Oleh : Muhammad Ilham
Benarlah kata syahibul hikayat,
bila orang inspiratif, tidak akan pernah lapuk untuk diperkatakan. Haji
Agus Salim, contohnya. Beberapa malam ini, menjelang nonton Piala
Eropa, entah mengapa, saya kembali membuka-baca buku "Seratus Tahun
Hadji Agus
Salim". Mencari bagian yang membuat senyum
tersungging, membayangkan "kurenah" salah seorang putra terbaik dari nagari legendaris-historis
Minangkabau, Koto Gadang. Dalam buku agak tebal ini, banyak kisah
inspiratif, yang lebih otoritatif untuk dirujuk daripada
sentuhan-sentuhan verbal-motivatif Tun Desem Waringin atau (su)Mario
Teguh. Namun banyak juga kisah-kisah kecil nan sederhana, namun menggigit, diantaranya kisah "jenggot dan hak kambing".
Suatu hari Bung Sjahrir (mantan Perdana Menteri RI sekaligus pendiri
Partai Sosialis Indonesia) bersama kawan-kawannya mendatangi sebuah
rapat yang menghadirkan Haji Agus Salim sebagai pembicara utamanya.
Tujuan mereka tak lain hanya ingin “mengacaukan” rapat tersebut. Maklum
sebagai anak-anak muda, mereka lagi “genit-genit”nya secara intelektual.
Setiap Agus Salim yang memiliki jenggot kambing itu bicara, maka
anak-anak muda sosilais radikal yang lebih simpati kepada Semaun (tokoh
Sarekat Rakjat,pesaing Sarekat Islam pimpinan Tjokroaminoto) tersebut
serempak menyahutinya dengan suara: “embeeekkkkkk”. Satu kali
didiamkan.Dua kali masih dicuekkan. Begitu kali ketiga, embikan
berjamaah itu terdengar, tiba-tiba HAS mengangkat tangan seraya berkata :
“Tunggu sebentar. Bagi saya,adalah suatu hal yang sangat
menyenangkan bahwa kambing-kambing pun berkenan datang ke ruangan ini
untuk mendengarkan pidato saya. Hanya sayang sekali, mereka kurang
mengerti bahasa manusia sehingga menyela dengan cara yang kurang pantas.
Jadi saya sarankan, agar sementara, mereka tinggalkan ruangan ini
untuk sekadar menikmati rumput di lapangan. Sesudah pidato yang saya
tujukan kepada manusia ini selesai, silakan mereka kembali masuk dan
saya akan pidato dalam bahasa kambing khusus untuk mereka. Perlu
diketahui, dalam Islam, kambing pun memiliki haknya sendiri. Karena saya
menguasai banyak bahasa, maka saya akan memenuhi hak mereka.”
Demi mendengar kata-kata Agus Salim itu, orang-orang yang hadir di sana
bergemuruh dalam tawa. Adapun Sjahrir dan kawan-kawannya, alih-alih
meninggalkan ruangan , mereka yang seolah-olah menjadi “sekelompok
badut muda” terpaksa harus “menikmati” ejekan masal itu dalam muka
merah padam. “Kendati kami tak menghentikan “perlawanan”
kepadanya,tetapi sejak saat itu, untuk kembali mencemoohnya kami sama
sekali tak pernah melakukannya lagi,”ujar Sjahrir seperti dikisahkan
kepada Jef Last (tokoh sosialis Belanda) dalam Seratus Tahun Hadji Agus
Salim.
Referensi (termasuk sumber foto) : Seratus Tahun Hadji Agus Salim.
Referensi (termasuk sumber foto) : Seratus Tahun Hadji Agus Salim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar