Gus Dur adalah seorang pelintas batas. Atau barangkali bataslah yang melintasi Gus Dur (Goenawan Mohammad)
Daftar pahlawan bagai mozaik, seumpama album keluarga. Bila melihat album, mata kita akan terfokus lebih dulu kepada tokoh yang kita kenal baik. Setiap provinsi merasa harus memiliki pahlawan. Tidak cukup daerah tingkat I, kabupaten pun berlomba mengusulkan pahlawan mereka. Ini terutama terjadi pada masa akhir Orde Baru. Setelah era reformasi, perlombaan ini menyurut. Pahlawan yang berjumlah seratusan orang itu seakan memiliki stratifikasi-hirarkis sendiri. Ada yang sering disebut, ada pula yang tak pernah disinggung dalam pidato ataupun pelajaran sekolah. Selama ini pahlawan nasional lebih banyak merupakan representasi atau perwakilan dari berbagai daerah. Beberapa waktu yang silam pernah terjadi polemik, mana yang "lebih pahlawan", Tjut Nyak Dien yang mengangkat senjata atau Kartini yang berjuang hanya dengan pena........... (sebagai komparasi lanjutan : baca Artikel saya di PADANG EKSPRES Tangal 10 Nopember 2008 tentang PAHLAWAN). Dalam konteks ini .......... rasanya "mana yang lebih pahlawan" Gus Dur atawa Soeharto mendapat dasarnya.
Pasca berpulangnya "sang guru-bangsa" Abdurrahman Ad-Dakhil bin KH. Wahid Hasyim atawa Gus Dur, wacana memberi gelar Pahlawan bagi putra Jombang ini semakin menguat. Disamping faktor momentum "berpulangnya" mantan Presiden ke-4 RI yang lekat dengan icon "Begitu Aja Kok Repot" ini, ada berbagai alasan yang mengemuka untuk memberikan justifikasi gelar kepahlawanan bagi Gus Dur. Gus Dur, dikenal sebagai sosok yang memajukan perdamaian dan perlindungan demokrasi terhadap kaum minoritas yang lemah dan marjinal. Seluruh fraksi di DPR-RI sepakat untuk memberikan label "keramat" ini buat si-Gus. Bahkan Presiden SBY menginstruksikan kepada Menteri Sosial untuk mempersiapkan berbagai kelayakan sebagai persyaratan normatif dan administratif pemberian gelar pahlawan ini.
Daftar pahlawan bagai mozaik, seumpama album keluarga. Bila melihat album, mata kita akan terfokus lebih dulu kepada tokoh yang kita kenal baik. Setiap provinsi merasa harus memiliki pahlawan. Tidak cukup daerah tingkat I, kabupaten pun berlomba mengusulkan pahlawan mereka. Ini terutama terjadi pada masa akhir Orde Baru. Setelah era reformasi, perlombaan ini menyurut. Pahlawan yang berjumlah seratusan orang itu seakan memiliki stratifikasi-hirarkis sendiri. Ada yang sering disebut, ada pula yang tak pernah disinggung dalam pidato ataupun pelajaran sekolah. Selama ini pahlawan nasional lebih banyak merupakan representasi atau perwakilan dari berbagai daerah. Beberapa waktu yang silam pernah terjadi polemik, mana yang "lebih pahlawan", Tjut Nyak Dien yang mengangkat senjata atau Kartini yang berjuang hanya dengan pena........... (sebagai komparasi lanjutan : baca Artikel saya di PADANG EKSPRES Tangal 10 Nopember 2008 tentang PAHLAWAN). Dalam konteks ini .......... rasanya "mana yang lebih pahlawan" Gus Dur atawa Soeharto mendapat dasarnya.
Pasca berpulangnya "sang guru-bangsa" Abdurrahman Ad-Dakhil bin KH. Wahid Hasyim atawa Gus Dur, wacana memberi gelar Pahlawan bagi putra Jombang ini semakin menguat. Disamping faktor momentum "berpulangnya" mantan Presiden ke-4 RI yang lekat dengan icon "Begitu Aja Kok Repot" ini, ada berbagai alasan yang mengemuka untuk memberikan justifikasi gelar kepahlawanan bagi Gus Dur. Gus Dur, dikenal sebagai sosok yang memajukan perdamaian dan perlindungan demokrasi terhadap kaum minoritas yang lemah dan marjinal. Seluruh fraksi di DPR-RI sepakat untuk memberikan label "keramat" ini buat si-Gus. Bahkan Presiden SBY menginstruksikan kepada Menteri Sosial untuk mempersiapkan berbagai kelayakan sebagai persyaratan normatif dan administratif pemberian gelar pahlawan ini.
Ketika hangat-hangatnya wacana pemberian gelar pahlawan bagi Gus Dur ini, Fraksi Golkar juga mengusulkan agar mantan Presiden RI yang ke-2, Suharto, juga diberi gelar pahlawan. Bagi fraksi Golkar, yang dalam latar historisnya dibidani oleh Suharto kelahirannya, menganggap bahwa bukan hanya mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid, yang layak diberikan gelar pahlawan nasional, mantan Presiden RI Soeharto dinilai Partai Golkar, patut dianugrahi gelar yang sama. Ketua Fraksi Golkar, Priyo Budisantoso (4/1/2010) mengatakan, "Partai Golkar sepenuhnya mendukung Gus Dur menjadi pahlawan nasional. Beliau sudah layak dan patut. Pak Harto kami pikir juga begitu," ujarnya. Priyo mengaku dirinya sepakat semua mantan presiden memiliki jasa-jasa, yang besar terhadap bangsa dan negara ini. Namun, wakil ketua DPR ini percaya baik Gus Dur (sapaan akrab Abdurrahman Wahid), dan Soeharto, enggan untuk diberikan gelar pahlawan. "Meski mereka berdua tidak mau. Saya sepakat semua jasa mantan presiden luar biasa, dan patut jadi pahlawan," pungkasnya.
Gelar sekarang cenderung menjadi adu pasar politik. Sebuah gelar diberikan tergantung seberapa kuat desakan politik. Maka penggalangan dukungan dikerahkan dengan berbagai cara. Ini menyalahi aspek kejujuran dari sebuah gelar. Kalau Dewan Gelar bekerja atas kriteria yang telah ditetapkan, sesungguhnya tidak perlu diributkan apakah Gus Dur pantas mendapatkannya atau tidak. Gus Dur, dengan segala kekurangannya, telah memberi kontribusi luar biasa bagi terciptanya ruang demokrasi di negeri ini. Adalah berbahaya ketika Dewan Gelar atau negara mendasarkan pemberian gelar pada mekanisme pasar politik. Siapa yang memperoleh dukungan paling banyak, dialah yang mendapatkan gelar. Ini berbahaya karena akan muncul mobilisasi liar yang memaksakan kehendak. Bisa-bisa setiap kampung, setiap keluarga, memobilisasi dukungan untuk memperoleh gelar dari negara bagi kakek neneknya. Maka gelar akan menjadi barang murahan. Partai politik selayaknya lebih berkonsentrasi pada aplikasi dan aktualisasi nilai-nilai demokratis dan kesetaraan yang diwariskan Gus Dur daripada menjadi sponsor pemberian gelar. Bagi Gus Dur, dan tentu keluarga, penghormatan terhadap nilai-nilai yang diajarkan jauh lebih penting daripada berpolemik soal pantas tidaknya gelar pahlawan.
Gelar sekarang cenderung menjadi adu pasar politik. Sebuah gelar diberikan tergantung seberapa kuat desakan politik. Maka penggalangan dukungan dikerahkan dengan berbagai cara. Ini menyalahi aspek kejujuran dari sebuah gelar. Kalau Dewan Gelar bekerja atas kriteria yang telah ditetapkan, sesungguhnya tidak perlu diributkan apakah Gus Dur pantas mendapatkannya atau tidak. Gus Dur, dengan segala kekurangannya, telah memberi kontribusi luar biasa bagi terciptanya ruang demokrasi di negeri ini. Adalah berbahaya ketika Dewan Gelar atau negara mendasarkan pemberian gelar pada mekanisme pasar politik. Siapa yang memperoleh dukungan paling banyak, dialah yang mendapatkan gelar. Ini berbahaya karena akan muncul mobilisasi liar yang memaksakan kehendak. Bisa-bisa setiap kampung, setiap keluarga, memobilisasi dukungan untuk memperoleh gelar dari negara bagi kakek neneknya. Maka gelar akan menjadi barang murahan. Partai politik selayaknya lebih berkonsentrasi pada aplikasi dan aktualisasi nilai-nilai demokratis dan kesetaraan yang diwariskan Gus Dur daripada menjadi sponsor pemberian gelar. Bagi Gus Dur, dan tentu keluarga, penghormatan terhadap nilai-nilai yang diajarkan jauh lebih penting daripada berpolemik soal pantas tidaknya gelar pahlawan.
Saya tidak mau mengkritisi parameter gelar pahlawan. Karena bagi saya, gelar pahlawan hingga saat sekarang belum "bisa saya pahami" secara universal. Kepentingan politik dan pertimbangan momentum, adalah sesuatu yang mempengaruhi pemberian gelar pahlawan bagi seorang tokoh di Indonesia. Apalagi, nuansa "militerisme" sangat kental dalam dunia "kepahlawanan" a-la Indonesia. Seorang Muhammad Natsir yang "menggunung" jasa dan pencerahan yang diberikannya bagi peradaban Indonesia, justru baru belakangan diberi gelar keramat ini. Tiga kali masyarakat Sumatera Barat "mengemis". Sementara ada tokoh lain, yang tidak ditangkap kiprahnya dalam "layar" sejarah, dan berasal dari masa "antah barantah" dalam sejarah perjuangan Indonesia, justru dihargai dengan label ini. Sungguh, subjektifitas dan begitu elastis-nya parameter pahlawan (kepentingan politis juga sangat dominan), membuat gelar pahlawan kehilangan greget dan debatable, bahkan ada nuansa ketidakadilan, seperti yang dialami oleh Suharto. Ketika wacana pemberian gelar pahlawan bagi Gus Dur diterima oleh semua pihak bahkan disikapi dengan cepat, justru usulan pemberian gelar pahlawan bagi Suharto "dicurigai". Membonceng momentum Gus Dur dan "dosa politik" masa lalu mantan Presiden RI ke-2 ini dijadikan alasan normatif-politis untuk mengatakan bahwa Suharto tak layak seperti Gus Dur. Namun, ketika beberapa alasan dikonfrontirkan dengan Gus Dur, "rasanya" Suharto sangat layak diberikan gelar pahlawan. Gus Dur berjasa bagi penciptaan kondisi politik egaliter di Indonesia, maka jasa Suharto juga begitu besar dalam pembentukan kesadaran Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gus Dur berjasa membangun iklim demokratisasi, Suharto berjasa meletakkan landasan pembangunan fisik Indonesia. Bila dikatakan Suharto meninggalkan praktek kehidupn sosial politik yang koruptif dan kolutif, pertanyaannya juga, tidakkah Gus Dur dijatuhkan karena kasus yang sama (Bulog Gate dan Brunei Gate ?). Biarlah waktu yang menjawabnya ! ...... Namun yang pasti, Suharto dan Gus Dur adalah "orang besar", terlepas dari semua kelebihan dan kekurangannya. Kalau bukan orang besar ........ mengapa rakyat Indonesia "mempersilahkan" pada mereka untuk menjadi pemimpin, walau durasi-nya berbeda. Gitu Aja Kok Repot !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar