Tempat tinggal sebuah pilihan yang paling aman. Saya harus segera mencari istri baru. Hanya dengan berbini baru maka sebatang badan akan lebih aman ditumpangkan.
Saya cukup terperangah mendapati kenyataan bahwa ternyata tidak terlalu banyak orang yang memahami istilah kecenderungan laki-laki Minangkabau (sumando?) sebagai "abu di ateh tunggua” yang terpaksa terbang dari tempat dia “menumpangkan badan" hanya gara-gara angin kencang yang berhembus, persis seperti abu yang teronggok di atas tunggul pohon sisa tebangan. Simaklah apa yang saya alami berikut ini :
Saya adalah seorang kepala keluarga yang sangat baik, mampu memenuhi nafkah anak istri dan sangat penyayang sehingga hubungan saya dengan anak-anak menjadi sangat dekat. Namun, malang tak dapat ditolak dan untung tidak dapat diraih, istri saya meninggal dunia. Pada saat itu, saya masih menumpang di rumah mertua dan belum memiliki rumah sendiri karena belum cukup rizki. Sekalipun mertua saya sudah memperlakukan saya seperti anak kandungnya sendiri dan beliau meminta saya untuk tetap bertahan namun saya akan tetap terpaksa angkat kaki dari rumah almarhumah istri saya ini karena tidak mungkin saya akan merasa nyaman sebatangkara di tengah-tengah "mamak rumah" serta "pambayan" dan kakak ipar saya yang kebetulan anak gadisnya juga sudah besar. Bagaimana nasib anak-anak saya? Tadinya saya sempat mengasihi diri sendiri tetapi nasib anak-anak saya justru tidak kalah malang, sudah jatuh ditimpa tangga pula, bunda mereka meninggal dan kemudian harus pula berpisah dengan ayah yang mereka sayangi. Di usia mereka yang masih belia, mereka tentu tidak mengerti kenapa mereka harus berpisah dengan ayah mereka bukan karena “adat yang berbeda” sebagaimana dendang Isabella-nya Amy Search tetapi justru karena adat yang sama. Sebagai laki-laki Minang yang bertanggung jawab maka saya tidak ingin anak-anak saya berpisah dengan saya. Saya ingin memberi kasih sayang kepada mereka sebisanya tetapi apa hendak dikata, jangankan dengan mengajak anak-anak saya, diri saya sendiripun masih belum tentu bisa saya “tumpangkan” dimana. Saya kesulitan pula “menumpangkan” badan di “rumah asa” kerana ibu saya sudah meninggal sedangkan adik perempuan saya yang sekarang menghuni rumah tersebut selalu berpendapat bahwa harta “pusako tinggi” adalah sepenuhnya milik anak perempuan.
Saya sudah tahu hal itu dari ucapan dan perbuatannya. Jangankan sebuah kamar, sebuah ranjang pun tidak tersedia untuk saya tiduri di rumah dimana saya dilahirkan dan dibesarkan. Saya tahu bahwa hal tersebut memang tidak lazim di Minangkabau karena dalam “dongeng” Minangkabau laki-laki itu tempatnya bukan di rumah ibunya, tetapi di surau. Saya katakan “dongeng” karena seluruh surau dan masjid di Minangkabau sekarang sudah dikunci rapat bila malam menjelang. Jangankan untuk tidur, untuk beri’tikaf pun masih dilarang. Malangnya lagi, rumah tersebut memang tidak bisa pula dianggap sebagai “pusako randah” sebab bukan dibangun oleh orang tua kami. Kami sudah menempatinya selama dua generasi secara turun temurun. Sedangkan suami adik saya bisa saya golongkan kepada suami takut istri, disamping takut diusir adik saya yang berkarakter keras, juga karena pusako tinggi yang kami milki sangat membantu keperluan dapur mereka sekeluarga. Saya tidak menyalahkan dia takut kepada istrinya, malah saya ikut mendukung karena keluarga sumando saya ini selalu bersengketa masalah harta pusaka. Mereka tidak pernah akur.
Sumando saya ini pula yang pernah berkata kepada saya bahwa “niniak mamak” di Minangkabau sudah seperti “abu di ateh tunggua”, sama dengan “sumando”. Jadi, sikap “takut istri” yang dilakoni bukan dikarenakan lemahnya kepribadiannya tetapi betul-betul karena sebuah pilihan, demi keamanan hari tuanya. Masalahnya, seluruh yang pernah dia ungkapkan itu yang menimpa saya saat ini, niniak mamak yang telah jadi “abu di ateh tunggua”, bukan karena diusir istri dan bukan pula karena bercerai, tetapi karena istri meninggal dunia. Saya putar pikiran kemana kemungkinan lain sebatang badan akan bisa ditumpangkan. Teringat adik laki-laki yang beristri ke kampung lain. Rasanya hal ini masih mungkin dilakukan karena adik saya sudah membeli tanah di lingkungan suku (kaum) istrinya dan telah membangun rumah sendiri dari hasil jerih payahnya. Bagaimanapun, tetap saja hal ini jadi pilihan yang sulit karena akan tampak sangat janggal dan tidak lazim seorang laki-laki Minang menumpang di rumah dan di kampung istri adik laki-lakinya, di tengah-tengah kaum istrinya tersebut. Tentu akan tampak “cando sarato jangga”. Namun, anggaplah “cando sarato jangga” diabaikan, tetapi bagaimana dengan anak-anak saya?
Bukankah rata-rata perempuan Minang kurang terlatih menganggap anak-anak dari saudara laki-laki suaminya adalah juga keluarga dekatnya? Saya juga tidak bisa menyalahkan hal itu karena memang suku anak saya tidak sama dengan suku anak adik laki-laki saya. Di mata istri adik saya, keluarga dekatnya adalah yang sesuku (sekaum) dengannya saja. Lagipula, anak-anak saya akan dapat beban psikologis untuk hidup di tengah kelompok yang sukunya tidak sama, apalagi kalau perlakuan kepada mereka nyata-nyata berbeda. Lantas, kemana lagi badan akan ditumpangkan?
Ternyata benar sekali apa yang pernah terlintas di pikiran saya dulu bahwa menjadi anak piatu di Minangkabau, seperti yang dialami anak-anak saya saat ini, jauh lebih malang daripada jadi anak yatim. Begitu seorang anak Minang jadi piatu maka secara tidak langsung anak tersebut sudah menjadi anak yatim karena bapaknya hanyalah "abu di ateh tunggua". Tidakkah “abu di ateh tunggua” ini buah dari kekurangpahaman perempuan Minang yang lebih suka dipanggil “Bundo Kanduang” dalam memahami peran ketika menjalankan ketentuan adat dan syarak? Ataukah ini bukti tidak berperannya Tungku nan Tigo Sajarangan dalam “menanai” falsafah Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah? Wallahu ‘Alam Bishawab
::: Sebagaimana yang ditulis ulang dari diskusi di Facebook Suharmen
Saya adalah seorang kepala keluarga yang sangat baik, mampu memenuhi nafkah anak istri dan sangat penyayang sehingga hubungan saya dengan anak-anak menjadi sangat dekat. Namun, malang tak dapat ditolak dan untung tidak dapat diraih, istri saya meninggal dunia. Pada saat itu, saya masih menumpang di rumah mertua dan belum memiliki rumah sendiri karena belum cukup rizki. Sekalipun mertua saya sudah memperlakukan saya seperti anak kandungnya sendiri dan beliau meminta saya untuk tetap bertahan namun saya akan tetap terpaksa angkat kaki dari rumah almarhumah istri saya ini karena tidak mungkin saya akan merasa nyaman sebatangkara di tengah-tengah "mamak rumah" serta "pambayan" dan kakak ipar saya yang kebetulan anak gadisnya juga sudah besar. Bagaimana nasib anak-anak saya? Tadinya saya sempat mengasihi diri sendiri tetapi nasib anak-anak saya justru tidak kalah malang, sudah jatuh ditimpa tangga pula, bunda mereka meninggal dan kemudian harus pula berpisah dengan ayah yang mereka sayangi. Di usia mereka yang masih belia, mereka tentu tidak mengerti kenapa mereka harus berpisah dengan ayah mereka bukan karena “adat yang berbeda” sebagaimana dendang Isabella-nya Amy Search tetapi justru karena adat yang sama. Sebagai laki-laki Minang yang bertanggung jawab maka saya tidak ingin anak-anak saya berpisah dengan saya. Saya ingin memberi kasih sayang kepada mereka sebisanya tetapi apa hendak dikata, jangankan dengan mengajak anak-anak saya, diri saya sendiripun masih belum tentu bisa saya “tumpangkan” dimana. Saya kesulitan pula “menumpangkan” badan di “rumah asa” kerana ibu saya sudah meninggal sedangkan adik perempuan saya yang sekarang menghuni rumah tersebut selalu berpendapat bahwa harta “pusako tinggi” adalah sepenuhnya milik anak perempuan.
Saya sudah tahu hal itu dari ucapan dan perbuatannya. Jangankan sebuah kamar, sebuah ranjang pun tidak tersedia untuk saya tiduri di rumah dimana saya dilahirkan dan dibesarkan. Saya tahu bahwa hal tersebut memang tidak lazim di Minangkabau karena dalam “dongeng” Minangkabau laki-laki itu tempatnya bukan di rumah ibunya, tetapi di surau. Saya katakan “dongeng” karena seluruh surau dan masjid di Minangkabau sekarang sudah dikunci rapat bila malam menjelang. Jangankan untuk tidur, untuk beri’tikaf pun masih dilarang. Malangnya lagi, rumah tersebut memang tidak bisa pula dianggap sebagai “pusako randah” sebab bukan dibangun oleh orang tua kami. Kami sudah menempatinya selama dua generasi secara turun temurun. Sedangkan suami adik saya bisa saya golongkan kepada suami takut istri, disamping takut diusir adik saya yang berkarakter keras, juga karena pusako tinggi yang kami milki sangat membantu keperluan dapur mereka sekeluarga. Saya tidak menyalahkan dia takut kepada istrinya, malah saya ikut mendukung karena keluarga sumando saya ini selalu bersengketa masalah harta pusaka. Mereka tidak pernah akur.
Sumando saya ini pula yang pernah berkata kepada saya bahwa “niniak mamak” di Minangkabau sudah seperti “abu di ateh tunggua”, sama dengan “sumando”. Jadi, sikap “takut istri” yang dilakoni bukan dikarenakan lemahnya kepribadiannya tetapi betul-betul karena sebuah pilihan, demi keamanan hari tuanya. Masalahnya, seluruh yang pernah dia ungkapkan itu yang menimpa saya saat ini, niniak mamak yang telah jadi “abu di ateh tunggua”, bukan karena diusir istri dan bukan pula karena bercerai, tetapi karena istri meninggal dunia. Saya putar pikiran kemana kemungkinan lain sebatang badan akan bisa ditumpangkan. Teringat adik laki-laki yang beristri ke kampung lain. Rasanya hal ini masih mungkin dilakukan karena adik saya sudah membeli tanah di lingkungan suku (kaum) istrinya dan telah membangun rumah sendiri dari hasil jerih payahnya. Bagaimanapun, tetap saja hal ini jadi pilihan yang sulit karena akan tampak sangat janggal dan tidak lazim seorang laki-laki Minang menumpang di rumah dan di kampung istri adik laki-lakinya, di tengah-tengah kaum istrinya tersebut. Tentu akan tampak “cando sarato jangga”. Namun, anggaplah “cando sarato jangga” diabaikan, tetapi bagaimana dengan anak-anak saya?
Bukankah rata-rata perempuan Minang kurang terlatih menganggap anak-anak dari saudara laki-laki suaminya adalah juga keluarga dekatnya? Saya juga tidak bisa menyalahkan hal itu karena memang suku anak saya tidak sama dengan suku anak adik laki-laki saya. Di mata istri adik saya, keluarga dekatnya adalah yang sesuku (sekaum) dengannya saja. Lagipula, anak-anak saya akan dapat beban psikologis untuk hidup di tengah kelompok yang sukunya tidak sama, apalagi kalau perlakuan kepada mereka nyata-nyata berbeda. Lantas, kemana lagi badan akan ditumpangkan?
Ternyata benar sekali apa yang pernah terlintas di pikiran saya dulu bahwa menjadi anak piatu di Minangkabau, seperti yang dialami anak-anak saya saat ini, jauh lebih malang daripada jadi anak yatim. Begitu seorang anak Minang jadi piatu maka secara tidak langsung anak tersebut sudah menjadi anak yatim karena bapaknya hanyalah "abu di ateh tunggua". Tidakkah “abu di ateh tunggua” ini buah dari kekurangpahaman perempuan Minang yang lebih suka dipanggil “Bundo Kanduang” dalam memahami peran ketika menjalankan ketentuan adat dan syarak? Ataukah ini bukti tidak berperannya Tungku nan Tigo Sajarangan dalam “menanai” falsafah Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah? Wallahu ‘Alam Bishawab
::: Sebagaimana yang ditulis ulang dari diskusi di Facebook Suharmen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar