Artikel ini merupakan Makalah Pengantar penulis untuk Jurnal Tabuah (Ta'limat Budaya, Agama dan Sejarah Islam) Volume XIV Nomor 1 Tahun 2009/2010 yang diterbitkan oleh FIBA IAIN Padang.
“Tersebutlah kisah bahwa sebelumnya raja dipercayai sebagai pemimpin yang tidak mempunyai keturunan sampai dia mati terbunuh. Namun di malam ketika raja terbunuh itu gundiknya meminum air mani raja sehingga dia mengandung dan melahirkan Raja Kecil. Setelah Raja Kecil lahir dia tidak diakui langsung sebagai seorang Pangeran yang akan melanjutkan silsilah kerajaan tetapi dia harus membuktikan kesatriaannya dengan mengembara dan kemudian kembali menakhlukkan kerajaan. Cerita yang banyak berkembang di tengah-tengah masyarakat itu sebenarnya dihadirkan untuk mengukuhkan keberadaan raja, peneliti-peneliti asing tentang melayu tidak mengakuinya sebagai sebuah sejarah sebagaimana rakyat setempat mempercayainya” (Secara umum, bagian ini dikutip dari “Raja Melawar”, melayuonline.com). Mereka (peneliti asing seperti C.C. Brown, C.C. Berg, Leonard Y Andaya, Virginia Matheson, Merle C Ricklefs, dan lain-lain) lebih mempercayai sebagai “omong besar” atau cerita yang dilebih-lebihkan. Walaupun mereka menyebutnya sebagai sejarah seperti Sejarah Johor, Sejarah Melayu, dan Sejarah Patani. Hal ini berkaitan dengan tradisi lisan masyarakat dalam mewariskan sejarahnya dan tradisi bercerita seperti bakaba di Minangkabau.
Lalu apa kaitannya dengan tradisi merantau yang konon kabarnya menjadi salah satu ciri orang Minang? Merantau, walau istilah baru, tidak selama kisah raja-raja Minangkabau yang memerintah di negeri orang itu, tetapi dalam berbagai kurun waktu tetap hadir dengan berbagai nama atau istilah yang ditempelkan kepada tradisi hijrah ke negeri lain untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik itu. Merantau kalau ditelusuri akar sejarahnya akan bermuara pada kebudayaan nomaden nenek moyang manusia dalam mempertahankan hidup. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan umum masyarakat Minangkabau bahwa tidak ada manusia asli di bumi ini yang hadir mambasuik (muncul) dari bumi. Semua manusia dipercayai berasal dari Adam dan kemudian menjadi pengembara keseluruh penjuru dunia seiring perkembangan biakan manusia itu.
Masyarakat Minangkabau menganggab manusia asal atau pribumi hanyalah orang yang pertama menduduki tempat itu. Orang yang pertama datang dan bermukim dari pengembaraan panjangnya. Tardisi hidup berpindah-pindah itu kemudian dalam kehidupan baru menjelma dalam bentuk tradisi merantau. Maka tersebutlah orang-orang sukses itu kerena dia merantau. Berani menghadang hidup keras dan memenangkan pertarungan dalam mengalahkan segala rintangan yang menghadang. Nama-nama perantau sukses itu diabadikan orang dan menjadi buah bibir oleh anak muda di kampung halamannya. Maka tersebut perantau-perantau itu sebagian kecilnya adalah Malewar dan Raja Kecil. Kehadiran Raja Kecil yang penuh mitos sebenarnya untuk mengukuhkan kekuasaannya dan menarik mayarakat untuk mendukungnya. Hal ini sama dengan banyak tokoh yang menyejarah seperti Bundo Kanduang, Iskandar Zulkarnain, Ken Arok, bahkan pemimpin-peminpin masa kini yang garis keturunannya tidak lepas dari orang-orang hebat. Dalam hal ini mitos dapat berfungsi untuk mengukuhkan jati diri seorang pemimpin dan hal ini sangat penting sekali dalam perantauan banyak orang.
Timothy P. Bernard dalam tesisnya untuk meraih Master of Arts pada The College of Art and Science of Ohio University Amerika Serikat, (Maret 1991: 22) berkomentar tentang kesuksesan Raja Kecil dalam memamfaatkan mitos sebagai pendukung kesuksesan dalam merantau. Ia menyebutkan bahwa: “Mitos dalam Sejarah Melayu menghidangkan sebuah piagam bagi sistem politik dan inilah yang dimanipulasi Raja Kecil untuk mencapai tujuannya menguasai Johor. Kemampuannya mempengaruhi keadaan melalui motif-motif mitos oleh sarjana barat berkembang menjadi historiografi. Oleh karena pertentangan mitos dengan sejarah nampaknya tetap menjadi permasalahan dalam kajian teks-teks Melayu tradisional, muncul permasalahan pemahaman mengapa ia berbentuk demikian.”
Dengan demikian teranglah bagi kita bahwa tradisi merantau yang mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau bukan hanya tradisi “kemaren sore” atau tradisi baru karena telah “sempit” (susah) hidup di negeri sendiri. Tetapi merantau bagi masyarakat Minangkabau dipandang sebagai sebuah cara untuk berkembangnya manusia di dunia dan tradisi ini telah ada semenjak leluhur nenek moyangnya. Seperti Maharaja Diraja anak Iskandar Zulkarnain yang merantau ke negeri yang kemudian bernama Minangkabau ini atau seperti merantaunya Malewar dan Raja Kecil ke tanah Melayu.
Dalam konteks diataslah – edisi Jurnal Tabuah kali ini menurunkan artikel kunci, dalam hal ini Nelmawarni melalui artikelnya tentang Merantau. Kandidat Ph.D Sejarah Sosial di FSSK Universiti Kebangsaan Malaysia ini berusaha membedah faktor-faktor mengapa masyarakat Minangkabau menjadikan merantau sebagai “genuine tradition”-nya. “Walaupun tak baru, namun jalan harus selalu ditempuh”, demikian Tolstoy. Walaupun tulisan Nelmawarni yang dijadikan sebagai tulisan kunci TABUAH kali ini (karena tradisi ini sudah banyak ditulis para pakar), namun setidaknya, tulisan Nelmawarni tersebut berusaha melengkapi sisi-sisi “kosong” yang selama ini tidak terlengkapi oleh penulis-penulis atau peneliti tentang Merantau terdahahulu. Terlepas dari plus-minus artikel-artikel dalam TABUAH Volume XIV Nomor 1 ini, keinginan untuk mentradisikan serta menumbuhkembangkan budaya tulis (sebagaimana yang menjadi spirit intelektualisme Islam Minangkabau), tetap terus dijaga. Semoga kehadiran TABUAH Volume XIV Nomor 1 ini bermanfaat dan menjadi bahagian “kecil” dari usaha besar menjaga peradaban ummat Islam.
Lalu apa kaitannya dengan tradisi merantau yang konon kabarnya menjadi salah satu ciri orang Minang? Merantau, walau istilah baru, tidak selama kisah raja-raja Minangkabau yang memerintah di negeri orang itu, tetapi dalam berbagai kurun waktu tetap hadir dengan berbagai nama atau istilah yang ditempelkan kepada tradisi hijrah ke negeri lain untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik itu.
Masyarakat Minangkabau menganggab manusia asal atau pribumi hanyalah orang yang pertama menduduki tempat itu. Orang yang pertama datang dan bermukim dari pengembaraan panjangnya. Tardisi hidup berpindah-pindah itu kemudian dalam kehidupan baru menjelma dalam bentuk tradisi merantau. Maka tersebutlah orang-orang sukses itu kerena dia merantau. Berani menghadang hidup keras dan memenangkan pertarungan dalam mengalahkan segala rintangan yang menghadang. Nama-nama perantau sukses itu diabadikan orang dan menjadi buah bibir oleh anak muda di kampung halamannya. Maka tersebut perantau-perantau itu sebagian kecilnya adalah Malewar dan Raja Kecil.
Timothy P. Bernard dalam tesisnya untuk meraih Master of Arts pada The College of Art and Science of Ohio University Amerika Serikat, (Maret 1991: 22) berkomentar tentang kesuksesan Raja Kecil dalam memamfaatkan mitos sebagai pendukung kesuksesan dalam merantau. Ia menyebutkan bahwa: “Mitos dalam Sejarah Melayu menghidangkan sebuah piagam bagi sistem politik dan inilah yang dimanipulasi Raja Kecil untuk mencapai tujuannya menguasai Johor. Kemampuannya mempengaruhi keadaan melalui motif-motif mitos oleh sarjana barat berkembang menjadi historiografi. Oleh karena pertentangan mitos dengan sejarah nampaknya tetap menjadi permasalahan dalam kajian teks-teks Melayu tradisional, muncul permasalahan pemahaman mengapa ia berbentuk demikian.”
Dengan demikian teranglah bagi kita bahwa tradisi merantau yang mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau bukan hanya tradisi “kemaren sore” atau tradisi baru karena telah “sempit” (susah) hidup di negeri sendiri. Tetapi merantau bagi masyarakat Minangkabau dipandang sebagai sebuah cara untuk berkembangnya manusia di dunia dan tradisi ini telah ada semenjak leluhur nenek moyangnya. Seperti Maharaja Diraja anak Iskandar Zulkarnain yang merantau ke negeri yang kemudian bernama Minangkabau ini atau seperti merantaunya Malewar dan Raja Kecil ke tanah Melayu.
Dalam konteks diataslah – edisi Jurnal Tabuah kali ini menurunkan artikel kunci, dalam hal ini Nelmawarni melalui artikelnya tentang Merantau. Kandidat Ph.D Sejarah Sosial di FSSK Universiti Kebangsaan Malaysia ini berusaha membedah faktor-faktor mengapa masyarakat Minangkabau menjadikan merantau sebagai “genuine tradition”-nya. “Walaupun tak baru, namun jalan harus selalu ditempuh”, demikian Tolstoy. Walaupun tulisan Nelmawarni yang dijadikan sebagai tulisan kunci TABUAH kali ini (karena tradisi ini sudah banyak ditulis para pakar), namun setidaknya, tulisan Nelmawarni tersebut berusaha melengkapi sisi-sisi “kosong” yang selama ini tidak terlengkapi oleh penulis-penulis atau peneliti tentang Merantau terdahahulu. Terlepas dari plus-minus artikel-artikel dalam TABUAH Volume XIV Nomor 1 ini, keinginan untuk mentradisikan serta menumbuhkembangkan budaya tulis (sebagaimana yang menjadi spirit intelektualisme Islam Minangkabau), tetap terus dijaga. Semoga kehadiran TABUAH Volume XIV Nomor 1 ini bermanfaat dan menjadi bahagian “kecil” dari usaha besar menjaga peradaban ummat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar