Senin, 02 Agustus 2010

Pramoedya Ananta Toer : "Saya Terbakar Amarah Sendirian"

Oleh : Muhammad Ilham

"Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai." (Pramoedya Ananta Toer)

Kala awal kuliah tahun 1993, nama Pram bagi saya adalah sesuatu yang "asing". Sampai suatu masa kala Tetralogi nya yang terkenal itu saya baca, hingga puluhan kali. Sebuah mahakarya novel sejarah yang hingga hari ini sulit saya cari tandingannya, setidaknya bagi saya. Panggil Saya Kartini dan Gadis Pantai serta Arok Dedes, memberikan pada saya kontribusi untuk memahami sebuah "missing link" beberapa peristiwa sejarah. Mungkin bahan bacaan saya terlampau miskin. Tapi entahlah, saya coba membaca beberapa karya sastrawan lainnya, Mochtar Lubis dengan Harimau-Harimau-nya itu dan yang lainnya, namun - sekali lagi, subjektifitas saya mengatakan, Pram memang aduhai. Sehingga tidaklah mengherankan apabila dalam diskusi via facebook dengan beberapa kawan yang concern dengan sejarah dan susastra, Pramoedya Ananta Toer mendapat tempat yang begitu hangat. Membicarakannya, seperti membicarakan Ayatullah Khomeini dan Che Guevara, atau Soekarno dan Ho Chi Minh. Membincangkan Pram seperti menimbulkan "kegairahan puitis" kala menelaah karya-karya Raja Ali Haji atau Amir Hamzah, bisa jadi seindah Chairil Anwar. Selalu aktual.

Pramoedya Ananta Toer merupakan seorang penulis terbesar yang pernah dimiliki oleh Indonesia seperti yang dikatakan oleh Andre Vletchek dan Rosie Indira dalam wawancaranya dengan Mas Pram dimana hasil wawancaranya tersebut dibukukan dengan judul “Saya Terbakar Amarah Sendirian”. Pramoedya yang lahir di Blora Jawa Tengah ini, tahun 1925, merupakan anak sulung di keluarganya. Ayahnya guru, ibunya pedagang nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Ia biasa dipanggil oleh adiknya “Mas Moek” meskipun hingga kini ia lebih dikenal dengan sebutan Mas Pram atau Pak Pram. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Bertahun-tahun hidupnya dihabiskan di dalam penjara seperti di dalam penjara kolonial, penjara orde lama dan orde baru. Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karir militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno. Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.

Ketika dituduh terlibat G30S, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara tanpa proses pengadilan. Meski fisiknya terpenjara, namun dengan pikirannya yang bebas, ia tetap menulis dengan berani di dalam penjara. Pada masa penahanan di Pulau Buru (1969-1979), ia telah melahirkan karyanya yang sangat terkenal yaitu Tetralogi Buru yang terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Banyak hasil karyanya yang dilarang dan dibakar oleh pemerintah yang berkuasa pada masa Orde Baru. Hal tersebut sangat menyakiti perasaan Pramoedya Ananta Toer dimana ia tidak mau menulis ulang karyanya lagi. Bagi Pramoedya, menulis merupakan tugas pribadi dan nasional. Ia sebenarnya kasihan melihat orang-orang yang membakar buku-bukunya karena hal tersebut menunjukkan betapa rendahnya budaya orang tersebut.

Di Pulau Buru, Pram dan tahanan-tahanan politik lainnya dipaksa melakukan kerja paksa dan ia juga menjadi saksi betapa kejamnya tentara-tentara yang menjaga penjara di Pulau Buru. Jika ia tidak dimonitor oleh dunia internasional, mungkin ia sudah mati di Pulau Buru akibat dibunuh oleh pemerintah yang berkuasa saat itu. Pramoedya dibebaskan dari penjara Orde Baru pada tanggal 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun. Pada tahun 1995, ia menerima penghargaan Ramon Magsaysay Award yang menimbulkan banyak protes dari 26 sastrawan. Menurut Mochtar Lubis, pada masa Demokrasi Terpimpin Pram merupakan tokoh yang memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.

Pemberian anugerah tersebut kepada Pramoedya dianggap sebagai suatu kecerobohan karena Yayasan Magsaysay tidak mengetahui reputasi gelap Pram dahulu. Namun Pramoedya menyangkal semua tuduhan yang kelewat jauh tersebut. Bahkan ia merasa difitnah karena dituduh terlibat dalam pembakaran buku. Ia pun menuntut perkaranya dibawa ke pengadilan jika materinya cukup dan jika tidak cukup, ia minta forum terbuka dengan ketentuan ia boleh menjawab dan melakukan pembelaan. Pukul 08.55 tanggal 30 April 2006 di usianya yang ke-81 tahun, ia menemui ajalnya. Konon, dalam sakitnya, bibir Pram selalu diselipkan "satu batang rokok".


Sumber : Pramoedya Anantar Toer (1999, 2000), Muhammad Ilham (2006), Ahmad Septian (2010)

Tidak ada komentar: