Seorang intelektual publik terkadang yakin bahwa memasuki kehidupan politik (dan memperoleh kekuasaan) itu perlu. Yang sering dilupakan ialah bahwa ”yang perlu” belum tentu ”yang niscaya”, dan bahwa politik, sebagai panggilan, sebenarnya sebuah panggilan yang muram, sedih. Dalam kesedihan itu kita seharusnya bertugas (Goenawan Muhammad : 2010)
Entah kenapa ............ saya tidak "mood" menulis minggu-minggu terakhir ini. Huru hara dan hura-hura pentas politik Indonesia belakangan ini, membuat saya mulai anti-pati dengan yang namanya pengamat atawa komentator politik dan dunia politik itu sendiri. Padahal, sebagai orang yang berkecimpung dalam ilmu sejarah dan ilmu politik, beberapa kejadian politik belakangan ini di Indonesia, setidaknya memberikan "sample" gratis bagi saya untuk mengasah analisa politik kelilmuan saya. Tapi itu tadi ....... sulit mengaplikasikan satu teori politik-pun (bahkan mungkin setengah teori) dalam melihat huru hara dan hura-hura politik dengan topik script-nya : "Bank Century". Ah ...... seandainya Boediono bukan intelektual-akademikus lugu nan jujur tapi ketua suatu partai politik berpengaruh di Indonesia, tentunya si-Boed ini akan dihargai layaknya seperti Jusuf Kalla. Sungguh tak pernah terbayangkan, orang sesederhana beliau, dari cerita cerita, penampilan, humble, sangat santun, bahkan selama menjadi menteri, anggota kabinet, bahkan menjadi gubernur BI, pulang ke Jogyakarta pada saat week end, karena beliau masih berumah disana, dengan menduduki kursi kelas ekonomi, dipesawat bahkan setelah jadi wapres pun masih tinggal dirumah pribadi jalan mampang, rumah dengan penduduk rapat kiri kanan. Dan .... si-Boed kemudian dianggap "maling".
Seandainya, Sri Mulyani menjadi putri mahkota sebuah partai politik berpengaruh dan bukan intelektual-akademikus yang memiliki sentuhan "midas" bagi sistem perekonomian Indonesia, tentunya ia akan disanjung dan digunggung setinggi langit, layaknya seperti Puan Maharani Taufik Kiemas. Seandainya, Prof. Boediono yang kalem-bersahaja memiliki "life-track" sebagai politisi (walaupun juga akademisi), tentunya kesalahan prosedural Bank Century (walaupun ini masih debatable), akan dimaafkan bahkan dilupakan sebagaimana Hamid Awaluddin yang bebas melenggang walaupun ia kecipratan (mungkin "mandi") kasus korupsi di tubuh Komisi Pemilihan Umum. Bahkan ia "dihukum" jadi Duta Besar di Rusia. Boediono beda dengan Hamid. Boediono tak memiliki "nyali" untuk berkecimpung dalam partai politik, sementara Hamid justru "anak emas" Jusuf Kalla yang kebetulan kala itu menjadi Ketua Umum Partai Golkar, partai politik terbesar di Indonesia kala itu. Duh ...... seandainya Sri Mulyani yang pintar tidak "ketulungan" tersebut memiliki "kaki" dan back-up di parlemen, tentunya ia tidak akan dihujat dan dicaci maki karena sebuah kebijakan yang diambilnya menurut beliau serta menurut pakar yang "layak tahu" adalah benar dan harus diambil untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia. Tapi karena Sri Mulyani yang ayah dan ibunya bergelar Profesor ini tidak memiliki "kaki" dan back-up politik di parlemen, maka banyak pakar yang "tidak layak tahu" justru men-judge-nya sebagai "maling". Pakar "tidak layak tahu" adalah mereka yang merasa lebih tahu tentang "dunia moneter" padahal sebenarnya mereka tidak bersentuhan dengan wilayah "kasus" tersebut. Bak kata salah seorang teman saya yang tukang becak .... "sekarang banyak komentator musik dangdut mengomentari musik Rock 'N Roll".
Dan "Duh" sekali lagi ......... seandainya Sri Mulyani yang tegas terhadap konglomerat hitam dan dianggap sebagai "icon" reformasi birokrasi di tubuh institusi Departemen Keuangan ini memiliki "kaki" dan back-up politik di parlemen, tentu ia akan lebih leluasa "memproses" bahkan langsung merekomendasikan agar KPK mengadili Perusahaan Keluarga Bakrie, karena perusahaan keluarga Bakrie ini disinyalir "mengemplang" pajak hampir 2 trilyun (metrotv.com). Tapi sayang, Aburizal Bakrie, sang "god-father" Perusahaan Keluarga Bakrie adalah Ketua Umum Partai Golkar, maka banyak para tokoh "tidak layak tahu", politisi senayan dan entah siapa lagi, "membutakan" mata dan telinga terhadap kasus Aburizal Bakrie dan membuka mata dan telinga selebar dan senyaring-nyaringnya bahwa Sri Mulyani dan Boediono HARUS dianggap salah .... apapun alasannya. Tangan mencencang bahu memikul, setiap keputusan kebijaksanaan yang berkaitan dengan keputusan publik dan menyangkut uang negara , tentunya mempunyai resiko. Biarlah waktu yang akan menjawab..... !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar