Oleh : Muhammad Ilham
"Saya meyakini akan timbul reaksi, terutama dari mereka yang selama ini sudah merasa nyman dengan posisi mereka" (Gamawan Fauzi, dalam salah satu Dialog di TV Swasta)
Gamawan Fauzi, mantan Gubernur Sumatera Barat yang sekarang menjadi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, memberikan sinyal positif terhadap wacana pemilihan gubernur akan dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada waktu yang akan datang. Pertimbangan yang digunakan oleh Menteri yang pernah memenangi Bung Hatta Award (Birokrat bersih) ini karena ia melihat pemilihan gubernur melalui DPRD itu merupakan sebuah gagasan atau pemikiran yang baik, idak berpotensi menghabiskan dana dan mampu mengefisienkan waktu. Gamawan mencontohkan, pemilihan gubernur Jawa Timur periode 2009-2014 yang berlangsung beberapa putaran telah menghabiskan biaya sedikitnya Rp800 miliar. Biaya ratusan miliar miliar tersebut belum termasuk biaya dari awal hingga proses kampanye yang harus dikeluarkan oleh sepasang calon yang ingin maju sebagai gubernur dan wakil gubernur. Padahal seorang gubernur hanya memilik tiga tugas pokok yakni pemantauan, pengawasan dan koordinasi sebagai perwakilan pemerintah pusat yang berada di daerah. Beberapa waktu lalu Departemen Dalam Negeri telah mengundang pakar seperti pakar pemerintahan, hukum tata negara dan praktisi untuk mengkaji mengenai wacana pemilihan gubernur melalui DPRD dan menghapuskan pemilihan gubernur langsung. Untuk mengubah format pemilihan gubernur tersebut maka pemerintah dan DPR akan merevisi Undang-Undang Nomor 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Tapi tidak semua pihak yang setuju dengan wacana ini. Banyak yang justru menanggapi sinyal ini merupakan langkah mundur (setback) bagi demokrasi. Pemilihan gubernur secara langsung dilakukan untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, dan mendorong partisipasi masyarakat (berdemokrasi). Apakah bisa dijamin tidak terjadi "money politics" di DPRD atau di tingkat partai? ..... demikian argumen pihak yang kurang setuju dengan wacana ini. Mayoritas menyarankan, ketimbang menghapus pemilihan gubernur langsung, lebih baik pemerintah memperbaiki regulasi persyaratan kandidat gubernur. Sasarannya, agar calon yang maju benar-benar berkualitas, seperti seorang bakal calon gubernur mesti berpendidikan S1, dan berpengalaman di bidang pemerintahan. Pengalaman di bidang pemerintahan dimaksud, bukan berarti harus sarjana pemerintahan. Namun bisa jadi pernah menjadi anggota DPRD, jadi bupati/walikota, atau pernah menjadi kepala dinas.
Di pihak lain, Mantan Menteri Negara Otonomi Daerah Ryaas Rasyid justru mendukung wacana ini. Ia mengatakan, ada tiga alasan mengapa pemilihan gubernur perlu dilakukan oleh DPRD dan tidak dilakukan lagi secara langsung. Alasan pertama karena gubernur itu merangkap dua jabatan sekaligus, yakni kepala daerah dan juga wakil pemerintah pusat di daerah. Kedua, kata mantan anggota Komisi II DPR ini, karena otonomi daerah berada di kabupaten dan kota, dan bukannya provinsi. Dan yang ketiga, dan ini memang agak bersifat ideologis dan politis, bahwa jika otonomi itu di provinsi, bisa mengarah kepada federalisme, dan ini kan bertentangan dengan konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945) dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Jadi ............. ya, kita tunggu dinamika dan ”pertarungan” antar wacana ini. Disamping menjadi komoditas politik, justru perdebatan tersebut menjadi ”asyik” dan ”mengasyikkan” bagi pendewasaan wawasan politik publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar