembangunan propinsi itu ditingkatkan, sebaliknya kalangan sipil yang dipimpin Habibie lebih memprioritaskan proyek-proyek populis untuk memobilisasi dukungan rakyat miskin, dan juga prioritas industri pesawatnya yang terkenal boros itu.
Aneksasi Timor Timur yang dilakukan rezim Soeharto adalah petualangan yang dungu, mahal dan dan sia-sia. Pengorbanan nyawa ribuan putra-putra bangsa. Hasil keringat ratusan juta penduduk, dikorbankan untuk membangun dusun-dusun primitif di Timtim menjadi kota-kota dan desa-desa modern. Anak-anak mereka yang buta huruf dididik sampai menjadi sarjana. Tapi apa imbalannya bagi rakyat Indonesia ? Cuma satu kata : PENJAJAH. Suka atau tidak, itulah kenyataanya. Kita semua, Bangsa Indonesia, akan selalu dikenang oleh rakyat Timor Leste sebagai PENJAJAH. Sungguh ironis dan menyedihkan. Dengan semua yang telah dikorbankan oleh rakyat Indonesia demi kemajuan Timor Timur, dengan semua kata-kata agung dan indah “kemerdekaan adalah hak segala bangsa” yang tertulis dalam Mukadimah UUD 45; dengan segala keberanian dan kepioniran Bung Karno mendorong kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah di Asia dan Afrika, dengan pidato Bung Karno “Mankind is One” yang sangat menggetarkan Sidang Umum PBB, ternyata kita adalah bangsa PENJAJAH. Kita tidak menaruh dendam pada rakyat Timor Timur, hanya lantaran “saudara-saudara sebangsa” itu tak sudi hidup bersama dengan kita, di bawah panji Merah Putih. Sebaliknya kita harus memuji, dengan memilih merdeka mereka telah membebaskan diri dari sejarah kita yang gelap dan berlumur darah, dan dari beban utang luar negeri yang tidak bakal lunas sampai tujuh turunan. MERDEKA!
:: Disarikan dari diskusi via Facebook (c) Robert Manurung/Foto Suharto dan Peta Timor Timur dari www.google.com
Alangkah cepatnya bangsa ini lupa. Rasanya baru kemarin, anak-anak sekolah di seluruh negeri ini didoktrin mengenai propinsi ke-27. Mengenai saudara-saudara sebangsa yang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Dan, rasanya masih segar dalam ingatan, betapa Soeharto tampak bangga dan tersenyum sumringah, ketika meresmikan pabrik mobil nasional (mobnas) milik putra kandungnya, Tommy Hutomo Mandalaputra. Timor, itulah nama yang diberikan Soeharto untuk merek mobnas yang sejatinya buatan Korsel itu. Pemberian nama itu sebenarnya mengherankan, karena menyimpang dari kecenderungan sang diktator pada masa itu. Kita tahu, Soeharto pada dekade terakhir kekuasaannya sudah semakin mirip seorang raja, dengan nuansa budaya Jawa Tengah yang kental—termasuk pakai Primbon saat mengambil kebijakan kenegaraan yang penting. Contohnya pesawat komuter CN-235, produk kebanggan industri pesawat terbang Nurtanio, oleh Soeharto diberi nama Tetuko. Nah, kenapa mobnas yang kontroversial itu diberinya nama Timor ?
Di sisi lain, Timor Timur seperti halnya Aceh adalah alat yang pas untuk siasat cerdik Soeharto, membuat tentara sibuk dalam jangka waktu cukup panjang, agar jangan terulang kembali kejadian moncong tank diarahkan ke Istana Negara—seperti dialami Bung Karno. Namun bagi rakyat Indonesia, Timor Timur adalah bukti “kejeniusan” Soeharto yang tak terlupakan. Dia korbankan ratusan trilyun rupiah, hasil keringat bangsa ini, untuk petualangan yang dungu dan sia-sia, di wilayah tandus yang hanya cocok ditanami kopi itu. Dan, Soeharto hanya duduk manis seperti penonton, ketika puluhan ribu tentara kita terpaksa mundur dari wilayah Timor Timur, dengan label sebagai tentara pendudukan yang kalah. Soeharto tak mengatakan sepatah kata pun, sekadar untuk menghibur puluhan ribu tentara kita yang terpaksa keluar dari propinsi ke-27 itu dengan hati yang hancur dan harga diri terluka, karena tak diijinkan bertempur dan mati demi mempertahankan Merah Putih tetap berkibar di Timor Timur. Puluhan ribu tentara kita terpaksa mundur dari tanah yang diyakininya sebagai bagian dari Tanah Tumpah Darahnya, bagian dari wilayah negaranya yang berdaulat seperti dinyatakan dalam Keputusan MPR. Bukankah itu pengalaman yang benar-benar menyakitkan bagi puluhan ribu laki-laki yang memang dilatih untuk tugas suci itu, untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI ? Bukankah hari itu, sesungguhnya dan sejujurnya, adalah hari kekalahan kita sebagai sebuah bangsa ?
Bolehkah kita melupakannya begitu saja ? Pada dekade 90-an kita menyaksikan perubahan situasi dunia yang dramatis. Negara super power Uni Soviet runtuh dari dalam, menyusul kemudian Tembok Berlin dirubuhkan. Itu menandai berakhirnya era Perang Dingin yang sudah berlangsung hampir 40 tahun, yaitu persaingan ideologis Blok Barat (AS dan sekutu-sekutunya) dengan Blok Timur (Uni Soviet) . Tetapi Soeharto, yang memang kurang cakap urusan politik dan diplomasi internasional, tidak mengantisipasi sama sekali dampak perubahan global tersebut. Anak petani asal Kemusuk itu masih juga menggertak rakyat mengenai ancaman kembalinya komunis. Masih tetap represif terhadap kelompok-kelompok yang kritis mengoreksi kepemimpinannya yang makin korup, nepotis dan menyakiti rakyat. Dan masih pula mengandalkan bedil dan penjara untuk mengendalikan Timor Timur. Soeharto tidak mengantisipasi, bahwa konsekuensi logis dari perubahan situasi politik global adalah berubahnya strategi Amerika Serikat dalam mempertahankan hegemoninya di seluruh dunia. Pendek kata, AS tidak lagi menganggap komunis sebagai ancaman, sehingga para peminpin anti-komunis seperti Soeharto tidak dibutuhkan lagi sebagai sekutu. Khusus mengenai Timor Timur, AS menunjukkan sinyal melepaskan dukungannya, melalui pemberlakuan embargo senjata terhadap Indonesia. Embargo tersebut adalah tamparan buat Soeharto, sekaligus menurunkan wibawanya di mata para jenderal ABRI. Sebagai pembanding, di kala perang merebut Irian Barat dari Belanda, Soekarno mampu mengatasi embargo semacam itu. Dengan kelihaiannya berdiplomasi, presiden pertama RI itu mendapatkan suplai persenjataan berat dari Uni Soviet.
Tapi sebenarnya, pesan paling penting yang disampaikan Pentagon melalui pemberlakukan embargo itu adalah menarik dukungan yang telah diberikan selama 30 tahun terhadap rezim Soeharto. Orang Medan menyebutnya pekong alias pecah kongsi. Dan sejarah membuktikan, setiap diktator yang tak didukung lagi oleh AS pasti jatuh. Contoh paling menonjol kejatuhan Shah Iran Reza Pahlevi dan diktator Filipina Ferdinand Marcos. Perubahan sikap AS tentu menyakitkan bagi Soeharto, yang sejak hari pertama menjadi penguasa Indonesia selalu bersikap sebagai “keponakan” yang patuh terhadap Paman Sam. Tak terhitung banyaknya kebijakan Soeharto yang mencekik rakyat Indonesia, termasuk mengizinkan kaum kapitalis barat menguras habis kekayaan alam negeri ini, asalkan dia bisa menyenangkan AS. Krisis kedele yang terjadi baru-baru ini adalah akibat kepatuhan Soeharto kepada AS, lewat kebijakan yang menyebabkan Indonesia tergantung pada impor kedele dari negara koboi itu.
Pencaplokan Timor Timur juga merupakan servis Soeharto untuk Gedung Putih. Awalnya tahun 1974, Menlu AS Henry Kissinger diam-diam menemui Soeharto di Cendana, dengan sebuah perintah singkat : Indonesia harus kuasai Timor Timur sekarang juga. Pesan itu disertai peringatan QQC, agar Indonesia mencaplok Timor Timur dengan Quick, Quiet and Clear. Lakukan dengan cepat, jangan berisik dan beres. Ternyata rezim Soeharto mengerjakannya dengan LRS : Lama, Ribut dan Sadis; termasuk pembunuhan beberapa wartawan asing yang membuat dunia internasional marah. Tekanan terhadap Soeharto makin bertambah, karena sejumlah jenderal Angkatan Darat mulai berani mengkritik perilaku anak-anak Soeharto yang terlalu tamak dalam mencari uang, dengan memanfaatkan kekuasaan bapaknya sebagai presiden. Para jenderal itu bahkan mulai menyarankan secara halus, agar demokratisasi mulai dijalankan, dan proses mundurnya Soeharto dari panggung kekuasaan harus segera dipersiapkan. Soeharto merespon imbauan para jenderal itu sebagai tanda-tanda pembangkangan. Tapi karena tidak berani menindak para jenderal itu, dia berpaling mencari dukungan dari kalangan politik Islam, dengan mengangkat Habibie sebagai operator yang kemudian membentuk ICMI. Pertarungan politik inilah yang membuat kebijakan pemerintah mengenai Timor Timur diwarnai dualisme. Kalangan militer menghendaki kucuran dana untuk pembangunan propinsi itu ditingkatkan, sebaliknya kalangan sipil yang dipimpin Habibie lebih memprioritaskan proyek-proyek populis untuk memobilisasi dukungan rakyat miskin, dan juga prioritas industri pesawatnya yang terkenal boros itu.
Aneksasi Timor Timur yang dilakukan rezim Soeharto adalah petualangan yang dungu, mahal dan dan sia-sia. Pengorbanan nyawa ribuan putra-putra bangsa. Hasil keringat ratusan juta penduduk, dikorbankan untuk membangun dusun-dusun primitif di Timtim menjadi kota-kota dan desa-desa modern. Anak-anak mereka yang buta huruf dididik sampai menjadi sarjana. Tapi apa imbalannya bagi rakyat Indonesia ? Cuma satu kata : PENJAJAH. Suka atau tidak, itulah kenyataanya. Kita semua, Bangsa Indonesia, akan selalu dikenang oleh rakyat Timor Leste sebagai PENJAJAH. Sungguh ironis dan menyedihkan. Dengan semua yang telah dikorbankan oleh rakyat Indonesia demi kemajuan Timor Timur, dengan semua kata-kata agung dan indah “kemerdekaan adalah hak segala bangsa” yang tertulis dalam Mukadimah UUD 45; dengan segala keberanian dan kepioniran Bung Karno mendorong kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah di Asia dan Afrika, dengan pidato Bung Karno “Mankind is One” yang sangat menggetarkan Sidang Umum PBB, ternyata kita adalah bangsa PENJAJAH. Kita tidak menaruh dendam pada rakyat Timor Timur, hanya lantaran “saudara-saudara sebangsa” itu tak sudi hidup bersama dengan kita, di bawah panji Merah Putih. Sebaliknya kita harus memuji, dengan memilih merdeka mereka telah membebaskan diri dari sejarah kita yang gelap dan berlumur darah, dan dari beban utang luar negeri yang tidak bakal lunas sampai tujuh turunan. MERDEKA!
:: Disarikan dari diskusi via Facebook (c) Robert Manurung/Foto Suharto dan Peta Timor Timur dari www.google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar