Kamis, 21 Januari 2010

Inspirative Article from Kick Andy : "GHULAM"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Namanya Gulam. Tubuhnya tinggi, atletis, dengan kulit cenderung hitam. Penampilannya necis. Untuk ukuran orang Pakistan, wajahnya terbilang tampan. Dia menjemput saya dan keluarga di Heathrow Airport, London, kemudian selama dua hari menemani kami sebagai supir paruh waktu merangkap guide. Awalnya saya tidak merasa Gulam istimewa, selain perilakunya yang sangat santun. Tetapi setelah bersama-sama selama dua hari, saya baru menyadari pemikiran-pemikiran Gulam jauh lebih luas dibandingkan profesinya. Begitu pula pandangan-pandangannya tentang hidup. Gulam menikah dalam usia relatif muda, 18 tahun. Dia menikah dengan seorang gadis kulit putih berkebangsaan Inggris. Mereka bertemu ketika sang gadis berkunjung ke Pakistan untuk berlibur. Bagai dalam cerita-cerita karangan Hans Christian Andersen, mereka saling jatuh cinta hanya dalam hitungan minggu. Singkat kata, Gulam dan sang gadis Inggris itu lalu menikah. Dengan status sebagai suami seorang wanita berkewarganegaraan Inggris, berangkatlah Gulam ke negeri yang sama sekali tak terbayangkan akan menjadi negara keduanya: United Kingdom.

Setelah lima tahun menikah dan menetap di negeri Big Ben itu, Gulam memperoleh kewarganegaraan Inggris berikut seluruh hak dan kewajiban sebagai warganegara. Dalam perkawinannya, Gulam memperoleh tiga anak perempuan yang cantik-cantik, campuran Pakistan dan Inggris. Gulam terlihat bangga ketika memperlihatkan foto anak-anaknya. Gulam hanya bisa menyelesaikan pendidikannya sampai SMA. Dia mengaku kedua orangtuanya tidak mampu menyekolahkannya lebih tinggi dari itu. “Saya lahir dari keluarga miskin di Pakistan,” ungkapnya. Karena itu sama sekali tak terbayang olehnya pada suatu ketika, dalam hidupnya, dia akan tinggal di Inggris sebagai warganegara. Meninggalkan ayah dan ibunya, saudara-saudaranya, kampung halamannya, juga handai-taulannya. Termasuk kemiskinannya. Gulam mengaku dia menyadari betul dengan pendidikan yang minim dan kondisi ekonomi di negaranya, dia tidak akan ke mana-mana. “Jujur saja, saya tidak bisa membayangkan masa depan saya. Apalagi Cuma bermodal ijasah SMA,” ujarnya.

Maka, perkawinan dengan gadis Inggris dan menjadi warganegara Inggris, oleh Gulam dilihat sebagai karunia Tuhan yang harus dimaknai secara optimal. “Tidak setiap orang punya kesempatan seperti yang saya dapatkan,” ujarnya. Sempurnahkah hidup Gulam? Ternyata tidak. Ketika saya bertanya apakah dia bahagia menjadi warganegara Inggris dan menetap di luar negara asalnya, dia menggeleng. Hal yang paling membuatnya sedih adalah harus berpisah dari kedua orangtua dan saudara-saudaranya. Dia juga merasa tercabut dari akar budayanya. Tidak mudah untuk mengajak serta orangtuanya ke Inggris. Selain biaya perjalanan yang mahal, juga sulitnya mendapatkan visa untuk masuk Inggris. Terlebih ketika negara itu belakangan juga terkena dampak krisis global. Banyak imigran pengangguran membuat pemerintah Inggris memperketat pengawasan terhadap masuknya pendatang asing. Terutama dari India dan Pakistan. Sementara bagi Gulam, tidak mudah pula untuk membawa istri dan anaknya pulang kampung. Ongkos pesawat yang mahal membatasi keinginannya. Selama 15 tahun hidup di Inggris, baru sekali dia membawa anak dan istrinya ke Pakistan. Berpisah dari keluarga tercinta dan tanah tumpah darahnya itulah penderitaan yang harus dipikul atas pilihannya bermigrasi ke negara Union Jack tersebut. “Tapi itulah pilihan yang harus saya ambil,” ujarnya dengan suara bergetar. Pilihan itu disadari Gulam tidak membuatnya bahagia sebagai pribadi. “Kalau disuruh memilih, saya lebih ingin hidup di negeri sendiri,” katanya. Tetapi, jika Gulam tetap menguatkan hatinya untuk menetap di Inggris, maka itu dilakukannya demi masa depan ketiga anaknya.

“Pendidikan anak-anak lebih penting dari perasaan saya,” Gulam menegaskan. Sebagai anak yang lahir dari keluarga kurang mampu dengan pendidikan yang terbatas, dia mengatakan bertekad agar kondisi tersebut tidak akan dialami oleh anak-anaknya. “Di Inggris mereka mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Adalah kewajiban saya untuk mengusahakan pendidikan terbaik bagi anak-anak saya,” ujar Gulam. Selama dua hari bersama Gulam, saya mendapatkan begitu banyak pelajaran. Terutama perjuangan seorang ayah dalam mengusahakan keadaan yang lebih baik bagi anak-anaknya. “Mereka tidak boleh mengalami nasib seperti saya,” dia menegaskan. “Saya harus memberikan pendidikan terbaik kepada mereka. Sebab keberuntungan untuk bisa keluar dari kemiskinan, seperti yang saya alami, tidak bisa diharapkan akan berulang. Kebetulan saja nasib saya berubah setelah bertemu istri dan tinggal di Inggris. Tapi saya tidak bisa berharap itu akan terjadi pula pada anak-anak saya. Mereka harus mampu keluar dari keterbatasan -- yang selama ini membelenggu hidup ayah mereka -- dengan usaha sendiri. Jangan mengharapkan keajaiban.” Maka, dengan segala konsekuensi selama tinggal dan menjadi warganegara Inggris, Gulam yang profesi sehari-harinya supir antar jemput anak-anak sekolah, memilih berkorban memendam kerinduan dan kecintaan pada tanah airnya. Termasuk kerinduan dan kecintaan pada kedua orangtua dan sanak saudaranya. Semua demi masa depan yang lebih baik bagi anak-anaknya.

Sumber : www.kickandy.com (kutip "utuh")

Tidak ada komentar: