Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Sehubungan hak dan kewajiban yang harus ditaati dengan baik oleh para demonstran, sebagai aturan main dalam melakukan demonstrasi, sebenarnya telah dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 9 Tahun 1998 yang menjelaskan, bahwa hak para demonstran meliputi hak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas, serta hak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Sedangkan kewajiban para demonstran dalam melakukan demonstrasi, meliputi kewajiban untuk menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, menaati hukum yang berlaku, serta berkewajiban untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum. Walaupun demonstrasi sebagai wujud kebebasan berpendapat yang didasarkan atas wujud hak asasi manusia yang telah dijamin oleh UUD 1945 (khususnya Pasal 28), tetapi pelaksanaan demonstrasi memiliki batasan-batasan tertentu, seperti larangan melakukan demonstrasi di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, serta obyek-obyek vital nasional. Selain itu, larangan untuk melakukan kegiatan demonstrasi pada hari besar nasional, tidak banyak diketahui oleh para demonstran, bahkan oleh sebagian aparat kepolisian. Apabila meninjau pada tata cara secara administratif, sesuai dengan UU No. 9 Tahun 1998, maka sudah seharusnya para demonstran melakukan ”pemberitahuan” kepada POLRI tiga (3) hari sebelum melakukan demonstrasi, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, seperti ”rusuh” dan ”bentrok”.
Demonstrasi bisa dikatakan mengalami perwajahan baru dibandingkan periode sebelumnya. Demonstrasi bisa diterima kalangan luas sebagai sebuah bentuk hak warga dalam menyalurkan aspirasi politiknya. Namun seiring dengan pengetahuan masyarakat (termasuk mahasiswa) terhadap eksistensi, fungsi, dan bentuk demonstrasi mahasiswa, saat yang sama ada gejala masyarakat mengapriorikan demonstrasi itu sendiri. Demontrasi kehilangan dukungan bukan karena eksistensi, fungsi, dan bentuknya bertentangan dengan kehendak masyarakat, melainkan karena demonstrasi telah mengalami titik jenuh! Setiap anggota di dalam masyarakat kini bisa berhimpun lalu berdemonstrasi, ada atau tanpa kehadiran aktivis (gerakan) mahasiswa. Demonstrasi pada era transisi rezim mengalami pengklimaksan secara jumlah. Demonstrasi makin membiak, tidak lagi eksklusif sebagai lahan kerja gerakan mahasiswa. Hanya saja, yang harus dijaga adalah jangan sampai demonstrasi itu tidak damai dan menimbulkan kekerasan. Masyarakat Indonesia sebenarnya sudah jenuh dengan berbagai aksi demonstrasi yang selalu mengatasnamakan rakyat yang akhirnya justru malah menimbulkan kesengsaraan pada rakyat. Demonstrasi jika diselenggarakan dengan ”keliaran” dan brutal sesungguhnya menginjak-injak demokrasi. Karena, selain mengajarkan kebebasan mengekspresikan pendapat (berbeda maupun sejajar), demokrasi juga menganjurkan teknik, prosedur, dan mekanisme yang beradab serta menghormati perbedaan pendapat. Bahkan itulah inti demokrasi.
Berdemonstrasi adalah hak. Akan tetapi, semata mengagungkan demonstrasi sebagai satu-satunya cara yang efektif untuk menegur kekuasaan bukanlah pula pikiran dan kelakuan yang dapat memperkuat dimensi kelembagaan dalam berdemokrasi. Adalah juga kerisauan yang sangat substansial apabila demonstrasi kemudian dijadikan sebagai satu-satunya pilihan yang efektif untuk menyampaikan aspirasi kepada kekuasaan. Harus dikatakan memang ada yang hilang dalam 100 hari pemerintahan yang kedua ini. Hilang dalam waktu yang sangat pendek setelah bulan madu yang panjang--lima tahun pemerintahan pertama, hasil pemilu yang langsung dipilih rakyat--dan yang kemudian menang kembali untuk kedua kali dengan basis legitimasi yang sama kuatnya. Demonstrasi kemarin telah usai dengan damai dan pesan telah disampaikan. Pesan sangat penting, yaitu seruan publik untuk membangun kembali situasi saling percaya yang sempat hilang. Bukankah yang hilang dapat ditemukan kembali? Caranya, semua pihak membikin pendek jarak yang masih jauh antara kata dan perilaku.
Setelah tak menjabat di eksekutif, Natsir mencurahkan waktunya di Partai Masyumi dan parlemen. Dominasi partai ini di pemerintahan merosot jauh. Bahkan pada Kabinet Ali Sastroamidjojo (30 Juli 1953—11 Agustus 1955), tak ada menteri yang berasal dari Masyumi. Haluan politik Ali, yang berasal dari Partai Nasional Indonesia, condong ke kiri dengan merangkul Partai Komunis Indonesia.
Natsir juga bereaksi keras terhadap pidato Presiden Soekarno pada hari Sumpah Pemuda 1956. Kepada pimpinan pemuda, Bung Karno mengajak untuk bersama-sama mengubur semua partai politik. Soekarno menyinggung keputusan pemerintah pada Oktober 1945, yang mendorong pembentukan partai. ”Itu salah satu kesalahan. Nu wreekt het zich!” ucap Soekarno.
Bung Hatta juga gerah dengan suasana politik saat itu. Pada akhir 1956, dia mengundurkan diri sebagai wakil presiden dan secara simbolis meniadakan ”perwakilan” luar Jawa dalam kepemimpinan nasional. Namun Natsir masih belum percaya bahwa Bung Karno memiliki niat menjadi penguasa lalim. Ternyata perkiraan itu meleset. Tiga tahun kemudian, Soekarno benar-benar menjadi diktator.
(dari beberapa sumber, terutama George Mc. Turnan Kahin dan Tempo)
Natsir memang bukan satu-satunya pemimpin di Indonesia yang tidak tergoda oleh hasrat memperkaya diri sendiri saat menjabat suatu kedudukan penting di pemerintahan. Sebut saja Haji Agus Salim dan Mohammad Hatta yang bisa disandingkan dengan Natsir. Hanya saja, boleh dikatakan, saat ini sangat sulit mencari orang seperti mereka. Bak mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Cerita kehidupan Natsir sangat inspiratif. Ditengah kegalauan dan hipokritnya para tokoh dan yang "merasa tokoh" nasional saat sekarang ini, rasanya cerita tersebut menumbuhkan keharuan dan kerinduan. Ingin rasanya kita selalu mendengar dan mendengar bahkan terus mendengar "bagaimana teladan" Natsir. Natsir meninggalkan kekaguman banyak orang. Salah satu diantaranya adalah Anwar Ibrahim, bekas Timbalan Perdana Menteri Malaysia yang menganggap Natsir adalah "Guru Besar Pencerahan" dirinya. Berikut beberapa penggalan dari "kekaguman" seorang Anwar Ibrahim yang dituangkannya dalam sebuah artikel :
(beberapa bagian diantaranya, Penulis potong ..... !)
Setelah lima tahun menikah dan menetap di negeri Big Ben itu, Gulam memperoleh kewarganegaraan Inggris berikut seluruh hak dan kewajiban sebagai warganegara. Dalam perkawinannya, Gulam memperoleh tiga anak perempuan yang cantik-cantik, campuran Pakistan dan Inggris. Gulam terlihat bangga ketika memperlihatkan foto anak-anaknya. Gulam hanya bisa menyelesaikan pendidikannya sampai SMA. Dia mengaku kedua orangtuanya tidak mampu menyekolahkannya lebih tinggi dari itu. “Saya lahir dari keluarga miskin di Pakistan,” ungkapnya. Karena itu sama sekali tak terbayang olehnya pada suatu ketika, dalam hidupnya, dia akan tinggal di Inggris sebagai warganegara. Meninggalkan ayah dan ibunya, saudara-saudaranya, kampung halamannya, juga handai-taulannya. Termasuk kemiskinannya. Gulam mengaku dia menyadari betul dengan pendidikan yang minim dan kondisi ekonomi di negaranya, dia tidak akan ke mana-mana. “Jujur saja, saya tidak bisa membayangkan masa depan saya. Apalagi Cuma bermodal ijasah SMA,” ujarnya.
Maka, perkawinan dengan gadis Inggris dan menjadi warganegara Inggris, oleh Gulam dilihat sebagai karunia Tuhan yang harus dimaknai secara optimal. “Tidak setiap orang punya kesempatan seperti yang saya dapatkan,” ujarnya. Sempurnahkah hidup Gulam? Ternyata tidak. Ketika saya bertanya apakah dia bahagia menjadi warganegara Inggris dan menetap di luar negara asalnya, dia menggeleng. Hal yang paling membuatnya sedih adalah harus berpisah dari kedua orangtua dan saudara-saudaranya. Dia juga merasa tercabut dari akar budayanya. Tidak mudah untuk mengajak serta orangtuanya ke Inggris. Selain biaya perjalanan yang mahal, juga sulitnya mendapatkan visa untuk masuk Inggris. Terlebih ketika negara itu belakangan juga terkena dampak krisis global. Banyak imigran pengangguran membuat pemerintah Inggris memperketat pengawasan terhadap masuknya pendatang asing. Terutama dari India dan Pakistan. Sementara bagi Gulam, tidak mudah pula untuk membawa istri dan anaknya pulang kampung. Ongkos pesawat yang mahal membatasi keinginannya. Selama 15 tahun hidup di Inggris, baru sekali dia membawa anak dan istrinya ke Pakistan. Berpisah dari keluarga tercinta dan tanah tumpah darahnya itulah penderitaan yang harus dipikul atas pilihannya bermigrasi ke negara Union Jack tersebut. “Tapi itulah pilihan yang harus saya ambil,” ujarnya dengan suara bergetar. Pilihan itu disadari Gulam tidak membuatnya bahagia sebagai pribadi. “Kalau disuruh memilih, saya lebih ingin hidup di negeri sendiri,” katanya. Tetapi, jika Gulam tetap menguatkan hatinya untuk menetap di Inggris, maka itu dilakukannya demi masa depan ketiga anaknya.
“Pendidikan anak-anak lebih penting dari perasaan saya,” Gulam menegaskan. Sebagai anak yang lahir dari keluarga kurang mampu dengan pendidikan yang terbatas, dia mengatakan bertekad agar kondisi tersebut tidak akan dialami oleh anak-anaknya. “Di Inggris mereka mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Adalah kewajiban saya untuk mengusahakan pendidikan terbaik bagi anak-anak saya,” ujar Gulam. Selama dua hari bersama Gulam, saya mendapatkan begitu banyak pelajaran. Terutama perjuangan seorang ayah dalam mengusahakan keadaan yang lebih baik bagi anak-anaknya. “Mereka tidak boleh mengalami nasib seperti saya,” dia menegaskan. “Saya harus memberikan pendidikan terbaik kepada mereka. Sebab keberuntungan untuk bisa keluar dari kemiskinan, seperti yang saya alami, tidak bisa diharapkan akan berulang. Kebetulan saja nasib saya berubah setelah bertemu istri dan tinggal di Inggris. Tapi saya tidak bisa berharap itu akan terjadi pula pada anak-anak saya. Mereka harus mampu keluar dari keterbatasan -- yang selama ini membelenggu hidup ayah mereka -- dengan usaha sendiri. Jangan mengharapkan keajaiban.” Maka, dengan segala konsekuensi selama tinggal dan menjadi warganegara Inggris, Gulam yang profesi sehari-harinya supir antar jemput anak-anak sekolah, memilih berkorban memendam kerinduan dan kecintaan pada tanah airnya. Termasuk kerinduan dan kecintaan pada kedua orangtua dan sanak saudaranya. Semua demi masa depan yang lebih baik bagi anak-anaknya.
Sumber : www.kickandy.com (kutip "utuh")Tapi tidak semua pihak yang setuju dengan wacana ini. Banyak yang justru menanggapi sinyal ini merupakan langkah mundur (setback) bagi demokrasi. Pemilihan gubernur secara langsung dilakukan untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, dan mendorong partisipasi masyarakat (berdemokrasi). Apakah bisa dijamin tidak terjadi "money politics" di DPRD atau di tingkat partai? ..... demikian argumen pihak yang kurang setuju dengan wacana ini. Mayoritas menyarankan, ketimbang menghapus pemilihan gubernur langsung, lebih baik pemerintah memperbaiki regulasi persyaratan kandidat gubernur. Sasarannya, agar calon yang maju benar-benar berkualitas, seperti seorang bakal calon gubernur mesti berpendidikan S1, dan berpengalaman di bidang pemerintahan. Pengalaman di bidang pemerintahan dimaksud, bukan berarti harus sarjana pemerintahan. Namun bisa jadi pernah menjadi anggota DPRD, jadi bupati/walikota, atau pernah menjadi kepala dinas.
Sungguh menarik membaca "Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat" ini. Pesan yang ingin disampaikan oleh Bupati Serang yang dokter "terdidik" zaman Kolonial Belanda ini adalah bahwa sang dokter pribumi, yang secara sosial hanya setingkat camat, berani membalas - meskipun dengan cukup adab. Dalam Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohammad pernah mem-publish "catatan mencerahkan" dari Achmad Djajadiningrat ini.
Suatu malam ia masuk ke ruang makan, agak telat. Meja-meja telah terisi. Achmad Djajadiningrat yang mengenakan kain, jas model Jawa, destar serta selop sebagaimana umumnya bupati zaman itu - dengan tenang mengambil satu tempat duduk. Tiba-tiba di belakangnya terdengar seseorang bicara dalam bahasa Belanda: “Wat is dat voor een aap?” Monyet macam apa itu? Bangsawan tinggi Jawa Barat yang berwajah tampan itu cuma diam. Tapi cemooh tak berhenti. Ketika sang bupati mulai makan (tentu saja dengan sendok dan garpu), suara itu terdengar lagi: “Lihat, lihat, dia makan dengan sendok dan garpu.” Dan ketika Djajadiningrat memesan anggur, karena di Surabaya waktu itu ada wabah kolera, suara yang sama kembali menyeletuk, “Waduh, dia minum anggur!”. Adegan itu, yang diingat kembali oleh Pangeran Aria Achmad Djadiningrat dalam Herinneringen-nya yang terbit di tahun 1936, bukan sebuah cerita kebetulan. Zaman memang telah memasuki abad ke-20, tapi di koloni Belanda di Hindia Timur itu, orang-orang putih dari Utara (seperti yang di Afrika Selatan kini) tetap mengetawakan dua hal sekaligus: Yang pertama, orang pribumi yang makan dengan jari dan minum air sumur. Yang kedua, orang pribumi yang makan pakai garpu lalu mengangkat gelas dan menyesap anggur dan omong Belanda. Yang pertama dianggap sebagai tanda keterbelakangan yang tak mengerti higiene. Yang kedua dianggap sebagai imitasi dan Belanda palsu.
Sampai tahun 1914, ada misalnya sebuah aturan bagi para murid STOVIA asal Jawa dan asal Sumatera yang bukan Kristen: mereka harus berpakaian pribumi dalam kelas. Buku Robert Van Niel tentang sejarah Indonesia masa itu menyebut kenapa aturan semacam itu ada: mungkin untuk memaksa para calon dokter bumiputra itu tetap menyadari bahwa mereka kelak toh harus bekerja di kalangan bangsa mereka sendiri mungkin pula untuk menjaga, agar mereka tetap puas dengan gaji mereka yang kecil dibanding dengan pejabat bumiputra lain yang pendidikannya lebih rendah. Apa pun alasannya, aturan itu juga yang menyebabkan STOVIA jadi kawah mendidih. Tak aneh bila kebangkitan nasional dengan suara radikal seperti suara Cipto Mangunkusumo - berasal dari Candradimuka itu. Candradimuka dengan lebih dari satu Gatutkaca. STOVIA pada dasarnya memang berisi sebuah generasi yang merasakan ketidakadilan amat menyengat di dekat ulu hati. Kita ingat, STOVIA bukanlah sekolah anak pejabat tinggi. Dari sebuah catatan tahun 1906, tampak bahwa sejak tahun 1875 sampai 1904, ada 743 murid STOVIA. Sebanyak 160 lulusannya kemudian jadi Inlandse Artsen. Hanya 41 dokter yang berasal dari kalangan atas. Sebagian besar berasal dari priayi menengah. Bahkan ada lulusan STOVIA yang ayahnya hanya klerk, petugas telegraf, lurah, pedagang, buruh, dan juga pembantu rumah tangga. Cipto Mangunkusumo, misalnya, seperti ditulis Savitri Prastiti Scherer dalam Keselarasan dan Kejanggalan, sebuah buku menarik tentang sejarah kita awal abad ke20, bukanlah keturunan ningrat. Ia anak guru sekolah dasar pribumi dan cucu seorang guru agama Islam.
Di masyarakat zaman itu, seorang dokter seperti Cipto juga bukan seorang anggota kelas yang amat terpandang. Petugas kesehatan dengan gaji 70 sampai 150 gulden ini, meskipun belum apa-apa dibandingkan dengan gaji bupati yang 1.000 gulden, malah dianggap sebagai priayi baru - yang tentu saja merisaukan priayi dengan trah lama. Dalam Pewarta Prijaji tahun 1901-1902, sebagaimana dikutip oleh Savitri Scherer, ada sebuah tulisan yang menganjurkan agar sekolah yang kemudian menghasilkan Cipto Mangunkusumo itu ditutup saja. Salah satu alasan: jumlah orang yang mau jadi priayi dengan begitu dapat dibatasi, malah disetop. Ketegangan sosial ini, tak kalah panas dari rasa protes terhadap tuan-tuan Belanda, sering dilupakan ketika kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Dalam buku kenangannya, Djajadiningrat bercerita bagaimana ia sendiri, sebagai bupati, pernah memperlakukan rendah seorang lulusan STOVIA.
Rekomendasi : "Buku ini sangat bagus untuk dibaca !"
Sumber : Beberapa Penggalan dari "Catatan Pinggir" Goenawan Mohammad
"Di parlemen yang demokratis, tak ada hal yang bisa diputuskan sepihak. Kompromi senantiasa terjadi. Aku memberikan X kepadamu, kamu memberikan Y kepadaku. Tentu saja ada akal sehat dan rasa keadilan yang bekerja di sana, tapi juga kepentingan. Yang tak selamanya luhur ............ " (Al-Pacino dalam Film "Devil Advocaat")
Saya tertinggal beberapa jam menonton pemeriksaan saksi Marsilam Simanjuntak oleh pansus Century secara LIVE di Metro TV. Tontonan "akademik" (bagi saya) ini, walau terlambat beberapa jam, ternyata lumayan menarik. Ada alur pemikiran yang bisa dimengerti dari penjelasan Marsilam. Namun, beberapa tingkah anggota DPR justru memperlihatkan kualitas Marsilam yang selama ini dikenal sebagai "pembela HAM" dan tokoh yang memiliki life-track jujur berhadapan dengan kekakuan para anggota Pansus tersebut. Tampaknya, anggota pansus berusaha berlaku sesantun mungkin menghadapi tokoh ini. Entah karena minder atau entah karena sebab lain. Berkali-kali sebelum menyampaikan pertanyaan kepada Marsilam, anggota DPR itu meminta ijin untuk menyebut dengan sebutan tertentu atau justru bertanya sebutan apa yang diinginkan oleh Marsilam. Meski tampak santun dan menghormati, tetapi justru sikap seperti ini menunjukkan ketidaktulusan mereka memberikan hormat. Mustinya, mereka tidak usah bertele-tele untuk itu. Di samping itu, tampaknya anggota DPR itu cukup "keki" karena Marsilam menyebut mereka dengan sebutan "saudara". Buktinya, ada salah seorang anggota yang menyinggung bahwa Marsilamlah satu-satunya saksi yang memanggil demikian kepada anggota DPR.
Agaknya, kita perlu merenungkan, bagaimana sebenarnya duduk masalah sebutan tersebut. Siapa anggota DPR itu ? .... jawabannya : sejak "dirintis" Aristoteles, hingga Montesquieu hingga tradisi politik modern sekarang, para anggota legislatif itu adalah wakil rakyat. Wakil itu "pembantu". Pembantu itu kasarnya "jongos". Sedangkan Marsilam dipanggil sebagai saksi yang tugasnya dimintai "bantuan" mengungkap apa yang sebenarnya terjadi. Maka, sebagai "yang minta tolong" anggota DPR itu "wajib" menghormati yang dimintai tolong. Apalagi, kehadiran Marsilam malam itu dalam status sebagai rakyat biasa yang nota bene "bos"nya anggota DPR, sebab bukan lagi sebagai pejabat dimaksud. Jadi, saya hanya ingin mengajak, terutama kepada anggota DPR itu, mari periksa diri kita, siapa sebenarnya kita. Dengan kata lain, dalam kaitan DPR dengan rakyat, tolong dilihat kembali siapa tuan, siapa jongos ! ....... Dengan begitu agaknya tak perlu bermain kata untuk sekedar bersikap "sok" hormat yang justru memuakkan.
Tetapi, kondisi yang tercermin di Salemba yang menjejal tahanan sampai 25 orang per sel itu sudah terjadi dalam periode Gewestelijke Centralen. Pada tahun itu, ada 37.109 tahanan yang menghuni penjara di Jawa dan Madura, di luar Jawa dan Madura mencapai 19.897 orang. Penjara juga sudah sesak di mana-mana. Kondisi ini hanya untuk inlander atau warga pribumi. Dalam sistem inilah mulai muncul jagoan di penjara, dan juga homoseksual. Bahkan gejala, penjara adalah tempat berguru untuk menjadi penjahat tangguh juga sudah mulai berlangsung. Tetapi itu tak terjadi dengan narapidana berkebangsaan Eropa. Sebab bagi mereka disediakan kamar perorangan, paling banyak untuk lima orang. Masuk periode Jepang, kantor pusat kepenjaraan di Jakarta disebut Gyokeyka, yang dikepalai oleh orang Jepang (gyokey kacho). Sedangkan di daerah karesidenan dipimpin seorang Jepang yang disebut Tosei Keimukantotukan. Pada masa ini perlakuan terpidana sangat buruk. Banyak narapidana tewas. Di Cipinang, para terpidana dikerahkan sebagai romusha, untuk pembuatan kapal-kapal atau sekoci pendarat dari kayu jati untuk kepentingan perang, dan bahkan alat-alat kedokteran, seperti stetoskop. Pada tahun 1944, rata-rata, dalam satu hari 25 orang terpidana tewas di rumah penjara Cipinang. Sejak 17 Agustus 1945, penjara masuk periode zaman kemerdekaan. Istilah pemasyarakatan menggantikan kepenjaraan sejak 27 April 1964. Konsep ini digagas Menteri Kehakiman Saharjo. Tugas lembaga pemasyarakatan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun juga mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat.
Sayangnya cita-cita Saharjo hingga kini belum terlihat hasilnya. Bahkan kondisi lembaga pemasyarakat boleh dikatakan kembali lagi ke zaman penjajahan. “Bahkan lebih tidak manusiawi,” kata Patrialis Akbar. Sebagian sipir penjara, malah memanfaatkan kondisi itu untuk memeras para tahanan. Terjadilah perbedaan pelayanan untuk tahanan. Tahanan kaya akan mendapat fasilitas berlebihan, sebaliknya yang miskin akan bernasib apes. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) juga pernah menyoroti perlakuan negara terhadap para tahanan di penjara Indonesia. Pengacara hak asasi manusia sekaligus pelapor khusus PBB bidang penyiksaan dan perlakuan tak manusiawi, Manfred Nowak melaporkan adanya perlakuan tak wajar.Tak hanya kurang mendapatkan makanan dan obat-obatan, tahanan dipaksa membayar 'uang harian' untuk akomodasi yang mereka terima di dalam penjara, begitu bunyi laporan Nowak. Penyiksaan jasmani sering digunakan di dalam penjara untuk mendisiplinkan para tahanan. Semoga Penjara Indonesia menjadi "benar-benar" Lembaga Pemasyarakatan ...... karena untu memasyarakatkan para narapidana tersebut harus dimulai dari prinsip egaliterianisme, non-diskriminatif dan non-kolutif. Karena kondisi inilah menjadi pra-syarat "memanusiakan" manusia.
Referensi : vivanews.com
Diluar Kerajaan Aceh Darussalam yang digdaya itu ternyata masih ada lagi 2 buah kerajaan yang berumur panjang (dan tentunya lebih panjang daripada Majapahit yang terkenal itu). Kedua kerajaan ini masih berada di Sumatera. Sriwijaya adalah kerajaan yang lebih awal dari Majapahit yang sempat menancapkan bendera di bumi Nusantara ini setidaknya selama 617 tahun. Sriwijaya telah ada sejak tahun 671 menurut kesaksian I-tsing, seorang pendeta Tiongkok yang mengunjungi kerajaan tersebut pada tahun itu. Kerajaan ini runtuh setelah Ekspedisi Pamalayu yang dilancarkan Kerajaan Singasari tahun 1288. Kerajaan kedua adalah Kerajaan Pagaruyung atau juga dikenal dengan nama Kerajaan Minangkabau. Kerajaan yang berlokasi di Sumatera Tengah ini sempat berumur 477 tahun. Ia didirikan oleh Adityawarman pada tahun 1347 dan runtuh akibat Revolusi Sosial Wahabbi (Islam Mazhab Hambali) pada tahun 1824. Revolusi Wahabbi yang berniat mendirikan Daulah Islam Minangkabau ini akhirnya gagal dan berakhir dengan kisah Perang Paderi yang terkenal itu.
Kembali kepada topik awal yaitu soal Majapahit, kita terlanjur mempercayai kebesaran kerajaan tersebut yang mana sumber datanya rata-rata berdasarkan klaim dalam kitab manifesto politik berjudul Negarakertagama. Kitab yang ditemukan pada abad ke 19 di dalam sebuah Puri di Lombok ini seolah melegitimasi fakta sejarah yang masih kabur tentang wilayah kekuasaan Majapahit. Andaipun sebagian cerita di dalam kitab ini benar adanya, maka tidak serta merta Nusantara berada dalam genggaman Majapahit selama 185 tahun. Yang benar adalah hanya selama 39 tahun saja! Dasarnya adalah sebagian besar wilayah-wilayah tersebut ditaklukkan pada masa Raja Hayam Wuruk berkuasa (1350-1389) dengan bantuan Patih Gadjah Mada -nya yang terkenal itu. Sebagian besar wilayah pantai di pulau-pulau utama Nusantara memang sempat jatuh dalam hegemoni Majapahit dengan perkecualian wilayah Tatar Pasundan di Jawa Barat dan Pulau Madura. Setelah era Hayam Wuruk berakhir, satu persatu negara bawahan itu mulai melepaskan diri.