Fasilitas mewah yang dinikmati oleh segelintir orang membuktikan adanya diskriminasi yang tidak hanya melibatkan narapidana dan sipir. Ia bukan sekadar hasil sebuah upaya dua atau tiga orang. Ia melibatkan pemihakan dan kehendak dari yang punya kuasa baik modal maupun jabatan. Fasilitas "surga" bukan hal yang haram. Bahkan penghargaan terhadap para narapidana sejatinya perlu diperbaiki. Namun, bagaimana dan di mana fasilitas itu harus digunakan, inilah yang sering diabaikan oleh pemangku otoritas (kekuasaan) terkait. Kekuasaan pada dasarnya untuk mendisiplinkan. Begitu pun rutan. Ia merupakan wujud kontrol kekuasaan untuk "mendisiplinkan" penghuninya yang dianggap menyimpang. Proses pendisiplinan ini akan efektif bila ada pengawasan total yang digambarkan Michel Foucault (1977) seperti tahanan Panopticon. Sebuah desain tahanan Jeremy Bentham (1785) yang dibuat sedemikian rupa agar pengawasan berlangsung setiap saat tanpa sang penghuninya merasa diawasi. Dengan demikian, mekanisme dan aturan main bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Tetapi, kondisi yang tercermin di Salemba yang menjejal tahanan sampai 25 orang per sel itu sudah terjadi dalam periode Gewestelijke Centralen. Pada tahun itu, ada 37.109 tahanan yang menghuni penjara di Jawa dan Madura, di luar Jawa dan Madura mencapai 19.897 orang. Penjara juga sudah sesak di mana-mana. Kondisi ini hanya untuk inlander atau warga pribumi. Dalam sistem inilah mulai muncul jagoan di penjara, dan juga homoseksual. Bahkan gejala, penjara adalah tempat berguru untuk menjadi penjahat tangguh juga sudah mulai berlangsung. Tetapi itu tak terjadi dengan narapidana berkebangsaan Eropa. Sebab bagi mereka disediakan kamar perorangan, paling banyak untuk lima orang. Masuk periode Jepang, kantor pusat kepenjaraan di Jakarta disebut Gyokeyka, yang dikepalai oleh orang Jepang (gyokey kacho). Sedangkan di daerah karesidenan dipimpin seorang Jepang yang disebut Tosei Keimukantotukan. Pada masa ini perlakuan terpidana sangat buruk. Banyak narapidana tewas. Di Cipinang, para terpidana dikerahkan sebagai romusha, untuk pembuatan kapal-kapal atau sekoci pendarat dari kayu jati untuk kepentingan perang, dan bahkan alat-alat kedokteran, seperti stetoskop. Pada tahun 1944, rata-rata, dalam satu hari 25 orang terpidana tewas di rumah penjara Cipinang. Sejak 17 Agustus 1945, penjara masuk periode zaman kemerdekaan. Istilah pemasyarakatan menggantikan kepenjaraan sejak 27 April 1964. Konsep ini digagas Menteri Kehakiman Saharjo. Tugas lembaga pemasyarakatan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun juga mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat.
Sayangnya cita-cita Saharjo hingga kini belum terlihat hasilnya. Bahkan kondisi lembaga pemasyarakat boleh dikatakan kembali lagi ke zaman penjajahan. “Bahkan lebih tidak manusiawi,” kata Patrialis Akbar. Sebagian sipir penjara, malah memanfaatkan kondisi itu untuk memeras para tahanan. Terjadilah perbedaan pelayanan untuk tahanan. Tahanan kaya akan mendapat fasilitas berlebihan, sebaliknya yang miskin akan bernasib apes. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) juga pernah menyoroti perlakuan negara terhadap para tahanan di penjara Indonesia. Pengacara hak asasi manusia sekaligus pelapor khusus PBB bidang penyiksaan dan perlakuan tak manusiawi, Manfred Nowak melaporkan adanya perlakuan tak wajar.Tak hanya kurang mendapatkan makanan dan obat-obatan, tahanan dipaksa membayar 'uang harian' untuk akomodasi yang mereka terima di dalam penjara, begitu bunyi laporan Nowak. Penyiksaan jasmani sering digunakan di dalam penjara untuk mendisiplinkan para tahanan. Semoga Penjara Indonesia menjadi "benar-benar" Lembaga Pemasyarakatan ...... karena untu memasyarakatkan para narapidana tersebut harus dimulai dari prinsip egaliterianisme, non-diskriminatif dan non-kolutif. Karena kondisi inilah menjadi pra-syarat "memanusiakan" manusia.
Referensi : vivanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar