Senin, 09 Agustus 2010

Way in the Jugle : Pengantar Fikr Wa Adab

Oleh : Muhammad Ilham

Artikel ini merupakan Makalah Pengantar penulis untuk Jurnal Internasional Fikr wa Adab Volume 5 Nomor 7 Tahun 2008/2009 yang diterbitkan olehJabatan Pengajian Agama dan Tamaddun Islam Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia, Selangor Darul Ehsan Malaysia dan FIBA IAIN Padang.

Filosof Cina Klasik, Lut Szun suatu ketika pernah memberikan pencerahan tentang makna sebuah harapan. Baginya harapan adalah way in the jungle – jalan di dalam rimba. Pada awalnya jalan tersebut tidak ada, akan tetapi karena sering dilalui, maka jalan tersebut ada dengan sendirinya. Banyak harapan tertumpah bagi Fikr wa Adab. Harapan yang terkadang terkesan ”muluk-muluk”, ”mendahului waktu” atau tidak menghargai sebuah proses. Harapan untuk menjadikan Fikr wa Adab sebagai jurnal berkualitas internasional yang kelak bisa dijadikan rujukan keilmuan – setidaknya bagi kajian sastra dan peradaban Islam. Sebuah harapan yang sangat idealistis, tapi tidak kecil kemungkinan bisa diraih.

”Jalan” di rimba itu terus dijalani oleh waktu dan proses. Sudah sekian edisi, perhubungan dan kerjasama dua hala ini (antara Fakultas Ilmu Budaya – Adab IAIN Imam Bonjol Padang dengan Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia) dibina. Fikr wa Adab sudah mulai tampak ”jalannya”. Tapi mungkin harapan yang ideal tersebut, belum tercapai. Akan tetapi, proses untuk ”melalui” jalan tersebut terus dilalui agar harapan yang terkesan ideal-utopis bisa diwujudkan. Lut Szun telah memberikan perumpamaan yang baik bagi harapan semua pihak terhadap Fikr wa Adab. Kehadiran Fikr wa Adab edisi kali ini merupakan sebuah proses untuk terus memperbaiki jalan Fikr wa Adab ke arah yang lebih sempurna. Tak ada perubahan dramatis baik dari aspek ”kerabat pelaksana teknis” ataupun mainstream tulisan. Namun setidaknya, telah mulai ditata perbaikan-perbaikan terutama mainstream tulisannya ataupun layout-tampilan perwajahan. Semua ini dilakukan dalam kerangka perbaikan berketerusan agar harapan ideal diatas bisa dicapai. Waktu dalam proses-lah yang akan memberikan ”vonis”. Akan tetapi, ikhtiar atau usaha menjadi sebuah keharusan. Karena ikhtiar tersebutlah – meminjam istilah Kahlil Gibran – yang sebenar-benarnya takdir. Waktu dan proses adalah tempat bersemainya sebuah ikhtiar.


Dalam edisi kali ini, tulisan Usman Hamid dan Badali Muhammad Hasyim tentang Islam Hadhari merupakan tulisan pembuka. Usman dan Badali berusaha melihat aspek nilai-nilai ideologis dari icon ideologis-politik berbasis ideologis agama (baca: Islam) dari Perdana Menteri Abdullah Haji Ahmad Badawi ini. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bogdan Mitchel, setiap pemimpin membawa icon ideologis. Maka Islam Hadhari merupakan icon-nya Pak Lah, sebagaimana halnya Islam Hijau-nya Muammar Qaddhafi atau Api Islam-nya Soekarno. Dalam tulisan tersebut, Usman dan Badali berusaha melihat dan menterjemahkan nilai-nilai Islam Hadhari bagi kondisi dan tuntutan sosial-temporal dunia Melayu.
Sementara itu, Irhash A. Shamad memberikan kesimpulan bahwa perkembangan aliran tarikat Syathariyah dari pesisir barat ke wilayah pedalaman Minangkabau telah melahirkan suatu sintesis baru akibat pertemuannya dengan aliran tarikat Naqsyabandiah yang telah lebih dahulu mendasari budaya masyarakat setempat. Sintesis ini dapat dilihat pada akhir abad ke-18, di mana surau-surau di wilayah Agam memainkan peranan dalam melahirkan gagasan-gagasan kemasyarakatan yang berdasarkan syar’iyyah. Kemudian latar belakang kultural masyarakat di wilayah pedalaman yang lebih dekat dengan pusat adat Minangkabau telah menempatkan golongan agama berseberangan dengan golongan adat. Ini pada gilirannya telah melahirkan dinamika tersendiri yang memperkaya substansi ajaran sufistik pedalaman dan sekaligus menjadi fenomena kesejarahan yang dialektis dan berimplikasi pada gagasan-gagasan awal pembaharuan Islam di Minangkabau. Kesimpulan yang diberikan oleh Irhash ini merupakan hasil penelitian beliau tentang Dinamika Sufisme di Minangkabau.

Kajian Biografis dilakukan oleh dua orang penulis yaitu kajian biografis Abdul Qahir al-Jurjani dalam kedudukannya sebagai salah satu pilar “epistimologis” ilmu Balaghah menjadi kunci pembahasan yang dikemukakan oleh
Arnisma Agus dan posisi serta peran historis Khalid bin Walid dalam sejarah Islam menjadi pembahasan yang diangkatkan oleh Saifullah SA. Terlepas dari kualitas dan ragam tulisan, namun bila dilihat dari edisi-edisi Fikr wa Adab, mainstream tulisan dan perwajahan-layout. Semoga kedepan Fikr wa Adab akan terus berbenah. sebelum ini, sudah terdapat “pola” yang cukup bagus terutama yang menyangkut

Tidak ada komentar: