Ditulis ulang : Muhammad Ilham
21 Juni 1970
Si Bung, SOEKARNO, Sang Putra Fajar
Anak tersayang aristokrat Bali - Ida Ayu Rai .......... meninggal !!
Si Bung, SOEKARNO, Sang Putra Fajar
Anak tersayang aristokrat Bali - Ida Ayu Rai .......... meninggal !!
Tentang hari-hari terakhir Bung Karno, saya sadur dari Reni Nuryanti dalam
bukunya Tragedi Sukarno, Dari Kudeta Sampai Kematiannya. Tulisan saya penggal dari peristiwa tanggal 16 Juni 1970 ketika Bung Karno
dibawa ke RSPAD (Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto). Ia dibawa
pukul 20.15, harinya Selasa. Ada banyak versi Hari-hari terakhir Bung Karno ini, saya penggal mulai dari peristiwa
tanggal 16 Juni 1970 ketika Bung Karno dibawa ke RSPAD (Rumah Sakit
Angkatan Darat Gatot Subroto). Ia dibawa pukul 20.15, harinya Selasa.
Ada banyak versi mengenai peristiwa ini. Di antaranya ada yang
menyebutkan, Sukarno dibawa paksa dengan tandu ke rumah sakit. Hal itu ditegaskan oleh Dewi Sukarno yang mengkonfirmasi alasan militer,
bahwa Bung Karno dibawa ke RS karena koma. Dewi mendapat keterangan
yang bertolak belakang. Waktu itu, tentara datang membawa tandu dan
memaksa Bung Karno masuk tandu. Tentara tidak menghiraukan penolakan
Bung Karno, dan tetap memaksanya masuk tandu dengan sangat kasar. Sama
kasarnya ketika tentara mendorong masuk tubuh Bung Karno yang
sakit-sakitan ke dalam mobil berpengawal, usai menghadiri pernikahan
Guntur. Bahkan ketika tangannya hendak melambai ke khalayak, tentara
menariknya dengan kasar.
Adalah Rachmawati, salah satu putri
Bung Karno yang paling intens mendampingi bapaknya di saat-saat akhir.
Demi mendengar bapaknya dibawa ke RSPAD, ia pun bergegas ke rumah sakit.
Betapa murka hati Rachma melihat tentara berjaga-jaga sangat ketat.
Hati Rachma mengumpat, dalam kondisi ayahandanya yang begitu parah, toh
masih dijaga ketat seperti pelarian. “Apakah bapak begitu berbahaya,
sehingga harus terus-menerus dijaga?” demikian hatinya berontak. Dalam suasana tegang, tampak Bung Karno tergolek lemah di sebuah ruang
ujung becat kelabu. Tak ada keterangan ruang ICU atau darurat
sebagaimana mestinya perlakuan terhadap pasien yang koma. Tampak jarum
infus menempel di tangannya, serta kedok asam untuk membantu
pernapasannya. Untuk menggambarkan kondisi Sukarno ketika itu,
simak kutipan saksi mata Imam Brotoseno, “Lelaki yang pernah amat jantan
dan berwibawa –dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero
jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah
gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak,
tanda bahwa racun telah menyebar kemana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi
bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu
menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini
hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar
menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan
mencakar udara, kini tergolek lemas".
Hari kedua, 17 Juni 1970,
Sukarno tampak lebih baik dari hari sebelumnya. Tapi, ia tidak mau
makan. Bahkan, obat-obatan yang diberikan dokter pun enggan meminumnya.
Setiap kali dokter hendak memberi suntikan pun, Bung Karno selalu
menolak. Rachmawati menerka, Bung Karno mengetahui bahwa semua
pengobatan selama ini hanya untuk memperlemah dirinya. Dalam kacamata
politik, pengobatan dengan misi pembunuhan. Karenanya, kondisi
Sukarno makin lemah dari hari ke hari. Hingga saat itu Rachma berani
bertanya kepada tim dokter yang merawat, dalam hal ini ia bertanya
kepada Ketua Tim Dokter yang merawat Bung Karno, yakni Prof Mahar
Mardjono, “Mengapa sakit komplikasi yang diderita bapak dibiarkan begitu
saja. Mengapa tidak dilakukan cuci darah?” Mahar hanya menjawab sambil
lalu, sehingga Rachma berkesimpulan, dokter-dokter itu tidak benar-benar
merawat Sang Proklamator Bangsa. Bahkan, para dokter tampak tak punya
rasa iba sedikit pun. Lebih sakit hati Rachma ketika dr Mahar
mengatakan, “Alat itu sedang dipesan dari Inggris, dan belum tentu ada.
Kalaupun ada, kapan datangnya, tidak tahu.” Keterangan Mahar ini, di
kemudian hari dibenarkan anggota dokter lain, “Sebenarnya sudah lama,
tim dokter telah mengusulkan agar alat itu dibeli. Tapi alat itu tak
kunjung datang meski pembeliannya kabarnya telah dijajaki di Singapura
dan Inggris.” Dan akhirnya, anggota tim dokter itu menambahkan,
“jangan-jangan memang sengaja tidak dibeli….”
Dalam keterangan
lain, situasi saat itu memang membuat tim dokter yang dipimpin Mahar
Mardjono tak berdaya. Ada kekuatan besar yang bisa mengancam nyawa
mereka seandainya mereka bekerja di luar kendali penguasa. Karenanya
dalam suatu kesaksian terungkap, saat kondisi Bung Karno kritis, Prof dr
Mahar Mardjono sempat menuliskan resep khusus, namun obat yang
diresepkannya itu disimpan saja di laci oleh dokter yang berpangkat
tinggi. Mahar mengemukakan hal itu kepada rekannya, dr Kartono Mohammad. Kesaksian datang dari saksi lain yang juga mantan pejabat di era
Sukarno. Menurutnya, adalah fakta bahwa Sukarno ditelantarkan oleh
Soeharto pada waktu sakit. Saksi yang juga seorang purnawirawan tinggi
militer itu juga mengungkapkan, perlakuan yang seragam terhadap Sukarno
berasal dari sebuah instruksi, “Yang memberi instruksi adalah Soeharto,”
katanya. Semua detik yang berdetak, semua menit
yang lewat, semua jam yang bergulir, semua angin yang berembus… adalah
duka sepanjang hari. Satu hari bernama tanggal 18, mungkin hanya
bermakna 24 jam. Satu hari berikutnya yang bernama tanggal 19 Juni 1970,
adalah bilangan 1440 menit, 86.400 detik. Tapi semua itu adalah tusukan
duri bagi Sukarno yang tengah tergolek lemah. Sedangkan
tanggal 20 Juni, tercatat sebagai simbol dwitunggal yang terpatri abadi.
Sejarahlah yang berkuasa pada hari itu. Bung Hatta, datang menjenguk
sahabat seperjuangan. Sementara, Bung Karno, seperti diberi kekuatan
untuk menyaksikan kedatangan Sang Hatta. Maka, terjadilah pertemuan yang
mengharu-biru, seperti dikisahkan Meutia Hatta dalam bukunya: Bung
Hatta : Pribadinya dalam Kenangan.
Berkata lirih Sukarno kepada Hatta, “Hatta… kau di sini….?
Seperti diiris-iris hati Hatta melihat sahabatnya tergolek tanpa daya.
Demi memompa semangat kepada sahabat, wajah teduh Bung Hatta menampakkan
raut yang direkayasa, “Ya… bagaimana keadaanmu, No?” begitu Hatta
membalas sapaan lemah Karno, dengan panggilan akrab yang ia ucapkan di
awal-awal perjuangan. Hatta memegang lembut tangan Bung Karno. Bung
Karno melanjutkan sapaan lemahnya, “Hoe at het met jou…” (Bagaimana
keadaanmu?). Hatta benar-benar tak kuasa lagi merekayasa raut
teduh. Hatta benar-benar tak kuasa menahan derasnya arus kesedihan demi
mendengar sahabatnya menyapanya dalam bahasa Belanda, yang
mengingatkannya pada masa-masa penuh nostalgi. Apalagi, usai
berkata-kata lemah, Sukarno menangis terisak-isak. Lelaki perkasa itu
menangis di depan kawan seperjuangannya. Seketika, Hatta pun tak kuasa
membendung air mata. Kedua sahabat yang lama berpisah, saling berpegang
tangan seolah takut terpisah. Keduanya bertangis-tangisan.
“No….”
“No….”
Hanya kata itu yang sanggup Hatta ucapkan, sebelum akhirnya meledak
tangis yang sungguh memilukan. Bibirnya bergetar menahan kesedihan,
sekaligus kekecewaan. Bahunya terguncang-guncang karena ledakan emosi
yang menyesakkan dada, yang mengalirkan air mata. Keduanya tetap
berpegangan tangan. Bahkan, sejurus kemudian Bung Karno minta
dipasangkan kacamata, agar dapat melihat sahabatnya lebih jelas. Selanjutnya, Bung Karno hanya diam. Mata keduanya bertatapan… mereka
berbicara melalui bahasa mata. Sungguh, ada sejuta makna yang tertumpah
pada sore hari yang bersejarah itu. Selanjutnya, Bung Karno hanya diam.
Diam, seolah pasrah menunggu datangnya malaikat penjemput, guna
mengantarnya ke swarga loka, terbang bersama cita-cita yang kandas di
tangan bangsanya sendiri.
Referensi : Reni Nuryanti (2009). Foto : ANRI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar