Sungguh menarik membaca "Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat" ini. Pesan yang ingin disampaikan oleh Bupati Serang yang dokter "terdidik" zaman Kolonial Belanda ini adalah bahwa sang dokter pribumi, yang secara sosial hanya setingkat camat, berani membalas - meskipun dengan cukup adab. Dalam Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohammad pernah mem-publish "catatan mencerahkan" dari Achmad Djajadiningrat ini.
Suatu malam ia masuk ke ruang makan, agak telat. Meja-meja telah terisi. Achmad Djajadiningrat yang mengenakan kain, jas model Jawa, destar serta selop sebagaimana umumnya bupati zaman itu - dengan tenang mengambil satu tempat duduk. Tiba-tiba di belakangnya terdengar seseorang bicara dalam bahasa Belanda: “Wat is dat voor een aap?” Monyet macam apa itu? Bangsawan tinggi Jawa Barat yang berwajah tampan itu cuma diam. Tapi cemooh tak berhenti. Ketika sang bupati mulai makan (tentu saja dengan sendok dan garpu), suara itu terdengar lagi: “Lihat, lihat, dia makan dengan sendok dan garpu.” Dan ketika Djajadiningrat memesan anggur, karena di Surabaya waktu itu ada wabah kolera, suara yang sama kembali menyeletuk, “Waduh, dia minum anggur!”. Adegan itu, yang diingat kembali oleh Pangeran Aria Achmad Djadiningrat dalam Herinneringen-nya yang terbit di tahun 1936, bukan sebuah cerita kebetulan. Zaman memang telah memasuki abad ke-20, tapi di koloni Belanda di Hindia Timur itu, orang-orang putih dari Utara (seperti yang di Afrika Selatan kini) tetap mengetawakan dua hal sekaligus: Yang pertama, orang pribumi yang makan dengan jari dan minum air sumur. Yang kedua, orang pribumi yang makan pakai garpu lalu mengangkat gelas dan menyesap anggur dan omong Belanda. Yang pertama dianggap sebagai tanda keterbelakangan yang tak mengerti higiene. Yang kedua dianggap sebagai imitasi dan Belanda palsu.
Sampai tahun 1914, ada misalnya sebuah aturan bagi para murid STOVIA asal Jawa dan asal Sumatera yang bukan Kristen: mereka harus berpakaian pribumi dalam kelas. Buku Robert Van Niel tentang sejarah Indonesia masa itu menyebut kenapa aturan semacam itu ada: mungkin untuk memaksa para calon dokter bumiputra itu tetap menyadari bahwa mereka kelak toh harus bekerja di kalangan bangsa mereka sendiri mungkin pula untuk menjaga, agar mereka tetap puas dengan gaji mereka yang kecil dibanding dengan pejabat bumiputra lain yang pendidikannya lebih rendah. Apa pun alasannya, aturan itu juga yang menyebabkan STOVIA jadi kawah mendidih. Tak aneh bila kebangkitan nasional dengan suara radikal seperti suara Cipto Mangunkusumo - berasal dari Candradimuka itu. Candradimuka dengan lebih dari satu Gatutkaca. STOVIA pada dasarnya memang berisi sebuah generasi yang merasakan ketidakadilan amat menyengat di dekat ulu hati. Kita ingat, STOVIA bukanlah sekolah anak pejabat tinggi. Dari sebuah catatan tahun 1906, tampak bahwa sejak tahun 1875 sampai 1904, ada 743 murid STOVIA. Sebanyak 160 lulusannya kemudian jadi Inlandse Artsen. Hanya 41 dokter yang berasal dari kalangan atas. Sebagian besar berasal dari priayi menengah. Bahkan ada lulusan STOVIA yang ayahnya hanya klerk, petugas telegraf, lurah, pedagang, buruh, dan juga pembantu rumah tangga. Cipto Mangunkusumo, misalnya, seperti ditulis Savitri Prastiti Scherer dalam Keselarasan dan Kejanggalan, sebuah buku menarik tentang sejarah kita awal abad ke20, bukanlah keturunan ningrat. Ia anak guru sekolah dasar pribumi dan cucu seorang guru agama Islam.
Di masyarakat zaman itu, seorang dokter seperti Cipto juga bukan seorang anggota kelas yang amat terpandang. Petugas kesehatan dengan gaji 70 sampai 150 gulden ini, meskipun belum apa-apa dibandingkan dengan gaji bupati yang 1.000 gulden, malah dianggap sebagai priayi baru - yang tentu saja merisaukan priayi dengan trah lama. Dalam Pewarta Prijaji tahun 1901-1902, sebagaimana dikutip oleh Savitri Scherer, ada sebuah tulisan yang menganjurkan agar sekolah yang kemudian menghasilkan Cipto Mangunkusumo itu ditutup saja. Salah satu alasan: jumlah orang yang mau jadi priayi dengan begitu dapat dibatasi, malah disetop. Ketegangan sosial ini, tak kalah panas dari rasa protes terhadap tuan-tuan Belanda, sering dilupakan ketika kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Dalam buku kenangannya, Djajadiningrat bercerita bagaimana ia sendiri, sebagai bupati, pernah memperlakukan rendah seorang lulusan STOVIA.
Rekomendasi : "Buku ini sangat bagus untuk dibaca !"
Sumber : Beberapa Penggalan dari "Catatan Pinggir" Goenawan Mohammad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar