"Di parlemen yang demokratis, tak ada hal yang bisa diputuskan sepihak. Kompromi senantiasa terjadi. Aku memberikan X kepadamu, kamu memberikan Y kepadaku. Tentu saja ada akal sehat dan rasa keadilan yang bekerja di sana, tapi juga kepentingan. Yang tak selamanya luhur ............ " (Al-Pacino dalam Film "Devil Advocaat")
Saya tertinggal beberapa jam menonton pemeriksaan saksi Marsilam Simanjuntak oleh pansus Century secara LIVE di Metro TV. Tontonan "akademik" (bagi saya) ini, walau terlambat beberapa jam, ternyata lumayan menarik. Ada alur pemikiran yang bisa dimengerti dari penjelasan Marsilam. Namun, beberapa tingkah anggota DPR justru memperlihatkan kualitas Marsilam yang selama ini dikenal sebagai "pembela HAM" dan tokoh yang memiliki life-track jujur berhadapan dengan kekakuan para anggota Pansus tersebut. Tampaknya, anggota pansus berusaha berlaku sesantun mungkin menghadapi tokoh ini. Entah karena minder atau entah karena sebab lain. Berkali-kali sebelum menyampaikan pertanyaan kepada Marsilam, anggota DPR itu meminta ijin untuk menyebut dengan sebutan tertentu atau justru bertanya sebutan apa yang diinginkan oleh Marsilam. Meski tampak santun dan menghormati, tetapi justru sikap seperti ini menunjukkan ketidaktulusan mereka memberikan hormat. Mustinya, mereka tidak usah bertele-tele untuk itu. Di samping itu, tampaknya anggota DPR itu cukup "keki" karena Marsilam menyebut mereka dengan sebutan "saudara". Buktinya, ada salah seorang anggota yang menyinggung bahwa Marsilamlah satu-satunya saksi yang memanggil demikian kepada anggota DPR.
Agaknya, kita perlu merenungkan, bagaimana sebenarnya duduk masalah sebutan tersebut. Siapa anggota DPR itu ? .... jawabannya : sejak "dirintis" Aristoteles, hingga Montesquieu hingga tradisi politik modern sekarang, para anggota legislatif itu adalah wakil rakyat. Wakil itu "pembantu". Pembantu itu kasarnya "jongos". Sedangkan Marsilam dipanggil sebagai saksi yang tugasnya dimintai "bantuan" mengungkap apa yang sebenarnya terjadi. Maka, sebagai "yang minta tolong" anggota DPR itu "wajib" menghormati yang dimintai tolong. Apalagi, kehadiran Marsilam malam itu dalam status sebagai rakyat biasa yang nota bene "bos"nya anggota DPR, sebab bukan lagi sebagai pejabat dimaksud. Jadi, saya hanya ingin mengajak, terutama kepada anggota DPR itu, mari periksa diri kita, siapa sebenarnya kita. Dengan kata lain, dalam kaitan DPR dengan rakyat, tolong dilihat kembali siapa tuan, siapa jongos ! ....... Dengan begitu agaknya tak perlu bermain kata untuk sekedar bersikap "sok" hormat yang justru memuakkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar