Rabu, 13 Juni 2012

"Jenggot dan Hak Kambing" a-la Agus Salim

Oleh : Muhammad Ilham

Benarlah kata syahibul hikayat, bila orang inspiratif, tidak akan pernah lapuk untuk diperkatakan. Haji Agus Salim, contohnya.  Beberapa malam ini, menjelang nonton Piala Eropa, entah mengapa, saya kembali membuka-baca  buku "Seratus Tahun Hadji Agus Salim".  Mencari bagian yang membuat senyum tersungging, membayangkan "kurenah" salah seorang putra terbaik dari nagari legendaris-historis Minangkabau, Koto Gadang. Dalam buku agak tebal ini, banyak kisah inspiratif, yang lebih otoritatif untuk dirujuk daripada sentuhan-sentuhan verbal-motivatif Tun Desem Waringin atau (su)Mario Teguh. Namun banyak juga kisah-kisah kecil nan sederhana, namun menggigit, diantaranya kisah "jenggot dan hak kambing".   

Suatu hari Bung Sjahrir (mantan Perdana Menteri RI sekaligus pendiri Partai Sosialis Indonesia) bersama kawan-kawannya mendatangi sebuah rapat yang menghadirkan Haji Agus Salim sebagai pembicara utamanya. Tujuan mereka tak lain hanya ingin “mengacaukan” rapat tersebut. Maklum sebagai anak-anak muda, mereka lagi “genit-genit”nya secara intelektual. Setiap Agus Salim yang memiliki jenggot kambing itu bicara, maka anak-anak muda sosilais radikal yang lebih simpati kepada Semaun (tokoh Sarekat Rakjat,pesaing Sarekat Islam pimpinan Tjokroaminoto) tersebut serempak menyahutinya dengan suara: “embeeekkkkkk”. Satu kali didiamkan.Dua kali masih dicuekkan. Begitu kali ketiga, embikan berjamaah itu terdengar, tiba-tiba HAS mengangkat tangan seraya berkata :  

“Tunggu sebentar. Bagi saya,adalah suatu hal yang sangat menyenangkan bahwa kambing-kambing pun berkenan datang ke ruangan ini untuk mendengarkan pidato saya. Hanya sayang sekali, mereka kurang mengerti bahasa manusia sehingga menyela dengan cara yang kurang pantas. Jadi saya sarankan, agar sementara, mereka tinggalkan ruangan ini untuk sekadar menikmati rumput di lapangan. Sesudah pidato yang saya tujukan kepada manusia ini selesai, silakan mereka kembali masuk dan saya akan pidato dalam bahasa kambing khusus untuk mereka. Perlu diketahui, dalam Islam, kambing pun memiliki haknya sendiri. Karena saya menguasai banyak bahasa, maka saya akan memenuhi hak mereka.”  

Demi mendengar kata-kata Agus Salim itu, orang-orang yang hadir di sana bergemuruh dalam tawa. Adapun Sjahrir dan kawan-kawannya, alih-alih meninggalkan ruangan , mereka yang seolah-olah menjadi “sekelompok badut muda” terpaksa harus “menikmati” ejekan masal itu dalam muka merah padam. “Kendati kami tak menghentikan “perlawanan” kepadanya,tetapi sejak saat itu, untuk kembali mencemoohnya kami sama sekali tak pernah melakukannya lagi,”ujar Sjahrir seperti dikisahkan kepada Jef Last (tokoh sosialis Belanda) dalam Seratus Tahun Hadji Agus Salim.

Referensi (termasuk sumber foto) : Seratus Tahun Hadji Agus Salim.

Tidak ada komentar: