Kamis, 28 Januari 2010

Demonstrasi dan Inti Demokrasi

Oleh : Muhammad Ilham

Hari ini 28 Januari 2010, beberapa kota besar di Indonesia ”dihujani” demonstrasi. Jakarta dan beberapa kota besar di Pulau Jawa serta Makassar di Sulawesi menjadi ”epicentrum” demonstrasi tersebut. Tuntutan terlihat dari pamflet, baliho dan sejenisnya. ”Program 100 hari SBY gagal total”, ”SBY-Boediono lengserkan”, ”SBY : Buaya” dan beberapa ungkapan lainnya yang sangat tendensius lengkap dengan gambar yang ”memiriskan”. Dengan pusaran Kasus Bank Century serta jargon-jargon anti korupsi, demonstrasi 28 Januari 2010 tersebut memberikan pelajaran berharga bagi kita bahwa terkadang demokrasi tidak bisa ”dimufakati” sebagaimana yang dikatakan oleh Habermas dengan demokrasi ”deliberatif”nya. Jargon ”Gagal Total” dan ”Rapor Merah” serta ”Pemakzulan” menjadi parameter-subjektif yang mengemuka hari ini. Dan ....... demonstrasi hari ini, sebagaimana demonstrasi sebelumnya, rasanya kehilangan ”aura” bagi masyarakat. Mungkin ini subjektif, tapi setidaknya demikian yang saya tangkap dari laporan highlight TV swasta dari hari kemaren. Ada kejenuhan dan ada juga disana ”kepintaran” masyarakat. Beberapa tanggapan masyarakat yang saya lihat dari komentar di beberapa Facebook dan Twitter publik memperkuat hal ini. Umumnya mereka memaknai bahwa demonstrasi (untuk berbagai kasus Indonesia belakangan ini) tidak lagi menjadi suatu gerakan luhur, tapi sudah menjadi gerakan ”penunggangan”.

Demonstrasi belakangan ini tidak lagi ditunggangi oleh Hati Nurani, tapi lebih kepada permainan elit politik untuk kepentingan politik instan. Bahkan, beberapa diantaranya dengan cerdas menganalisis tujuan demonstrasi 28 Januari 2010 ini telah mereduksi tujuan dan hakikat dari demokrasi dengan menghubungkan kepada jargon-jargon ”Gagal Total”, ”Pemakzulan”, ”Pecat Sri Mulyani dan Boediono” dan sebagainya. Demonstrasi seharusnya memiliki motif ”inspiratif”, justru memperlihatkan motifasi destruktif. Pembakaran ban, kerusuhan dan konflik fisik setidaknya mewarnai demonstrasi-demonstrasi yang terjadi belakangan ini, termasuk hari ini. Pada dasarnya, apabila meninjau pada ”motif” massa melakukan demonstrasi, maka secara umum demonstrasi dapat dilakukan dengan motif ”moral” yang berusaha menyampaikan aspirasi, sesuai dengan nilai-nilai yang dirasakan oleh sebagian masyarakat yang diwakilinya. Sedangkan demonstrasi dengan motif ”politik”, merupakan demonstrasi yang berusaha menyampaikan aspirasi, sesuai dengan kehendak golongan/kalangan tertentu yang memiliki tujuan-tujuan tersendiri. Motif ”politik”, dapat saja memanfaatkan isu / permasalahan yang sedang dirasakan oleh masyarakat, tetapi demonstrasi ini telah dilakukan secara koordinatif oleh golongan yang memiliki tujuan tersendiri tersebut. Terlepas dari ”motif” yang hendak mendasari isi dari aspirasi yang disampaikan oleh massa, maka yang terpenting dalam mencegah terjadinya ”rusuh” dan ”bentrok”, harus meninjau pada aturan main dalam melakukan demonstrasi yang berlaku di Indonesia.

Sehubungan hak dan kewajiban yang harus ditaati dengan baik oleh para demonstran, sebagai aturan main dalam melakukan demonstrasi, sebenarnya telah dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 9 Tahun 1998 yang menjelaskan, bahwa hak para demonstran meliputi hak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas, serta hak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Sedangkan kewajiban para demonstran dalam melakukan demonstrasi, meliputi kewajiban untuk menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, menaati hukum yang berlaku, serta berkewajiban untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum. Walaupun demonstrasi sebagai wujud kebebasan berpendapat yang didasarkan atas wujud hak asasi manusia yang telah dijamin oleh UUD 1945 (khususnya Pasal 28), tetapi pelaksanaan demonstrasi memiliki batasan-batasan tertentu, seperti larangan melakukan demonstrasi di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, serta obyek-obyek vital nasional. Selain itu, larangan untuk melakukan kegiatan demonstrasi pada hari besar nasional, tidak banyak diketahui oleh para demonstran, bahkan oleh sebagian aparat kepolisian. Apabila meninjau pada tata cara secara administratif, sesuai dengan UU No. 9 Tahun 1998, maka sudah seharusnya para demonstran melakukan ”pemberitahuan” kepada POLRI tiga (3) hari sebelum melakukan demonstrasi, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, seperti ”rusuh” dan ”bentrok”.

Demonstrasi bisa dikatakan mengalami perwajahan baru dibandingkan periode sebelumnya. Demonstrasi bisa diterima kalangan luas sebagai sebuah bentuk hak warga dalam menyalurkan aspirasi politiknya. Namun seiring dengan pengetahuan masyarakat (termasuk mahasiswa) terhadap eksistensi, fungsi, dan bentuk demonstrasi mahasiswa, saat yang sama ada gejala masyarakat mengapriorikan demonstrasi itu sendiri. Demontrasi kehilangan dukungan bukan karena eksistensi, fungsi, dan bentuknya bertentangan dengan kehendak masyarakat, melainkan karena demonstrasi telah mengalami titik jenuh! Setiap anggota di dalam masyarakat kini bisa berhimpun lalu berdemonstrasi, ada atau tanpa kehadiran aktivis (gerakan) mahasiswa. Demonstrasi pada era transisi rezim mengalami pengklimaksan secara jumlah. Demonstrasi makin membiak, tidak lagi eksklusif sebagai lahan kerja gerakan mahasiswa. Hanya saja, yang harus dijaga adalah jangan sampai demonstrasi itu tidak damai dan menimbulkan kekerasan. Masyarakat Indonesia sebenarnya sudah jenuh dengan berbagai aksi demonstrasi yang selalu mengatasnamakan rakyat yang akhirnya justru malah menimbulkan kesengsaraan pada rakyat. Demonstrasi jika diselenggarakan dengan ”keliaran” dan brutal sesungguhnya menginjak-injak demokrasi. Karena, selain mengajarkan kebebasan mengekspresikan pendapat (berbeda maupun sejajar), demokrasi juga menganjurkan teknik, prosedur, dan mekanisme yang beradab serta menghormati perbedaan pendapat. Bahkan itulah inti demokrasi.

Berdemonstrasi adalah hak. Akan tetapi, semata mengagungkan demonstrasi sebagai satu-satunya cara yang efektif untuk menegur kekuasaan bukanlah pula pikiran dan kelakuan yang dapat memperkuat dimensi kelembagaan dalam berdemokrasi. Adalah juga kerisauan yang sangat substansial apabila demonstrasi kemudian dijadikan sebagai satu-satunya pilihan yang efektif untuk menyampaikan aspirasi kepada kekuasaan. Harus dikatakan memang ada yang hilang dalam 100 hari pemerintahan yang kedua ini. Hilang dalam waktu yang sangat pendek setelah bulan madu yang panjang--lima tahun pemerintahan pertama, hasil pemilu yang langsung dipilih rakyat--dan yang kemudian menang kembali untuk kedua kali dengan basis legitimasi yang sama kuatnya. Demonstrasi kemarin telah usai dengan damai dan pesan telah disampaikan. Pesan sangat penting, yaitu seruan publik untuk membangun kembali situasi saling percaya yang sempat hilang. Bukankah yang hilang dapat ditemukan kembali? Caranya, semua pihak membikin pendek jarak yang masih jauh antara kata dan perilaku.