Senin, 25 Januari 2010

Rupanya Natsir (Pernah) Jadi Menteri Kesayangan Soekarno

Oleh : Muhammad Ilham

Menurut Hatta, setelah penye­rahan mandat, Natsir menjadi pemimpin yang dibenci Bung Karno. ”Padahal sebelumnya dia menjadi menteri kesayangan,” kata Hatta dalam tulisannya menyambut 70 tahun Natsir.

Ketika Muhammad Natsir mau menyerahkan mandatnya sebagai perdana menteri kepada Soekarno, ia mendatangi Soekarno ke istana negara secara langsung. Berdua, dengan sopirnya. Ia menyetir mobil dinas, sementara sopir pribadinya tersebut dibiarkan naik sepeda. Dalam pertemuan yang tidak begitu lama ini, sang Putra Fajar terasa berat menerima "pengunduran" diri Natsir. Putra Alahan Panjang ini datang secara personal, gentleman dan tanpa basa-basi. ”Saya sudah menduga sejak semula,” kata Soekarno. Selanjutnya, apa yang terjadi ? ...... Natsir pulang ke rumah dinas-nya di Jalan Proklamasi dengan spoirnya : "berboncengan sepeda berdua". Natsir tidak butuh waktu berlama-lama untuk beristirahat di rumah dinas Perdana Menteri tersebut. Segera ia mengajak istri dan anaknya pindah ke rumah pribadi yang sempit di Jalan Jawa, Jakarta ­Pusat.

Setelah tak menjabat di eksekutif, Natsir mencurahkan waktunya di Partai Masyumi dan parlemen. Dominasi partai ini di pemerintahan merosot jauh. Bahkan pada Kabinet Ali Sastroamidjojo (30 Juli 1953—11 Agustus 1955), tak ada menteri yang berasal dari Masyumi. Haluan politik Ali, yang berasal dari Partai Nasional Indonesia, condong ke kiri dengan merangkul Partai Komunis Indonesia. Pada 20 Juli 1954, Suara Masyumi menerbitkan tulisan Natsir. Isinya seruan kepada semua patriot untuk membela demokrasi yang sedang terancam. Pria kelahiran Alahan Panjang, Sumatera Barat, ini menuduh kabinet Ali yang dibantu Partai Komunis Indonesia meninggalkan asas-asas yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam penempatan pegawai, pengelolaan perekonomian dan keuangan negara yang kocar-kacir, pembungkaman kelompok oposisi dan wartawan. Pemilu 1955 menempatkan Masyumi di urutan kedua di bawah Partai Nasional Indonesia, diikuti Nahdlatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia. Presiden Soekarno mengusulkan dibentuk Kabinet Kaki Empat. Masyumi menolak bergabung karena berseberangan secara politik dengan Partai Komunis Indonesia. Natsir mengungkapkan sejumlah dalil hukum Islam yang menyebut komunisme bertenta­ngan dengan Al-Quran dan hadis. ”Jadi, apakah mungkin minyak dan air dipersatukan meskipun digodok dan diaduk-aduk,” katanya. Dia meminta kader Masyumi waspada terhadap politik ”menyodorkan tangan” yang palsu dari komunis. Juga hati-hati terhadap ”serigala berbulu kibas yang hendak dimasukkan sekandang dengan ternak.”

Natsir juga bereaksi keras terhadap pidato Presiden Soekarno pada hari Sumpah Pemuda 1956. Kepada pimpinan pemuda, Bung Karno mengajak untuk bersama-sama mengubur semua partai politik. Soekarno menyinggung keputusan pemerintah pada Oktober 1945, yang mendorong pembentukan partai. ”Itu salah satu kesalahan. Nu wreekt het zich!” ucap Soekarno. Sebagai Ketua Partai Masyumi, Natsir memberikan pernyataan di harian Abadi. Demokrasi, katanya, menjadi salah satu sila dalam Pancasila. Selama masih ada kebebasan berpartai, selama itu pula ada demokrasi. Apabila partai dikubur, demokrasi ikut masuk ke liang lahat. ”Yang tinggal berdiri di atas kubur adalah diktator,” ucapnya.

Bung Hatta juga gerah dengan suasana politik saat itu. Pada akhir 1956, dia mengundurkan diri sebagai wakil presiden dan secara simbolis meniadakan ”perwakilan” luar Jawa dalam kepemimpinan nasional. Namun Natsir masih belum percaya bahwa Bung Karno memiliki niat menjadi penguasa lalim. Ternyata perkiraan itu meleset. Tiga tahun kemudian, Soekarno benar-benar menjadi diktator. Ini dimulai pada 5 Juli 1959, ketika Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD 1945. Dia mengajukan dua alasan dari penerapan demokrasi terpimpin. Pertama, demokrasi liberal bertentangan dengan kepribadian nasional. Kedua, kembali mengulangi tema lama­nya ialah revolusi belum selesai. Tak ayal, Dekrit Presiden yang menjadi tonggak demokrasi terpimpin semakin mengukuhkan kuatnya kedudukan politik Soe­karno, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, dan Partai Komunis Indonesia. Natsir menjelaskan demokrasi terpimpin seharusnya dibimbing nilai-nilai moral dan nilai-nilai hidup yang tinggi. ”Bukan dalam arti seluruh sistem demokrasi dikendalikan seseorang atau beberapa orang yang serba kuasa yang tidak kenal kendali.” Kritik Natsir ini seperti seruan di padang pasir.

(dari beberapa sumber, terutama George Mc. Turnan Kahin dan Tempo)

Tidak ada komentar: