Senin, 18 Januari 2010

Penjara Indonesia : Dari Inlander hingga Artalyta

Oleh : Muhammad Ilham

Masih ingat AYIN atawa Artalyta Suryani ..... ? Wanita paroh baya nan cantik ini, untuk kali kedua mengegerkan pentas hukum Indonesia. Dia masuk penjara lantaran menyuap jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) untuk membereskan perkara BLBI Sjamsul Nursalim ...... dan dunia hukum Indonesia geger se-geger gegernya. UTG kemudian "dihadiahi" 20 tahun penjara, Ayin mendapat "jatah" (hanya) 5 tahun penjara. Institusi kejaksaan RI-pun tertampar keras. Untuk kali kedua, Ayin kembali membuat heboh dunia hukum Indonesia. Kalau yang pertama menampar institusi kejaksaan, maka kali ini, Ayin "menampar" institusi Departemen Hukum dan HAM, khususnya Direktorat Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun Ayin dihukum dalam penjara, rupanya "wanita markus jago lobi" ini hanya berpindah "hotel". Kamar tahanannya (sangat) mewah untuk ukuran sebuah penjara ideal. Berpenyejuk udara, dindingnya berlapis wallpaper bunga-bunga. Ada ruang karaoke dengan kursi empuk. Penguasaha wanita ini mendapatkan mewah, di atas meja tergeletak telepon genggam. Ada pula kulkas berisi sayuran. Temuan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum tentang fasilitas mewah bagi napi tertentu di penjara, menyodorkan fakta bahwa penjara tak lepas dari praktik korupsi. Ditemukan, fasilitas khusus bagi napi berduit.

Fasilitas mewah yang dinikmati oleh segelintir orang membuktikan adanya diskriminasi yang tidak hanya melibatkan narapidana dan sipir. Ia bukan sekadar hasil sebuah upaya dua atau tiga orang. Ia melibatkan pemihakan dan kehendak dari yang punya kuasa baik modal maupun jabatan. Fasilitas "surga" bukan hal yang haram. Bahkan penghargaan terhadap para narapidana sejatinya perlu diperbaiki. Namun, bagaimana dan di mana fasilitas itu harus digunakan, inilah yang sering diabaikan oleh pemangku otoritas (kekuasaan) terkait. Kekuasaan pada dasarnya untuk mendisiplinkan. Begitu pun rutan. Ia merupakan wujud kontrol kekuasaan untuk "mendisiplinkan" penghuninya yang dianggap menyimpang. Proses pendisiplinan ini akan efektif bila ada pengawasan total yang digambarkan Michel Foucault (1977) seperti tahanan Panopticon. Sebuah desain tahanan Jeremy Bentham (1785) yang dibuat sedemikian rupa agar pengawasan berlangsung setiap saat tanpa sang penghuninya merasa diawasi. Dengan demikian, mekanisme dan aturan main bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Praktek "tidak beres" dalam sejarah penjara (baca: lembaga pemasyarakatan) di Indonesia nampaknya sudah berlangsung lama. Penjara di Indonesia sudah mulai berdiri sejak 1905-1921, yaitu sejak munculnya upaya memusatkan penempatan para terpidana kerja paksa yang tersebar di mana-mana di dalam pusat-pusat penampungan wilayah (Gewestelijke Centralen). Penjajah Belanda menerapkan kebijakan ini bukanlah karena bermurah hati, melainkan untuk menekan angka pelarian narapidana. Salah satu Gewestelijke Centralen itu adalah Penjara Cipinang. Adapun Nusakambangan, difungsikan sebagai tempat terpidana kerja paksa. Saat itu tercatat ada 331 tempat penampungan tahanan, termasuk 106 tempat di Jawa dan Madura. Kondisi seperti ini bertahan hingga penjara sentral berubah status menjadi strafgevangenissen yaitu penjara-penjara pelaksana pidana, pada 1920.

Tetapi, kondisi yang tercermin di Salemba yang menjejal tahanan sampai 25 orang per sel itu sudah terjadi dalam periode Gewestelijke Centralen. Pada tahun itu, ada 37.109 tahanan yang menghuni penjara di Jawa dan Madura, di luar Jawa dan Madura mencapai 19.897 orang. Penjara juga sudah sesak di mana-mana. Kondisi ini hanya untuk inlander atau warga pribumi. Dalam sistem inilah mulai muncul jagoan di penjara, dan juga homoseksual. Bahkan gejala, penjara adalah tempat berguru untuk menjadi penjahat tangguh juga sudah mulai berlangsung. Tetapi itu tak terjadi dengan narapidana berkebangsaan Eropa. Sebab bagi mereka disediakan kamar perorangan, paling banyak untuk lima orang. Masuk periode Jepang, kantor pusat kepenjaraan di Jakarta disebut Gyokeyka, yang dikepalai oleh orang Jepang (gyokey kacho). Sedangkan di daerah karesidenan dipimpin seorang Jepang yang disebut Tosei Keimukantotukan. Pada masa ini perlakuan terpidana sangat buruk. Banyak narapidana tewas. Di Cipinang, para terpidana dikerahkan sebagai romusha, untuk pembuatan kapal-kapal atau sekoci pendarat dari kayu jati untuk kepentingan perang, dan bahkan alat-alat kedokteran, seperti stetoskop. Pada tahun 1944, rata-rata, dalam satu hari 25 orang terpidana tewas di rumah penjara Cipinang. Sejak 17 Agustus 1945, penjara masuk periode zaman kemerdekaan. Istilah pemasyarakatan menggantikan kepenjaraan sejak 27 April 1964. Konsep ini digagas Menteri Kehakiman Saharjo. Tugas lembaga pemasyarakatan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun juga mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat.

Sayangnya cita-cita Saharjo hingga kini belum terlihat hasilnya. Bahkan kondisi lembaga pemasyarakat boleh dikatakan kembali lagi ke zaman penjajahan. “Bahkan lebih tidak manusiawi,” kata Patrialis Akbar. Sebagian sipir penjara, malah memanfaatkan kondisi itu untuk memeras para tahanan. Terjadilah perbedaan pelayanan untuk tahanan. Tahanan kaya akan mendapat fasilitas berlebihan, sebaliknya yang miskin akan bernasib apes. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) juga pernah menyoroti perlakuan negara terhadap para tahanan di penjara Indonesia. Pengacara hak asasi manusia sekaligus pelapor khusus PBB bidang penyiksaan dan perlakuan tak manusiawi, Manfred Nowak melaporkan adanya perlakuan tak wajar.Tak hanya kurang mendapatkan makanan dan obat-obatan, tahanan dipaksa membayar 'uang harian' untuk akomodasi yang mereka terima di dalam penjara, begitu bunyi laporan Nowak. Penyiksaan jasmani sering digunakan di dalam penjara untuk mendisiplinkan para tahanan. Semoga Penjara Indonesia menjadi "benar-benar" Lembaga Pemasyarakatan ...... karena untu memasyarakatkan para narapidana tersebut harus dimulai dari prinsip egaliterianisme, non-diskriminatif dan non-kolutif. Karena kondisi inilah menjadi pra-syarat "memanusiakan" manusia.

Referensi : vivanews.com

Tidak ada komentar: